Wisata Halal Bukan untuk Mengubah Non Halal Jadi Halal

ASITA Sumatera Utara menanggapi wacana wisata halal dari perspektif industri pariwisata.
Ketua DPD ASITA Sumut Solahuddin Nasution. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan - Ketua Association of The Indonesian Tour & Travel Agencies (ASITA) Sumatera Utara Solahuddin Nasution menanggapi wacana wisata halal. Ia menjelaskan wisata halal dari perspektif industri pariwisata.

Menurut Solahuddin, sebenarnya wisata halal bukan hal yang baru. Lebih dulu dikenal di negara-negara Non OKI (Non Organisasi Kerjasama Islam) yang melihat potensi pertumbuhan wisata muslim yang sangat pesat dari segi ekonomi.

Wisata halal diciptakan untuk melayani kebutuhan wisatawan muslim di negara-negara Non OKI seperti menyediakan restoran halal dan tempat salat dalam perjalanan. Wisata halal dimaknai juga sebagai "muslim friendly tourism". Walaupun keduanya tidak persis sama.

"Pendekatan muslim friendly lebih longgar, lebih soft, dimaksudkan sebagai kemudahan bagi wisatawan muslim untuk mendapatkan akses restoran halal dan fasilitas tempat salat ketika berkunjung ke suatu destinasi," jelas Solahuddin, kepada Tagar, Rabu 4 September 2019.

Namun, hal ini menjadi isu sensitif ketika akan diterapkan di negara yang mayoritas muslim. Soalnya, sejauh ini pemerintah belum menetapkan terminologi, kriteria dan aturan-aturan yang mengikat dalam menetapkan dan mengembangkan wisata halal atau muslim friendly tourism ini.

Kebudayaan masyarakat setempat dan kearifan lokal tetap dibiarkan berkembang dan menjadi kekuatan pariwisata nasional

Lebih lanjut Solahuddin menjelaskan, Indonesia memperoleh predikat negara destinasi halal terbaik dunia. Misalnya, pada tahun 2019 dalam Global Muslim Travel Index berdasarkan pemeringkatan yang dikeluarkan oleh Master Card-Crascent Rating yang bermarkas di Uni Emirat Arab.

"Oleh sebab itu sudah seharusnya memiliki payung hukum tentang wisata halal, sehinga tidak menimbulkan misinterpretasi, mispersepsi di tengah-tengah masyarakat dan tidak minimbulkan salah kaprah dalam menyikapi dan mengembangkannya," jelas Solahuddin.

Dia juga menyarankan perlunya membangun kesepahaman di antara pemangku kepentingan. Pemerintah harus mampu memberikan penjelasan dan meyakinkan masyarakat bahwa yang dimaksudkan adalah hanya sebatas penyediaan fasilitas umum yang diperlukan oleh wisatawan muslim.

Beberapa keperluan itu antara lain restoran halal dan tempat salat ketika berkunjung ke destinasi wisata.

"Jadi bukan mengubah segala sesuatu yang non halal menjadi halal. Bukan juga semua aspek akan diatur berdasarkan syariah Islam. Ketersediaan restoran halal dan non halal yang representatif menjadi pilihan bagi wisatawan yang berkunjung sesuai keinginan dan selera masing-masing. Kebudayaan masyarakat setempat dan kearifan lokal tetap dibiarkan berkembang dan menjadi kekuatan pariwisata nasional," katanya.

Seperti diketahui wacana halal yang diusulkan di Danau Toba ini sedang menuai kontroversi.[]

Berita terkait
Gubsu Diminta Jangan Ganggu Tradisi di Danau Toba
Wakil Ketua Dairi mengatakan tidak perlu penerapan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba.
Wisata Halal Danau Toba Pelabelan yang Salah Kaprah
Pariwisata Danau Toba kembali ‘diguncang’ aksi protes terhadap pernyataan Gubsu Edy yang akan mengatur daerah itu dengan label ‘halal dan syariah’.
Wisata Halal, Quo Vadis Pariwisata Danau Toba
Daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia dihadapkan dengan politik agama, wisata halal. Jika ini diterapkan di Danau Toba merusak pranata adat
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.