Titik Balik Denny Siregar

Denny Siregar, influencer paling berpengaruh di media sosial Indonesia ini mengungkap sisi-sisi paling pribadi dalam hidupnya. Simak wawancaranya.
Denny Siregar (kiri) mengunjungi kiai panutannya, KH Mustofa Bisri akrab disapa Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Jakarta - Denny Siregar, influencer paling berpengaruh di media sosial Indonesia ini sangat tertutup tentang kehidupan pribadi. Ia menutup rapat ruang itu dengan alasan demi keamanan keluarga. Saat wawancara dengan Tagar pertengahan Oktober 2019, ia bicara banyak off the record. Walaupun demikian, tetap ada sisi pribadi yang ia bisa ceritakan. Titik baliknya.

Berikut bincang-bincang Tagar bersama Denny Siregar ditemani secangkir kopi.

Ceritakan masa kecil Anda

Aku lahir di Medan, anak kedua dari lima bersaudara. Papaku manajer perkebunan sawit, mempunyai dua Hardtop, fasilitas dari perusahaan. Waktu itu papa ingin anaknya berkembang. Ia berpikir kalau di kebun, paling nanti anaknya juga akan menjadi orang kebun. Papa punya cita-cita sangat tinggi. Anaknya harus berkembang lebih besar darinya. Sehingga pada satu titik ia memutuskan membawa keluarga pindah ke Bandung.

Pada waktu itu terjadi pertengkaran keras antara papa dan keluarga mama yang tidak setuju kami pindah. Karena di kebun waktu itu kami sudah nyaman. Tapi papa nekat. Ia keluar, membawa mama yang sedang hamil anak kelima, kakakku, aku, dan dua adikku. 

Ayah Ibu asli Batak?

Iya asli. Papa marga Siregar. Mama marga Nasution.

Ceritakan kehidupan di Bandung

Kami memulai dari awal. Mengontrak di rumah kecil di daerah Ciumbuleuit. Papa kerja jadi sales asuransi. Mama betul-betul ibu rumah tangga. Mengurus lima anak itu enggak main-main. Di kota ini adikku yang bungsu lahir.

Aku ingat sekali waktu itu zaman susah-susahnya kami di Bandung. Tapi ya inilah, akhirnya aku bisa jadi begini karena papa yang mau keluar dari comfort zone.

Sudah nyaman di kebun kenapa keluar? Apa ada masalah?

Enggak ada. Mungkin aku mirip papa. Pada situasi comfort zone yang kita pikirkan itu bukan merasa nyaman dengan situasi itu, tapi harus meningkatkan diri. Aku seperti papa juga, ingin menjadikan anak-anakku lebih besar dari aku sendiri.

Bagaimana karier papa di Bandung?

Ya asuransi apa sih, jadi manajer, rutinitas kayak begitu. Hal-hal biasa. Enggak ada yang istimewa di sana. Aku berkembang seperti anak biasa juga. Dari sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar di Bandung. Pak aku kelas 1 SMP, kita pindah ke Jakarta.

Denny SiregarDenny Siregar remaja. (Foto: Dok Pribadi)

Kenangan di Bandung?

Biasa saja ya. Main sama anak-anak lain. Enggak ada yang istimewa. Dalam hidupku ketika kecil itu biasa saja. 

Enggak ada truama kayak Joker misalnya?

Enggak ada (tertawa, diam sejenak). Aku hidup dengan orang tua yang keras ya, karena papa dulu kan emang pendidikannya diajar keras oleh kakekku. Dalam artian ya orang Batak begitu, sabuk dan segala macam jadi makanan sehari-hari kalau kami nakal.

Keras itu maksudnya apa ya?

Keras itu kami memang harus dididik jadi laki laki.

Pernah disabuk? Dicambuk dengan ikat pinggang?

Ooo sering (tertawa). Itu jadi makanan sehari-hari kalau nakal dan aku paling nakal.

Dicambuk pakai sabuk?

Di orang Batak itu biasa dulu itu ya.

