Yogyakarta di Antara Turis Asing dan Isu Corona

Pelaku wisata Malioboro Yogyakarta kerap berinteraksi dengan turis asing. Apa kata mereka di tengah isu virus Corona?
Triyono, 40 tahun, pengemudi andong di Malioboro, mengaku mengantisipasi COVID-19 dengan melihat wajah calon penumpangnya. Foto diambil Selasa, 3 Maret 2020. Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana

Yogyakarta - Pemberitaan tentang virus Corona atau COVID-19, membuat sebagian warga Kota Yogyakarta lebih waspada. Mereka melakukan langkah antisipasi. Namun langkah antisipasi yang dilakukan berbeda satu sama lain. Seperti apa?

Seorang pria paruh baya nampak santai di atas andong atau delman di kawasan Malioboro, Yogyakarta pada Selasa, 3 Maret 2020 siang. Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.

Matahari yang bersinar cukup terik di pusat Kota Yogyakarta seperti tak mengurangi keasyikan pria itu menunggu penumpang. Namanya Triyono, 40 tahun, setelan surjan (pakaian khas Jawa) warna hijau bermotif kembang berwarna merah tampak serasi dengan blangkon di kepalanya.

Deru dan asap dari knalpot kendaraan yang lalu lalang, beradu dengan asap tipis dari ujung rokok kreteknya, yang terbang tertiup angin, lalu menghilang.

Hanya beberapa meter dari tempat Triyono duduk, deretan pedagang kaki lima di emperan toko menunggu pembeli. Sebagian mengatur barang jualannya, souvenir, pakaian dan beberapa jenis kerajinan lokal.

Isu dan berita tentang COVID-19 sudah sampai ke telinga Triyono. Dia mengaku mendapatkan kabar itu dari siaran berita di televisi. Kabar tentang COVID-19 tersebut membuatnya sedikit khawatir. Apalagi dia berprofesi sebagai pengemudi andong, yang mengharuskannya berinteraksi dengan banyak wisatawan.

Antisipasi dengan Melihat Wajah

Triyono mengaku mempunyai upaya khusus untuk mengantisipasi agar tak terjangkit COVID-19. Cara yang dilakukannya sangat sederhana, yakni mengandalkan matanya untuk melihat raut wajah dan kondisi calon penumpangnya. "Kan wajah-wajahnya lain kan kalau ada penyakitnya," kata Triyono.

Jika ada calon penumpang yang tampak tidak sehat, Triyono sudah menyiapkan masker untuk dirinya. Tapi, jika calon penumpangnya terlihat sehat, dia tidak mengenakan penutup mulut dan hidungnya.

Dia juga masih berasumsi bahwa saat ini biasanya COVID-19 diderita oleh nonpribumi atau wisatawan mancanegara. "Tapi Corona kan biasanya orang luar negeri tho itu," ucapnya.

Pengasong MalioboroSeorang pedagang pakaian di kawasan Malioboro, Agung Wirawan, 47 tahun, mengaku sangat khawatir dengan penularan COVID-19, Selasa, 3 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Selain menyiapkan masker, Triyono juga secara rutin mengonsumsi jamu tradisional. Hal itu bahkan dilakukannya sebelum isu COVID-19 merebak, karena profesinya memang menuntut stamina yang tinggi. Apalagi dia bekerja sejak pagi hingga malam hari.

"Ya kalau orangnya sehat-sehat saja nggak apa-apa. Kalau orangnya sakit-sakitan ya kudu pakai masker. Saya sudah sedia masker untuk diri sendiri. Mencegah kan pakai masker," kata Triyono.

Mengenai kekhawatiran akan berkurangnya wisatawan akibat COVID-19, Triyono menyatakan kekhawatiran itu ada. Tapi, dia yakin bahwa untuk saat ini wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tidak banyak terpengaruh oleh isu COVID-19.

Tapi Corona kan biasanya orang luar negeri tho itu.

Dia juga mengaku belum pernah mendapatkan penumpang yang terlihat sakit atau diduga tertular COVID-19. Terlebih wisatawan mancanegara biasanya banyak berkunjung ke Yogyakarta pada Agustus.

"Wisatawan luar banyaknya pas Agustus. Kalau bulan begini masih sepi. Yang banyak justru wisatawan lokal. Saya jarang dapat muatan wisman, biasanya dari Jakarta atau kota lain," urainya.

Harga Masker Melambung

Tidak jauh dari tempat Triyono memarkir andongnya, seorang pedagang pakaian di emperan toko di Jalan Malioboro, sedang berdiri menunggu pembeli. Gadis itu namanya Wulan, 19 tahun. Dia mengaku khawatir dengan adanya COVID-19.

Sebagai pedagang di salah satu destinasi wisata terkenal di Yogyakarta, Wulan harus berinteraksi dengan puluhan bahkan ratusan orang dalam sehari.

Kekhawatirannya semakin meningkat karena masker yang disebutnya bisa mencegah penularan COVID-19 semakin langka di pasaran. Ditambah lagi dengan adanya isu yang beredar bahwa di Yogyakarta sudah ada satu pasien positif terinfeksi COVID-19.

"Kalau takut dan khawatir itu pasti, Mas. Apalagi sekarang stok masker kosong. Kalaupun ada, harganya sampai Rp 10 ribu satu lembar. Kalau masker kain malah banyak, harganya cuma Rp 5 ribu per lembar," katanya.

pedagang malioboroSeorang pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, Wulan, 19 tahun, mengaku kesulitan mencari masker, Selasa, 3 Maret 2020. Harga masker menurutnya mencapai Rp10 ribu per lembar. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Perempuan berhijab ini mengatakan, sebagai langkah antisipasi, dia menggunakan dua lapis tisu basah yang disatukan, kemudian dikenakan sebagai masker.

