Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengakui tidak mudah mengendalikan organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seiring keran demokratisasi yang makin terbuka di Indonesia.
Ormas tersebut telah dibubarkan karena dinilai bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pembubaran HTI, menurut Wiranto, sempat menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Padahal, organisasi tersebut sudah dilarang di 20 negara, termasuk di negara Islam lainnya.
Dia melanjutkan, pembubaran ormas yang ingin menegakkan khilafah tersebut ternyata belum menuntaskan persoalan, karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang hanya menyangkut pembubaran organisasi saja, bukan menjerat individunya.
Kami sedang garap bagaimana pembubaran organisasi itu diimbangi juga dengan individual, tidak boleh menyebarkan ideologi yang sudah dilarang.
"Ternyata, setelah organisasi kami bubarkan, di luar masih ngomong sana, ngomong sini. Ditangkap, (kami disorot mencegah) kebebasan berekspresi. Kami sedang garap bagaimana pembubaran organisasi itu diimbangi juga dengan individual, tidak boleh menyebarkan ideologi yang sudah dilarang," kata Wiranto di Kantor Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta, dilansir Antara, Jumat, 13 September 2019.
Pria berusia 72 tahun itu mencatat, setidaknya ada lebih dari 400 ribu ormas di Indonesia. "Jumlah total ormas di Indonesia 424.192 ormas. Banyak juga kan," ujarnya.
Ormas sebanyak itu, lanjutnya, terdiri atas 2.880 ormas dengan SK Kementerian Dalam Negeri, 397.241 ormas dengan badan hukum (BH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dan ormas asing di bawah Kementrian Luar Negeri sebanyak 71 organisasi.
Wiranto memandang, menjamurnya ormas terjadi setelah reformasi politik pasca-Orde Baru tumbang yang memudahkan pendirian ormas, bahkan bisa mendaftar secara online.
"Sejak Orde Baru tumbang, itu telah tumbuh subur ormas-ormas yang sekarang izinnya hanya bisa dengan online," ujarnya.
Wiranto menilai tidak semua ormas memiliki tujuan yang baik, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya, terutama melalui regulasi yang disiapkan secara baik.
Persoalannya, kata dia, setiap pemerintah menyiapkan regulasi yang bersifat agak keras akan dicap sejumlah pihak sebagai tindakan otoriter.
"Masalahnya, setiap regulasi yang agak keras sudah dicap kembali ke otoriter, setiap regulasi yang mengarah kepada pembatasan-pembatasan kebebasan dicap sebagai mengarah ke Orde Baru," kata Wiranto. []