Seperti Tobias dalam film Divergent ya

Kami enggak dicambuk pakai sabuk ya, cuman apa sih pantat kami tuh sudah jadi langganan.

Waktu nakal seperti apa digitukan?

Ya nakal. Aku tuh kan belajar sepeda kemudian jatuh, pulang ke rumah berdarah kena sabuk gitu.

Bukannya ditolong, malah disabuk

(Tertawa) iya disabuk, enggak dibelai-belai seperti orang tua sekarang. Enggak. Memang dulu ajarannya keras. Dia juga terdidik dengan keras kayak model-model militer.

Ada keluarga militer?

Enggak ada sebenarnya.

Agak lompat sedikit, keluarga ada yang berkiprah di bidang politik?

Enggak ada. Pemain bola iya. Kakekku pemain PSSI. Papa juga dulu pemain bola, membela Deli Serdang dulu, kalau enggak salah klub PSDS Deli Serdang. Terus kemudian papa keluar dari bola, mulai hidup dengan kondisi riil, bekerja.

Denny SiregarDenny Siregar bersama warga setempat saat berkunjung ke Papua. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Kembali ke Bandung sampai kelas 1 SMP, ada momen-momen khusus?

Enggak ada. (Diam sebentar) aku mungkin termasuk orang yang senang gaul. Waktu SMP, SMA, temanku banyak banget. Dan mungkin satu yang aku ingat itu aku suka memodifikasi permainan buat teman-teman. Dari situ kita banyak perkenalan, dari permainan yang aku modifikasi itu.

Zaman tanpa Facebook, tanpa internet

Oh sama sekali enggak ada itu dulu. Ada yang namanya main sorodot gaplok, macam-macam lah.

Apa itu sorodot gaplok?

Sorodot gaplok itu yang memakai batu, menjatuhkan batu ke arah lawan.

Sorodot gaplok adalah permainan yang memakai batu sebagai sarana permainan. Biasanya ini dimainkan anak laki-laki saja. Sorodot gaplok terdiri dari dua kata, sorodot artinya meluncur, gaplok artinya tamparan. Dinamakan sorodot gaplok karena dalam permainan ini pemain wajib meluncurkan batu ke batu lainnya sampai menghasilkan suara 'plok' semacam suara tamparan. Permainan ini biasanya dimainkan dua anak atau lebih dalam jumlah genap.

Permainan lain?

Kelereng. Menggambar. Aku selalu main gambaran.

Main gambar?

Iya. Dulu kan ada main gambar digunting kemudian diadu. Siapa yang gambarnya tertutup di tanah pasti kalah. Dan aku menang. Banyak dulu koleksi-koleksiku. 

Apalagi permainan tradisional yang asing buat anak sekarang?

Banyak yah, galah asin, apa lagi ya lupa ya.

Galah asin, ada yang menyebutnya galasin atau gobak sodor, permainan berkelompok terdiri dari dua grup. Masing-masing tim terdiri dari 3 sampai 5 anak. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik. Dan untuk meraih kemenangan, seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan.

Permainan ini biasanya dimainkan di lapangan bulu tangkis dengan acuan garis-garis yang ada atau bisa juga dengan menggunakan lapangan segiempat dengan ukuran 9 x 4 meter dibagi menjadi 6 bagian. Garis batas dari setiap bagian biasanya diberi tanda dengan kapur.

Anggota grup yang mendapat giliran untuk menjaga lapangan ini terbagi dua, yaitu anggota grup yang menjaga garis batas horisontal dan garis batas vertikal. Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas menjaga garis batas horisontal, mereka akan berusaha menghalangi lawan yang juga berusaha melewati garis batas yang sudah ditentukan sebagai garis batas bebas. 

Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas menjaga garis batas vertikal (umumnya hanya satu anak), anak ini mempunyai akses untuk keseluruhan garis batas vertikal yang terletak di tengah lapangan. 

Kunci kemenangan permainan mengasyikkan penuh tantangan ini, setiap anak harus selalu berjaga dan berlari secepat mungkin untuk meraih kemenangan.

