UU di Afrika Selatan Larang Konversi Buku ke Braille

Tunanetra Afsel menentang undang-undang era apartheid yang mencegah buku dicetak ke dalam braille, bahasa tertulis untuk tunanetra
Seorang siswa membaca catatan Braille selama pelajaran, di tengah penyebaran COVID-19 di sekolah Thika untuk tunanetra di kota Thika, kabupaten Kiambu di Kenya, 29 Oktober 2020. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS /Monicah Mwangi)

TAGAR.id, Jakarta - Para penyandang tunanetra di Afrika Selatan (Afsel) mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menentang undang-undang era apartheid yang mencegah buku dicetak ke dalam braille, bahasa tertulis untuk tunanetra. Para kritikus mengatakan UU itu membuat ribuan buku tidak dapat diakses tunanetra.

“Akhiri kelaparan akan buku bagi tunanetra.” Itulah pesan yang disampaikan oleh orang-orang Afrika Selatan ke pengadilan tertinggi di negara itu.

Dua organisasi nirlaba, BlindSA dan Section 27, mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk menentang undang-undang hak cipta berusia 44 tahun yang melarang buku dicetak dalam braille -sistem membaca sentuh bagi tunanetra- tanpa izin dari penerbit.

Saat ini, kurang dari 0,5% karya yang diterbitkan tersedia dalam format yang dapat diakses oleh tunanetra di Afrika Selatan.

membaca huruf brailleSeorang pengunjung membaca buku yang ditulis dalam huruf Braille di perpustakaan khusus untuk tuna netra, 15 Maret 2016. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Ilya Naymushin)

“Selama 44 tahun terakhir hak-hak tunanetra telah dilanggar dan di Afrika Selatan yang demokratis selama 28 tahun kami telah dibungkam. Lebih lama lagi ini bisa berlanjut. Ketidakadilan harus dihentikan dan harus dihentikan sekarang,” ujar Jace Nair, yang merupakan CEO BlindSA.

Aktivis tunanetra Thandile Butana telah berjuang untuk menentang undang-undang itu. Dia telah menyelesaikan gelar sarjana di bidang ilmu sosial tetapi menunda gelar masternya karena sulitnya menerjemahkan buku teks ke dalam huruf braille.

“Sayangnya, kita tidak dapat berkontribusi positif bagi perekonomian negara jika kita tidak berpendidikan, dan pendidikan bergantung pada akses pada buku,” kata Butana.

Untuk menempuh studi sarjananya, Butana harus membayar mahasiswa lain untuk membacakan buku teks untuknya. Sekarang, undang-undang hak cipta yang sama mempengaruhi kemampuannya untuk membantu putranya mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah.

“Saya tidak memiliki buku yang dapat diakses untuk kebutuhan saya, dan itu membuat saya kurang lengkap sebagai seorang ibu. Saya sendiri tidak bisa membantunya,” tambahnya.

Perjuangan Thandile Butana tersebut tidak hanya terbatas pada komunitas tunanetra Afrika Selatan. Kesulitan seperti itu merupakan masalah bagi kebanyakan orang dengan gangguan penglihatan di seluruh wilayah Afrika.

harry potter huruf brailleIlustrasi: Kristin Turgeon, 7 tahun, membaca buku Harry Potter dalam huruf Braille di Boston, Massachusetts, AS. (Foto: voaindonesia.com/Reuters).

Serikat Tunanetra Dunia (WBU) memperkirakan penyandang tunanetra di benua itu hanya memiliki akses antara 1 hingga 7 persen dari jumlah keseluruhan buku yang beredar.

Perjanjian Marrakesh, yang memungkinkan pertukaran buku dengan format yang dapat diakses melewati batas-batas negara secara internasional, telah ditandatangani oleh sejumlah negara Afrika.

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan belum mengeluarkan putusannya tentang undang-undang hak cipta itu. Sejauh ini tidak ada yang yakin kapan putusan itu akan dijatuhkan, tetapi komunitas tunanetra Afrika Selatan berharap putusan itu akan menjadi putusan yang positif dan membuka dunia baru yang menjadi sumber pengetahuan bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan. (lt/rs)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Ular Tangga Braille, Dedikasi Hanun Untuk Temannya yang Buta
Ia kemudian mencari ide permainan apa yang kira-kira bisa juga digunakan oleh para anak penyandang tunanetra.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.