Pedagang lain yang juga menjual tidak jauh dari lokasi Wulan, Agung Wirawan, 47 tahun, menyatakan hal yang sama. Kata Agung, sejak beberapa hari terakhir masker di apotek dan beberapa minimarket sudah tidak tersedia.

Kelangkaan masker tersebut, dinilainya merupakan dampak dari isu COVID-19. Meski dia sendiri tidak begitu yakin bahwa mengenakan masker bisa mencegah penularan COVID-19.

"Kalau masker kayaknya nggak berpengaruh mas, kalau sudah ada virusnya. Masker sekarang juga sudah habis semua. Di apotek, di Indomaret, Alfamart sudah habis semua karena adanya isu Corona itu," kata dia.

Agung juga merasa khawatir akan tertular COVID-19, karena sebagai pelaku industri pariwisata di Malioboro, dirinya dan rekan-rekan dipastikan harus berinteraksi dengan wisatawan dari berbagai belahan dunia.

"Kami sebagai pelaku wisata di Malioboro ya sudah ada kekhawatiran itu, soalnya kan di Malioboro kan banyak dari mancanegara datang. Nanti kalau nggak tersaring otomatis kan terkena. Jelas takut mas, nggak mungkin nggak takut. Virus Corona e," lanjutnya.

Masker sekarang juga sudah habis semua.

Dia berpendalat, dirinya dan warga masyarakat lain tidak bisa mengantisipasi atau mencegah masuknya COVID-19 ke daerahnya. Satu-satunya pihak yang bisa mencegah dan mengantisipasi adalah pemerintah. Caranya dengan mengontrol masuknya wisatawan, dan tidak membolehkan wisatawan terjangkit COVID-19 masuk ke Indonesia.

"Kalau dari kami masyarakat itu kayaknya nggak bisa mengantisipasi. Yang bisa cuma pusat, Mas. Kalau ada yang kena virus Corona, terus kita berinteraksi, kan otomatis kita bisa kena. Jadi tetap nggak bisa dari masyarakat, harus dari pusat," tegasnya.

Dampak Pemberitaan

Berbeda dengan ketiganya, seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rezky Amalia, 18 tahun, mengaku ketakutan dan kekhawatiran yang cukup besar tentang COVID-19 muncul pada awal pemberitaan.

Namun setelah banyak media yang memberitakan secara detil dan disertai dengan penjelasan medis, baik cara pencegahan maupun cara penularan virus, Rezky mengaku tidak lagi panik. Kekhawatirannya pun berkurang. Pemberitaan yang lengkap, kata dia, sangat berpengaruh terhadap pengetahuan pembaca.

"Awal tahu beritanya takut. Tapi sekarang ndak mi. Kan dari banyak berita yang kulihat, di Twitter dan sebagainya, dibilang jangan panik, jadi kayak lebih ke waspada," jelas gadis yang berasal dari Makassar ini.

mahasiswi YogyakartaSeorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rezky Amalia, 18 tahun, mengaku tidak terlalu khawatir tentang COVID-19 setelah membaca berita. (Foto: Ist/Dok Pribadi)

Sebagai langkah antisipasi agar tak tertular, Rezki mengaku dia lebih rajin mencuci tangan, menyediakan hand sanitizer, serta lebih banyak mengonsumsi air putih.

Upaya lain yang dilakukannya adalah dengan mengurangi berada di pusat keramaian. "Sebaiknya kalau sudah ngapa-ngapain, harus cuci tangan. Lebih bagus lagi kalau bawa hand sanitizer, banyak minum. Mungkin untuk saat-saat ini lebih menghindari ke tempat-tempat ramai," lanjutnya.

Sekarang nggak takut lagi. Apalagi saya kan nggak pernah ke mana-mana.

Senada dengan Rezky, seorang ibu rumah tangga, Dwi, 40 tahun, mengatakan saat ini dirinya tidak terlalu khawatir dengan penularan COVID-19. Menurut dia, berita yang dibacanya, serta beberapa postingan pada media sosial, COVID-19 hanya menular melalui bersin.

Selain itu, dengan daya tahan tubuh yang tinggi, penularan virus juga dapat dicegah. Apalagi risiko kematian dari penderita COVID-19 hanya pada kisaran dua persen.

"Sekarang nggak takut lagi. Apalagi saya kan nggak pernah ke mana-mana. Paling-paling antar anak ke sekolah, terus COD dengan pembeli, terus pulang," kata wanita yang berprofesi sebagai pedagang daring ini.

Mengenai penggunaan masker, Dwi menyebut, hal itu tidak perlu dilakukan oleh orang yang sehat. "Kalau dari berita kan yang perlu pakai masker cuma orang yang sakit. Tadi saya nonton, dokternya bilang kalau orang sehat tidak perlu masker apalagi kalau di rumah. Kalau paramedis seperti saya, baru perlu," ujarnya sambil menirukan ucapan dokter di televisi. []

Baca Juga:



Berita terkait
Pengais Rezeki di Malioboro Yogyakarta Panen Raya
Libur panjang pergantian tahun mendatangkan keberkahan para pengais rezeki di Malioboro Yogyakarta. PKL, kusir andong dan becak panen raya.
Pasien Diduga Corona di RSUP Sardjito Yogyakarta
RSUP Sardjito menangani pasien diduga corona dari RSUD Kota Yogyakarta. Pasien itu mengalami gejala Coronavirus sepulang umrah.
Masker Kesehatan Harga Murah Tersedia di Yogyakarta
Harga masker mahal usai virus Corona. Namun di Yogyakarta masih tersedia harga murah.
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.