Denny SiregarDenny Siregar, santai bersama kawan. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Mulai merasa senang kepada perempuan usia berapa?

Kuliah. Padahal dulu SMA SMP itu aku selalu mengejek teman-temanku yang sudah pacaran.

Bagaimana mengejeknya?

Ngapain dunia milik berdua, ya kan, dunia ini luas. Aku bilang pacaran gampang, nanti juga kawin (tertawa).

Dari dulu itu aku tidak menganggap pacaran itu sesuatu yang utama yang harus dibanggakan. Enggak. Malah aku kasihan sama teman-temanku yang hidupnya hanya berdua ketika masanya lagi indah-indahnya. Aku malah lebih sering tawuran, berkelompok sama temen. Pokoknya badunglah. Badung.

Anda pintar atau biasa saja di sekolah?

Biasa saja. Aku jarang belajar.

Pernah rangking satu?

Enggak. Aku benci pelajaran sekolah. Pelajaran sekolah itu termasuk yang aku benci, karena enggak suka aja matematika, fisika. Itu hal-hal yang enggak aku sukai. Karena sifatnya pasti gitu ya.

Pelajaran yang disukai?

Seni, menggambar, itu aku suka. Dari sejak SD aku suka menggambar. Aku menggambar di bahan pengeras leher baju, warna putih kayak busa gitu, aku gambarin dengan sampul-sampul kaset, bentuk segitiga gede-gede, aku jual kepada teman-teman.

Ada yang beli?

Oh ada karena aku gambarnya kan pakai cat air.

Itu buat apa?

Ya buat hiasan kamar, dulu kan suka banget kayak begitu.

Oke, tadi sekeluarga pindah ke Jakarta, pertimbangannya apa?

Enggak ada. Karena papa pindah ya pindah saja.

Pekerjaannya masih asuransi?

Masih asuransi.

Apa perusahaannya? Boleh disebutkan?

Ah janganlah.

Denny SiregarDenny Siregar, dengan semangat ke bilik suara pada pemilihan Pilpres 2019 memberikan suara untuk Jokowi-Ma\'ruf Amin. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Ceritakan kenangan di Jakarta

Kami tinggal di daerah Kebun Jeruk. Dari kelas 2 SMP sampai SMA. Aku masuk SMA Negeri baru, angkatan kedua.

Boleh disebut nama SMA-nya?

Janganlah. Enggak enak. SMA negeri baru di Jakarta Barat pada waktu itu dan aku angkatan kedua. Jadi kebayang yah preman-preman dari SMP se-Jakarta Barat. Nah, di situ saya survive.

Survive maksudnya?

Dalam artian ya sebagai orang yang selalu dikompas, dipalak oleh mereka, kakak-kakak kelas. Akhirnya aku sempat ketemu rencongnya papa, senjata tajam, aku bawa ke sekolah hanya supaya mereka berhenti memalak. Karena dulu aku cuman dikasih uang sekitar dua ratus rupiah sama mama itu ya per hari. Itu hanya cukup untuk naik bus. Lima puluh rupiah kalau enggak salah dulu. Jadi aku enggak punya uang jajan juga, dan itu pun dikompas oleh mereka. Hampir tiap hari aku harus numpang mobil bak terbuka, mencegat di jalan.

Itu benar ada ya palak-palak gitu, enggak cuma di film ya?

Oh enggak. Setiap SMA pasti begitu, selalu ada preman-preman. Nah ketika aku bawa rencong itulah akhirnya enggak ada yang berani memalak.

Rencong disimpan di mana? Kok tahu?

Punya papa. Disimpan di lemari pakaiannya.

Itu kan bahaya ya

Memang, tapi kan pada waktu itu ya cuman itu caraku survive.

Denny SiregarDenny Siregar dengan kaos bendera Merah Putih beserta teks \'kita ini sama\', sesuai nilai-nilai dalam tulisannya, merawat keberagaman dalam bingkai Indonesia Raya. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Rencong itu enggak ketahuan guru?

