Untuk Menang Pemilu, Jadilah Oposisi yang Kreatif

Elite parpol pengusung dan pendukung Prabowo Subianto dapat belajar dari pengalaman PDI Perjuangan sebagai oposisi.
Ketua Komisi D DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan. (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

Medan - Pertemuan Presiden terpilih hasil Pilpres 2019, Joko Widodo dengan rivalnya Prabowo Subianto beberapa waktu lalu sangat positif.

Media sosial pun kini tidak lagi dihuni oleh cebong dan kampret. Meskipun ada juga pihak yang gagal "move on", tetapi mayoritas rakyat menyambut gembira. Tensi politik akhirnya menurun, semangat persatuan kembali bergelora.

Ungkapan tersebut disampaikan kader PDI Perjuangan Sumatera Utara, Sutrisno Pangaribuan ketika diajak ngobrol dan diskusi di ruang kerjanya, Senin 22 Juli 2019.

Ketua Komisi D, DPRD Sumatera Utara ini menyebut agar situasi seperti ini terus terjalin.

"Saat ini, kontestasi politik telah berakhir, pemenang sudah ditetapkan. Pihak yang kalah sudah menerima, bahkan telah mengucapkan selamat bekerja secara langsung. Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi pun telah menyatakan kemenangan tanpa kecurangan. Maka saatnya kita bergandengan tangan untuk membangun bangsa. Meskipun ada juga pihak yang gagal "move on", tetapi mayoritas rakyat menyambut gembira," kata Sutrisno.

Dia mengulas kisah perjalanan partai berkepala banteng, pada Pilpres 2004 dan 2009, pasangan calon yang diusung koalisi PDI Perjuangan kalah. Proses politik berjalan terus meskipun PDI Perjuangan memutuskan berada di luar pemerintahan Presiden SBY.

Pengawasan secara kritis dilakukan melalui DPR RI. Demokrasi dibangun melalui penguatan basis rakyat secara partisipatif. Rakyat akhirnya terlibat aktif mengawasi roda pemerintahan.

"PDI Perjuangan memilih jalan yang tidak mudah, menjadi oposisi kreatif, produktif, dan konstruktif selama 10 tahun. Menerima kekalahan dengan kepala tegak. Membawa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Setelah diputuskan oleh MK, kemudian ditetapkan oleh KPU, PDI Perjuangan legowo dan tidak melakukan manuver politik. Jika kemudian alm. Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR itu tidak diberikan karena rekonsiliasi," ucap dia.

Untuk itu, elite parpol pengusung dan pendukung Prabowo Subianto dapat belajar dari pengalaman PDI Perjuangan sebagai oposisi. Konsistensi pilihan mengantarkan PDI Perjuangan mencatat sejarah, sebagai pemenang Pemilu 2014 dan 2019.

Maka jika ingin memenangkan pemilu, jadilah oposisi yang kreatif. Lakukan pengawasan secara kritis, baik secara formal melalui DPR RI, maupun melalui mekanisme lain secara konstitusional.

Kekuatan politik oposisi sepertinya tidak cukup signifikan dalam memberikan fungsi kontrol terhadap laju jalannya pemerintahan

"Membangun bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah memilih di luar pemerintahan. Rekonsiliasi tanpa syarat, akan membangun peradaban politik yang baik. Partai pengusung dan pendukung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin saja tidak boleh memaksa jatah kursi. Maka partai yang bukan pengusung dan pendukung pun sudah selayaknya tidak berharap," ujarnya.

Sebagai bagian dari tim pemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Sutrisno memberi apresiasi kepada Prabowo Subianto, menunjukkan sikap negarawan dengan bertemu dan mengucapkan selamat bekerja tanpa syarat.

"Sikap kesatria telah ditunjukkan kepada bangsa ini, maka selayaknya kita meneladani sikap baik itu. Semoga Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin dapat menyusun kabinet secara mandiri setelah dilantik 20 Oktober 2019 mendatang," tandas dia.

Sementara itu, pengamat politik Alip Dian Permata dari Palembang, Sumatera Selatan, menyebut kemungkinan terbentuknya oposisi konsensus yang lebih memilih penggunaan metode pendekatan lunak terhadap pemerintahan pasca-Pilpres 2019.

"Kekuatan politik oposisi sepertinya tidak cukup signifikan dalam memberikan fungsi kontrol terhadap laju jalannya pemerintahan, maka satu-satunya bentuk pengawasan yang mungkin dilakukan oleh oposisi adalah menjadi oposisi konsensus," kata Alip, Minggu 21 Juli 2019, dikutip dari Antara.

Alip yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS), melihat pasca pengumuman hasil pilpres kekuatan politik oposisi di parlemen cukup lemah, karena jika ditotalkan, presentase oposisi angkanya hanya mencapai 35, 39 persen, sehingga belum cukup menjadi kekuatan oposisi yang dominan di parlemen.

Berbeda dengan pencapaian politik seperti Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi di tahun 2014 yang meskipun gagal memenangi pilpres, namun berhasil menjadi kekuatan mayoritas di parlemen.

"Dan mereka (oposisi) saat itu bisa menyegel kursi pimpinan dewan di parlemen, sehingga di awal-awal masa kepemimpinan Jokowi mereka mampu menghadirkan perlawanan yang cukup ketat terhadap presiden," lanjutnya.

Konsekuensi dari hadirnya oposisi konsensus, kata dia, dimungkinkan sikap oposisi tidak akan segarang dengan varian-varian oposisi lainnya, apalagi jika ternyata oposisi kekurangan bergaining position secara politik sebab bukan mayoritas.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Kekurangan Pekerja di Bandara Australia Diperkirakan Samapi Tahun Depan
Kekurangan pekerja di bandara-bandara Australia mulai bulan Juli 2022 diperkirakan akan berlanjut sampai setahun ke depan