Wisata Halal, Quo Vadis Pariwisata Danau Toba

Daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia dihadapkan dengan politik agama, wisata halal. Jika ini diterapkan di Danau Toba merusak pranata adat
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kelima kiri) mengunjungi kawasan kerajinan tenun ulos di Samosir, Sumut, Selasa, 30 Juli 2019. (Foto: Tagar/ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Wacana yang dibangun oleh Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, yang mengatakan akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba (KDT), termasuk menata  pemotongan babi, mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan.

Jika KDT dikembangkan jadi destinasi wisata halal, maka simbol-simbol pranata adat masyarakat Batak yang merupakan kearifan lokal akan terganggu. Sejarah suku Batak tidak bisa lepas dari pranata adat yang jadi bagian dari kehidupan keseharian di Tano Batak.

Pranata adat yang diwujudkan dalam budaya dan kesenian Batak merupakan bagian dari wisata. Sama halnya dengan di Yogyakarta, Toraja (Sulsel) dan Bali, budaya dan kesenian jadi ikon pariwisata yang jadi daya tarik bagi wisatawan.

Politik Agama

Pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya, tempat-tempat yang mengandung sejarah dan religi juga jadi daya tarik bagi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman) dari Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia.

Ilus KDT2Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kelima kiri) mengunjungi kawasan kerajinan tenun ulos di Samosir, Sumut, Selasa (30/7/2019). Kedatangan Presiden itu untuk meninjau pengembangan wisata di kawasan Danau Toba yang akan dijadikan destinasi wisata berkelas dunia. (Foto: Tagar/ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).

Ada 7 kabupaten yang mengelilingi KDT, yaitu: Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput), Humbang Hasundutan (Humbahas), Dairi, Karo, dan Samosir. Semua daerah ini mayoritas didiami oleh masyarakat yang memeluk agama Kristen.

Tanpa embel-embel ‘wisata halal’ masyarakat di KDT sejak dulu memahami kebutuhan kalangan Muslim, terutama terkait dengan makanan (yang halal). Dalam kegiatan pesta adat, misalnya, selalu ada makanan untuk kalangan Muslim. Di Parapat, misalnya, kota yang jadi ‘pintu masuk’ utama ke Danau Toba berjejer warung dan restoran yang menyediakan minuman dan makanan halal.

Lagi pula, yang disebut wisata halal hanya terkait dengan tempat ibadah, tentu saja ini tidak harus bangunan besar tapi memenuhi syarat sebagai tempat menjalankan ibadah khususnya salat. Ada kejadian lucu terkait dengan tempat ibadah. Ada usul agar di kawasan Pura di Bali disediakan musola. Ini jelas di luar akal sehat. 

Sedangkan makanan halal tidak perlu dengan mengaitkannya dengan politik agama berupa syariah tapi cukup dengan label halal yang tersertifikasi. 

Kalau pola syariah ditetapkan tentulah harus ada hotel halal, resort halal, pantai halal, dll. Ini sama saja dengan mengkotak-kotakkan masyarakat dan wisatawan yang pada akhirnya hanya menimbulkan sentimen SARA.

Terkait dengan wisata halal di KDT, Gubsu Edy mengatakan tidak mengharapkan wisatawan mancanegara, seperti dari Australia, karena yang disasar adalah wisatawan dari Malaysia dan Brunei Darussalam.

Persoalannya adalah apakah wisatawan dari Malaysia dan Brunei serta negara-negara Islam lain memang mencari daerah tujuan wisata (DTW) dengan label ‘wisata halal’? Data menunjukkan tujuan wisata halal nomor satu adalah Malaysia. Disusul Indonesia, Uni Emirat Arab, Turki, Arab Saudi dan Qatar. Apakah Malaysia menerapkan wisata halal secara fisik? Tidak juga.

Komersil dan Dikomersilkan

Samosir sendiri sebagai DTW di KDT ternyata hanya dikunjungi 65.724 wisman dari 381.649 wisatawan yang berkujung ke Samosir pada tahun 2017. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata lama tinggal wisman (hari) dari beberapa negara di Indonesia pada tahun 2016, al.: Brunei 5,36; Malaysia 5,14; Mesir 10,47; Australia 10,02; AS 11,48; Belanda 15,37; Jerman 15,11; Inggris 12,09.

ilus kdt3Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo mengunjungi kawasan Sipinsur Geosite di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara, Senin (29/7/2019). Kawasan hutan pinus itu berada di ketinggian 1.213 meter di atas permukaan laut serta memiliki luas sekitar dua hektar dan diharapkan dapat menjadi tempat wisata keluarga dan milenials untuk menikmati pemandangan Danau Toba. (Foto: Tagar/ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).

Sedangkan survei yang dijalankan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara dan Universitas Pancabudi Medan ternyata Kota Medan jadi destinasi wisata favorit wisman ketika berkunjung ke Sumatra Utara. Survei pada November 2018 dengan 503 wisman sebagai responden tentang tujuan wisata mereka. Hasilnya, 38 persen responden justru memilih Kota Medan, disusul Danau Toba 25 persen dan Kota Berastagi sebesar 16 persen.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengembangkan KDT dengan tiga pilar utama 3A, yaitu: atraksi (pertunjukan atau tontonan), aksesibilitas (keterkaitan), dan amenitas (sesuatu yang menimbulkan kesenangan, kenyamanan). 

Atraksi adalah pertunjukan seni. Di Bali, misalnya, pertunjukan seni komersial (berbayar), seperti tari kecak bisa disaksikan di gedung pada siang hari. Sedangkan di KDT pertunjukan seni dikomersialkan. Artinya, tidak ada standar tarif resmi karena pertunjukan seni tidak ada tempat khusus dan jadwal yang tetap.

Aksesibilitas ke KDT memerlukan waktu antara 5 – 6 jam dari Banda Kualanamu. Ini melelahkan bagi wisatawan yang baru mendarat dengan pesawat terbang dengan perjalanan panjang.

Sedangkan amenitas sangat sulit diperoleh wisatawan, khsusunya wisman, karena wisman cewek jadi sasaran mata keranjang. Ini artinya tidak ada hospitality (keramahtamahan) pada masyarakat setempat.

KDT tidak akan pernah jadi primadona ‘Bali and the Beyond’ atau ‘Beyond Bali’ karena beberapa faktor tidak  mendukung Danau Toba sebagai DTW. Kondisinya kian runyam ketika dipaksakan format wisata halal karena aspek-aspek yang mendukung pariwisata, seperti kebudayaan dan kesenian khas Toba (baca: Batak) akan ‘punah’. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Gubsu Jangan Picu Isu SARA dalam Membangun Danau Toba
Sutrisno Pangaribuan menyebut pernyataan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dengan wisata halal sangat kontroversial.
Penolakan Wisata Halal di Kawasan Danau Toba
Pernyataan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi soal kawasan Danau Toba akan dijadikan wisata halal akhir-akhir ini ramai diperbincangkan.
Wisata Halal di Danau Toba, Mengancam Jati Diri Batak
Kami siap dengan kemajuan. Tapi jangan paksa kami dengan identitas budaya baru, apalagi yang disebut dengan wisata halal dan bersyariah.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.