Akhirnya ketahuan karena SMA itu aku tukang tawuran dan segala macem, akhirnya pernah banyak polisi ke sekolah, melakukan pemeriksaan, dan saat itu ketahuan rencong. Nah sesudah itu pas papa kebetulan lagi di Surabaya, aku dapat warning. Aku dikeluarkan dari sekolah.

Terus?

Ya akhirnya papa memindahkan aku ke sekolah lain.

Ke Surabaya?

Iya.

Pindah ke Surabaya karena masalah itu?

Ya kebetulan papa juga pindah kerja ke Surabaya.

Memang rencong tiap hari dibawa ke sekolah?

Iyalah di dalam tas.

Muat tasnya?

Rencong kan enggak besar. Itu kan kecil kayak keris.

Tujuannya untuk membela diri atau untuk menakut-nakuti?

Menakut-nakuti aja sih sebenarnya, karena aku juga enggak berani memakinya. Ketika itu yang penting adalah menyebarkan propaganda kepada yang lain-lain bahwa gue bawa rencong, jangan macam-macam.

Pernah sengaja atau tanpa sengaja melukai seseorang?

Enggak pernah. Mengeluarkan dari tas aja aku takut kok.

Zaman SMA, pelajaran apa yang disukai?

Enggak ada. Enggak ada pelajaran yang aku sukai.

Pernah ikut lomba apa gitu?

Adalah paling voli, bola, gitu aja.

Termasuk orang pendiam atau ramai?

Ramee, saya orang paling rame.

Denny SiregarDenny Siregar dengan mug berlambang Pancasila, nilai-nilai yang ia selalu bela dalam tulisan-tulisannya. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Punya geng?

Ya geng secara formal enggak ya, cuman sama teman-teman lah ya nakal nakal sering berantem antarkelompok di wc sekolah itu biasa.

Pernah ikut berantem juga?

Iya dong. Dulu tuh berantem buat anak SMA itu suatu prestige lah ya.

Masa sih?

Iya.

Biasanya jadi pihak yang kalah atau yang menang?

Menang dong. Enggak pernah namanya kalah. Aku malu dengan marga kalau kalah. Aku sebesar-besarnya lawan, salah satu strategiku adalah menyerang duluan sebelum mereka menyerang.

Kayak gimana menyerangnya?

Ya pokoknya kalau sudah bahasa-bahasa tubuhnya menggertak, sebelum mereka menyerang sudah aku pukuli duluan, enggak tahu benar atau salah pokoknya pukulin. Dan aku sering dihukum di dekat tiang bendera.

Disuruh ngapain?

Ya berdiri aja panas-panas.

Berapa jam?

Sejam. Kadang disuruh berdiri di depan kelas, tapi itu malah jadi sebuah prestasi. Bukan jadi malu. Akhirnya orang-orang takut kan. Itu prestasi.

Terus teman-teman TK SD SMP SMA kuliah sekarang banyak yang nyambung enggak? Kan sudah jadi orang terkenal sekarang?

Ah terkenal apaan (tertawa). Banyak teman-teman dari SMA SMP dan juga teman-teman masa kecil menjadi bertentangan dengan aku. Di grup grup SMP SMA itu aku jadi momok mereka. Karena pada level-level usia sekian itu banyak dari teman aku yang jadi hijrah. 

Jadi sebenarnya aku bicara banyak hal di Facebook itu karena berdasarkan pengalaman di grup bersama mereka. Sebagai contoh itu ada satu teman, kita kan reuni, biasa kan usai reuni kita dulu tuh tergabung dalam grup bbm ya kan, Blackberry. 

Terus kan kemudian ada teman yang biasa tuh menyebar ayat-ayat. Terus aku tegur, 'Ngapain sih kamu pakai ayat-ayat begitu, kan di tempat kita ini enggak semua muslim'.  Dia bilang, 'Loh kita sebagai muslim harus menyampaikan walau satu ayat, Den'. 

