Jakarta- Facebook, Twitter dan Google mendapat tekanan dari Uni Eropa untuk lebih pro aktif dalam memerangi berita palsu atau hoax. Ketiga platform media sosial (medsos) ini diminta untuk mengikuti jejak perusahaan-perusahaan lain yang dengan suka rela menandatangani pakta integritas secara suka rela dalam memerangi hoax.
Setahun lalu, raksasa teknologi Amerika Serikat (AS), Apple Inc bersama Mozilla, Microsoft dan tujuh badan perdagangan Eropa meneken kode etik secara suka rela untuk memerangi hoax. Saat ini, Uni Eropa tengah menyusun peraturan yang dikenal sebagai Digital Services Act. Regulasi ini mengatur soal pertanggungjawaban dan keselamatan platform, layanan, dan produk digital. Namun rencana itu banyak yang menentang karena dinilai suatu bentuk intervensi terhadap industri teknologi.
Sejumlah pejabat diantaranya Komisaris Keadilan Eropa Vera Jourova, Kepala Keamanan Eropa Julian King, dan Komisaris Digital Eropa Mariya Gabriel tidak setuju dengan adanya intervensi melalui regulasi Digital Services Act. Para pejabat ini juga meminta perusahaan platform medsos untuk bekerja sama dengan badan yang lebih independen yang disewa oleh Komisi Eropa, yang akan menerbitkan penilaiannya awal tahun depan. Tapi propaganda otomatis berskala besar dan disinformasi tetap ada dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. "Kami tidak bisa menerima ini sebagai normal baru," jelas Vera Jourova dalam pernyataan bersama.
Sebelumnya pada Selasa lalu, 29 Oktober 2019, Komisi Eropa merilis laporan terakhir untuk memantau upaya platform medsos mematuhi kode etik secara suka rela dalam memerangi hoax sebelum pemilihan parlemen Eropa pada Mei mendatang. Seperti diberitakan business.standard.com, Facebook, Twitter, Alphabet Inc Google, dan perusahaan teknologi serta perusahaan periklanan pada musim gugur yang lalu berkomitmen mencegah iklan berita hoax dan memprioritaskan informasi otentik.
Perusahaan teknologi khususnya Facebook berada di bawah tekanan yang kuat di AS dan Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Facebook dituding telah dimanfaatkan oleh Rusia menyebarkan berita palsu untuk mempengaruhi pemilihan presiden di AS tahun 2006 dan rencana Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).
(Dimas Wijanarko)
- Baca Juga: Yahoo Belum Tertarik Bikin Aplikasi Media Sosial
- Platform Media Sosial TikTok Hapus Akun Propaganda ISIS