To Suprapto, Guru di Sleman Banting Setir Jadi Petani

Namanya To Suprapto, akrab disapa Pak To oleh warga setempat. Kiprahnya di dunia pertanian dikenal sampai mancanegara.
Memanfaatkan lahan untuk pertanian dan perikanan, tetap bisa menghasilkan produk yang melimpah. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Sleman - Namanya To Suprapto, akrab disapa Pak To oleh warga setempat. Kiprahnya di dunia pertanian sudah dikenal sampai mancanegara. Banyak dari negara Asia dan Eropa berguru kepadanya, mendatangi kediamannya.

Rumahnya di Jalan Godean Km 9, Mandungan 1, Desa Margoluwih, Kecamatan Seyegan, Sleman. Di tempat ini pula, Pak To mempraktikkan ilmu pertanian yang dimilikinya.

Awalnya, Pak To tidak menyangka hidupnya berkubang di dunia pertanian. Ia berlatar belakang seorang pendidik milik Yayasan Probosutedjo, adik mantan Presiden RI Soeharto.

Di sela mengajar, Pak TO juga pemain sepak bola. Dari PSIM Yogyakarta ke PSS Sleman, lalu sempat menjadi wasit. Memang Pak To punya hobi bertanam, karena memang seorang guru pertanian.

Tidak heran saat pemerintah punya program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), Pak To tertarik mengikutinya. Ia ikut bersama 25 orang lain mewakili desanya. Satu desa diwakili 25 orang. Dari 25 orang ini dipilih dua orang, Pak To satu di antara yang terpilih.

Program kerja sama Kementerian Pertanian dengan FAO secara nasional, tersebar di 13 provinsi. Dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, seluruh Jawa, NTB, Bali dan Sulawesi. Program yang berlangsung selama 10 tahun, 1989-1999 ini, mampu mencetak 1 juta petani terpadu, Pak To salah satunya.

Di lahan terbatas tetap bisa bertanam, dengan hidroponik, aeroponik, vertikultur pakai paralon.

Pak ToPak To membuktikan lahan sempit bukan alasan untuk tidak bertanam, seperti mensiasati dengan media tanam mengambang di atas kolam ikan. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Sebelum program nasional berakhir, Pak To menginspirasi agar program ini tetap berjalan, dengan cara swadaya. "Program pemerintah berakhir, kita mendapat manfaat besar. Kita berpikir sebaiknya diteruskan meski secara swadaya," kata Pak To di rumahnya, Kamis, 20 Juni 2019.

Pak To bersama rekan, menggelar rembuk petani tingkat Provinsi DIY pada 1998 di Kulonprogo. Para petani pemandu di luar DIY ikut diundang. Akhirnya 'para alumni' SLPHT menggelar Munas di Yogyakarta dengan menghadirkan Menteri Pertanian Soleh Solahudin dan Gubernur DIY Sri Sultan HB X.

Dari Munas itu terbentuk wadah bernama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Organisasi ini lahir dari petani dan dikelola petani sendiri secara mandiri.

Di sinilah pergulatan batin Pak To. Saat pemilihan Ketua IPPHT, mensyaratkan ketuanya dari petani. Karena di AD/ART pengurus harus petani. Pak TO tidak memenuhi syarat masuk dalam kepengurusan itu karena profesinya guru. "Saya jawab tidak memunuhi syarat karena harus petani," kata dia.

Pria kelahiran Sleman, 30 Januari 1957 ini masih ingat saat itu, ada peserta dari provinsi lain protes, keberatan jika Pak To tidak masuk kepengurusan. "Yang punya prakarsa Pak To, ketua panitia juga Pak To, kok malah Pak TO tidak masuk pengurus," kata Pak To menirukan protes anggota itu.

Pak ToLahan sempit bisa menghasilkan bahan makanan untuk keperluan sehari-hari, setidaknya tidak harus membeli di warung. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori) 

Lalu, kata dia, ada yang bilang Pak To harus memilih menjadi guru atau petani. "Ini yang berat bagi saya, untuk keluar dari profesi guru, karena sudah 21 tahun. Menjadi guru di yayasan yang standar mapanlah," paparnya.

Dengan berbagai pertimbangan, Pak To memilih mengundurkan diri dari profesinya sebagai guru. Ia memilih mendarmabaktikan untuk dunia pertanian. "Akhirnya masuk organisasi itu, tugasnya keliling Indonesia, dari Aceh ke Papua, dari Asia ke Eropa dengan dana sendiri," kata dia.