Aku enggak mau berdebat sama dia di situ, tapi aku menjadikan Facebook dan media sosial untuk menulis apa yang aku pikirkan. Di situ aku bialng 'Kenapa kamu tidak menyampaikan satu ayat itu kepada dirimu sendiri dulu sebelum menyampaikan kepada orang lain? Apakah kamu ingin menyampaikan ayat itu untuk kebaikan atau sebenarnya hanya menyombongkan diri kalau sebenarnya kamu itu sudah beriman?'

Denny SiregarDenny Siregar, saat persiapan pengambilan gambar untuk konten video YouTube. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Dan baru aku belajar agama dan paham ternyata iblis itu juga sangat beriman, dan orang yang merasa beriman sebenarnya perbuatannya enggak jauh dari iblis.

Oke kembali lagi ya, tadi balik ke Surabaya kelas berapa?

Kelas dua SMA.

Ada permainan khusus waktu SMA, selain berantem?

Enggak ada. Ya di SMA itu di Surabaya itu naluri di Jakarta terbawa ke sana ya akhirnya jadi sering berantem juga dengan anak-anak SMA lain. Hanya untuk menunjukkan eksistensi diri saja sih sebenarnya.

Semua juga pindah ke Surabaya?

Semua pindah ke Surabaya.

Papa kerja apa?

Asuransi juga, pindah perusahaan aja.

Di Surabaya sampai?

Sampai kuliah, sampai sekarang semua di Surabaya. Aku sudah menjadikan Surabaya sebagai kota aku. Aku lebih dekat dengan Surabaya dibandingkan kota yang lain.

Waktu di Surabaya itu ada sesuatu yang...

Tidak ada.

Fenomenal?

Enggak ada. Cuman dulu lulus SMA itu aku sebenarnya ingin bekerja. Bukan, aku ingin kuliah di bidang yang jauh dari matematika dan fisika. Aku ingin ada di lingkungan seni. Dulu cita-citaku ingin masuk IKJ sebenarnya, entah bagaimana pokoknya masuk IKJ. 

Tapi karena dulu orang tua berpikir, 'Kalau kamu jadi seniman, kamu cari duit bagaimana?' Dan itu perdebatan yang panjang dengan papaku yang memang punya konsep pola piker ya kalau bekerja itu bekerja di sebuah perusahaan. Sedangkan aku tidak ingin terikat dalam sebuah perusahaan. 

Akhirnya karena untuk membahagiakan orang tua dan tidak ingin berdebat panjang, akhirnya aku masuk di sebuah universitas swasta, dan aku juga enggak pernah belajar. 

Denny SiregarDenny Siregar, gaya santai saat jadi pembicara, duduk di tepian panggung. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Kerjaanku main, bergaul , bahkan semester awal itu aku sudah bekerja di sebuah radio, ya senang-senang aja sekaligus bagaimana caranya membiayai diri sendiri, lepas dari orang tua. Jadi sejak SMA itu pikiranku, aku tidak mau merepotkan orang tua.

Di radio itu seperti apa pekerjaannya?

Iya dulu itu AM awalnya. Radio AM setahun kemudian pindah ke radio FM. Nah kemudian yang menarik di radio FM, di sinilah aku mempelajari jurnalisme radio itu mengajarkan bagaimana cara menulis untuk dibaca, sehingga bahasa-bahasa- redaksionalnya itu berbeda dengan media cetak. 

Media radio itu punya konsep write the way talk, tulislah sesuai apa yang kamu bicarakan. Sehingga aku terbiasa dengan bahasa-bahasa ngomong. Dan ternyata ini berpengaruh besar ketika di media sosial, aku menulis dengan bahasa ngomong. Jadi orang itu merasa saya itu sedang berbicara dengan mereka pakai bahasa sehari-hari.

Itulah yang muncul gitu. Cuman sejak SD sampai sekarang aku itu kutu buku, di setiap ruangan itu tidak ada buku yang tidak aku baca.

Buku apa?

