Wisata Halal Danau Toba Pelabelan yang Salah Kaprah

Pariwisata Danau Toba kembali ‘diguncang’ aksi protes terhadap pernyataan Gubsu Edy yang akan mengatur daerah itu dengan label ‘halal dan syariah’.
Danau Toba. (Foto: Tagar/Nuranisa Hamdan)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Dalam sebuah pernyataan kepada wartawan di Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) di Medan, Gubernur Sumut (Gubsu) Edy Rahmayadi, hari Kamis 22 Agustus 2019, kembali mengatakan bahwa fokus yang dia lakukan dalam membangun Sumut adalah pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba.

Pandangan Edy pada mulanya normatif yaitu menyelaraskan tugas-tugas pengembangan Danau Toba di berbagai sektor, misalnya penanganan dan pengelolaan limbah industri dan limbah rumah tangga, dan penataan keramba jaring apung. 

Lama Tinggal Wisman

Tapi, pernyataan Edy ini menyulut protes luas: …. penataan hewan berkaki empat (maksudnya babi-pen.) agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum karena status Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan juga termasuk pengembangan wisata halal, seperti mendirikan mesjid. “Tidak kalian bikin di sana mesjid, tak datang dia (wisman) itu. Sempat potong-potong babi di luar, sekali datang besok tak datang lagi itu.” 

[Baca juga: Wisata Halal, Quo Vadis Pariwisata Danau Toba]

“Sudah puluhan tahun kawasan Danau Toba jadi tujuan wisata tidak ada masalah terkait makanan dan tempat ibadah,” kata seorang warga di sana. Bahkan, sejak dulu banyak pengunjung yang memakai jilbab dan tidak ada persoalan. Soalnya, warga di kawasan Danau Toba sejak dulu memegang teguh toleransi sehingga ada warung dan restoran yang menyediakan minuman dan makanan yang halal serta tempat ibadah.

Tempat pemotongan babi pun sejak dahulu dilakukan di tempat khusus. “Kami tidak pernah memotong babi di tempat umum yang terbuka,” ujar warga lain yang menyesalkan pernyataan gubernur itu.

Edy sendiri mengatakan tidak mengharapkan wisatawan mancanegara (Wisman) dari Eropa, Australia dan Amerika Utara karena kata dia mereka akan memilih Bali. Padahal, sejak dahulu pemerintah mencanangkan tujuan wisata “Bali and The Beyond” dan “Beyond Bali”. Itu artinya wisman dari Australia, Eropa dan Amerika Utara mengunjungi tempat lain setelah menikmati Bali.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) ini bisa dilihat kecendurungan Wisman yang mengarah ke “Bali and The Beyond”. Rata-rata lama tinggal wisman (dalam hari) di Indonesia pada tahun 2016, al.: Brunei 5,36; Malaysia 5,14; Mesir 10,47; Australia 10,02; AS 11,48; Belanda 15,37; Jerman 15,11; dan Inggris 12,09.

Data di atas menunjukkan kecenderungan Wisman dari Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara memenuhi objek wisataBali and The Beyond”, sedangkan Wisman dari Malaysia (5,14) dan Brune (5,36) bisa saja hanya di satu objek wisata. Bahkan, sebuah survei di Medan menunjukkan  38 persen responden justru memilih Kota Medan, disusul Danau Toba 25 persen dan Kota Berastagi sebesar 16 persen (suvei dijalankan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara dan Universitas Pancabudi Medan, November 2018).

Ada kekhawatiran di kawasan Danau Toba label ‘halal dan syariah’ akan berhadapan dengan adat-istiadat yang merupakan seni dan budaya mayoritas warga di seputar danau yang sudah berlangsung sejak awal kehidupan masyarakat Batak.

[Baca juga: Wacana Wisata Halal Danau Toba vs Kearifan Lokal]

Presiden Jokowi mengikuti tren dunia yang terus membenahi dunia pariwisata karena wisata adalah sektor ekonomi yang tidak terkena imbas resesi global sekalipun. Jokowi pun mengembangkan 10 daerah tujuan wisata (DTW) yang disebut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sebagai bagian dari program untuk meningkatkan perekonomian daerah demi kesejahteraan warganya.

Aspek 3A

Ini dia 10 KSPN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, yaitu: Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Morotai (Maluku Utara), Pulau Komodo-Labuan Bajo (NTT), Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Danau Toba (Sumatra Utara), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika Lombok (NTB), dan Tanjung Lesung (Banten).

Pemerintah melalui Kementerian PUPR terus meningkatkan akses ke 10 KSPN tsb. untuk meningkatkan kunjungan wisman dan wisnu (wisatawan nusantara). Membuka atau meningkatkan kapasitas bandar udara (Bandara) di sekitar KSPN, membangun jalan tol untuk mempersingkat waktu tempuh.

Pemerintah akan mengalokasikan anggaran Rp 2,4 triliun pada tahun 2020 untuk mengembangkan kawasan Danau Toba jadi kawasan pariwisata yang berskala internasional.

Jika Gubernur Edy mengharapkan peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba bukan dengan menerapkan ‘label halal dan syariah’, tapi meningkatkan aspek 3A, yaitu: atraksi (pertunjukan atau tontonan), aksesibilitas (ukuran terkait dengan kemudahan menjangaku sebuah lokasi dari lokasi lain  melalui sistem transportasi), dan amenitas (sesuatu yang menimbulkan kesenangan, kenyamanan). Ada pula hospitality (keramahtahaman). 

Nah, hal di ataslah yang perlu dikembangkan Gubernur Edy untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Danau Toba bukan dengan menerapkan label ‘halal dan syariah’.

Bisa saja diuji apakah label ‘halal dan syariah’ yang lebih mendorong kemajuan sebuah kawasan wisata atau aspek 3A?

Lama tempuh perjalanan darat dari Bandara Kualanamu ke Parapat rata-rata 5 – 6 jam. Ini jelas merugikan wisatawan dalam efisiensi waktu. Karena waktu yang terpakai untuk transportasi darai dan ke Danau Toba saja sudah 10 – 12 jam. Ini sama saja dengan satu hari. Jika ada akses jalan tol dari Bandara Kualanamu ke Parapat tentu akan menghemat waktu karena diperkirakan jika ada jalan tol waktu tempuh sekitar 2 jam.

Hal lain yang kita takutkan terjadi di Danau Toba adalah peraturan daerah (Perda) yang bermuatan moral, seperti mengatur cara berpakaian dan penjualan minuman beralkohol serta hiburan malam (dugem yaitu dunia gemerlap).

Pantai merupakan area bebas cara berpakaian sehingga kalau kelak ada regulasi cara berpakaian di sekitar Danau Toba itu artinya wisata Danau Toba akan tinggal kenangan. Kondisnya kian runyam kalau label ‘halal dan syariah’ juga jadi bagian dari wisata Danau Toba. Upaya Jokowi mengembangkan sektor yang kebal terhadap resesi itu pun akan ‘gatot’ (gagal total). []

*Syaiful W. Harahap, Redaktur di "Tagar"

Berita terkait
Hentikan Wacana Wisata Halal, Usut Perusak Danau Toba
Aliansi Mahasiswa Peduli Danau Toba menyatakan penolakan terhadap wisata halal di Danau Toba.
Warga Muslim Sebut Danau Toba Tak Butuh Wisata Halal
Warga muslim yang pernah berkunjung ke sana pun menyebut, tak perlu ada wisata halal di kawasan Danau Toba.
Gubsu Jangan Picu Isu SARA dalam Membangun Danau Toba
Sutrisno Pangaribuan menyebut pernyataan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dengan wisata halal sangat kontroversial.