Pak To merasa seperti hidup dalam kematian, karena tidak pernah di rumah dan tidak ada gaji. Pada 2007 diingatkan oleh Tuhan lewat anaknya, yang menanyakan kepada ibunya. "Bapak pekerjaanya apa kok enggak pernah di rumah. Itulah mengapa saya seperti hidup dalam kematian," ujarnya.

Koordinator Umum Nasional IPPHTI ini pada 2007 akhirnya memutuskan berdiam di rumah. Ia mendirikan Joglo Tani sebagai wahana pembelajaran pertanian terpadu. "Dengan konsep Joglo Tani ini bisa menjadi pemasukan bagi saya, dengan lumbung pangan mataraman ini," jelasnya.

Pak ToMenyiasati lahan perikanan untuk menghasilkan tanaman pangan. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Lebih banyak di rumah lebih dekat dengan keluarga. Lebih fokus mengurusi pertanian dengan Joglo Tani yang dibentuknya. "Kalau ada orang membutuhkan saya, biar datang ke sini, supaya saya tidak keluar terus, tidak hidup dalam kematian," kata dia.

Ia mengisahkan Joglo Tani diresmikan pada 18 Januari 2008 oleh Sri Sultan HB X. Selain sebagai wahana pembelajaran petani terpadu, juga sebagai monumen kebangkitan petani Indonesia. Konsep Joglo Tani ini menjadi permodelan pertanian di Indonesia.

Joglo Tani ini bervisi kemerdekaan, misinya kemandirian. Petani mampu melepaskan tekanan ekonomi. "Dengan pupuk beli, bibit beli petani menjadi tidak merdeka. Waktu beli yang menentukan penjual, waktu panen yang menentukan yang membeli. Joglo Tani melepaskan tekanan itu," jelasnya.

Sejak mendirikan Joglo Tani ini, orang yang ingin belajar bertani akhirnya berguru kepadanya, mendatangi kediamannya. Tidak hanya kelompok tani, penyuluh, mahasiswa S1 dan S2 lintas program studi berguru di sini. Tidak hanya dari dalam negeri, luar negeri juga belajar di sini.

"Warga dari 16 negara di Asia dan Eropa belajar di sini. Sejak berdiri 11 tahun, rata-rata setahun yang belajar di sini seribuan orang," ujarnya.

Pak ToLahan perikanan berpadu lahan buatan untuk tanaman pangan, menarik juga untuk pemandangan. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Pak To berharap, apa yang dipraktikkan di Joglo Tani ini bisa ditiru warga lain, termasuk di perkotaan dengan lahan terbatas sekali pun. "Di lahan terbatas tetap bisa bertanam, dengan hidroponik, aeroponik, vertikultur pakai peralon," kata dia.

Dengan bertanam sendiri, setidaknya mampu memangkas rantai pasar.

Kebutuhan untuk makan sehari-hari, setidaknya tidak beli di warung. Bisa memanen sendiri di lahan sempit yang ditanami. "Sayur atau bumbu-bumbuan misalnya, setidaknya tidak beli di warung," katanya.

Ia mencontohkan, dengan lahan satu meter persegi bisa menghasilkan sesuatu. Dibuat model vertikultur misalnya, bisa pakai polybag atau segala macam barang bekas. Limbah bisa dimanfaatkan sebagai media bercocok tanam.

Di daerah genangan air pun bisa dimanfaatkan untuk bertanam. Media yang dipakai bambu ukuran 1 x 1 meter, diisi tanah dan pupuk, diberi pengapung seperti sterofoam agar tidak tenggelam ke dalam air.

"Misalnya punya kolam ukuran 2 x 2 meter, bisa dibuat media bambu ukuran satu meter persegi untuk bertanam. Intinya dengan lahan terbatas, bukan alasan untuk tidak bertanam," tegasnya.

Apa yang dipraktikkan Pak To ini menginsipirasi banyak orang. Kini Pak To sebagai konsultan pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia. Banyak perusahaan, dari program CSR, yang mengajak Pak To mendampingi warga bergelut di dunia pertanian, juga perikanan.

Pendampingan yang dilakukan Pak To antara lain, Pertamina Yogyakarta, Danone AQUA Klaten, SGM Klaten, Polda Manado, Desa Bolo Boyolali, BKPP DIY, BPO DIY, Tambang Minyak ENY Kaltim, PT Barito di Jambi.

Sebelumnya, Pak TO juga melakukan pendampingan CSR untuk perusahaan Primer Oil di Kepulauan Riau, Tately tambang minyak di Palembang serta PT Vale tambang batu bara di Sulawesi Utara. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)