Macam-macam. Karena aku haus. Pikiranku kemudian tidak bisa menetap di satu titik. Pikiranku harus ke mana-mana, sehingga aku harus baca buku. Tinggal di manapun aku pasti menggali buku. Entah itu Femina, Kartini, buku emak-emak itu aku baca semua.

Majalah punya mama ya?

Iya. Pokoknya apa pun yang berbahan tulisan itu pasti aku baca. Bahkan misalkan beli gorengan itu aku cari yang bungkusnya ada tulisannya aku baca. Haus. Hausnya pada waktu itu. Karena dengan membaca itu aku bisa keliling ke mana-mana.

Denny SiregarDenny Siregar, mendapat suvenir bergambar dirinya saat menjadi pembicara tentang toleransi antarpemeluk agama di sebuah gereja di Malang, Jawa Timur, 2018. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Sejak kapan suka membaca?

Oh sejak SD aku suka membaca, mungkin TK juga ya aku suka membaca.

Suka membaca tapi malas sekolah ya

Ya. Karena buat aku sekolah itu pada waktu itu cuma membatasi imajinasiku. Aku dikotak-kotakkan oleh sesuatu yang aku tidak suka. Pikiranku tuh mengembara ke mana-mana, keliling dunia.

Nama tempat kuliah boleh disebut?

Janganlah.

Mengambil jurusan apa?

Manajemen.

Nanti kalau ada yang mencari profilnya bagaimana? Kalau jadi menteri?

Enggak penting. Aku juga enggak mau jadi menteri (tertawa).

Kuliah lulus?

Lulus S1, enam tahun. Aku S1 Ekonomi Manajemen, bahkan skripsiku tuh tentang radio. Jadi karena pada waktu itu radio bukan sesuatu yang baru ya. Sehingga ketika aku mencari kelemahan dari dosen penguji yang tidak paham manajemen radio. Skripsiku A pada waktu itu hanya karena mereka tidak paham saja.

Cumlaude?

Enggak. Karena kalau cumlaude itu kan dengan IP sekian. Yang penting aku lulus, skripsiku dapat A itu saja. Tujuanku kuliah lulus dan aku memegang gelar sarjana untuk bekerja saja.

Berapa kali pindah radio?

Cuman dua radio itu saja, satu AM, satu FM. Nah sesudah radio itu karena pikiranku mengembara, niatku sebenarnya ingin berpetualang. Jadi aku keluar dari radio itu tahun 1997 kalau enggak salah.

Waktu kuliah, selain bekerja di radio, ada pengalaman kerja lain?

Enggak ada. Kuliah itu sebenarnya aku ingin menuntaskan saja. Jadi kuliah dan kerja di radio. Selesai kuliah, aku ingin berpetualang.

Dari rumah ke kampus naik apa?

Motor.

Denny SiregarDenny Siregar, berfoto di satu spot di sela kunjungan menjadi pembicara di Australia. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Zaman kuliah mengenal perempuan. Pacarnya berapa?

Ya karena orang radio ya cuman satu, orang radio itu sudah kayak artis saja waktu itu. Dan aku salah satu mahasiswa berpenghsilan.

Jadi mereka pada datang ke kantor?

Enggak juga sih. Aku rayu-rayu aja di radio.

Jangan jangan ngaku-ngaku, padahal enggak ada yang suka

Mereka tahu kok, jadi aku pacarin aja udah, soalnya pacaran pada waktu itu enggak aku menikmati ya karena pacar itu lebih kepada eksistensi aja sih sebenarnya.

Kayak gimana sih pacaran

Aku enggak punya pacar, diejek-ejek orang karena jomblo. Mereka pikir aku enggak suka pacaran apa, maksudnya mereka pikir kenapa aku enggak suka pacaran. Aku bialng aku bukan enggak suka pacaran karena pikiranku tuh enggak bisa terbatas pada satu titik sehingga aku pacaran tuh, 'Nih gue bisa pacaran, nih gue punya pacar, cantik lagi kan', hanya gitu aja. Enggak punya memori pacaran itu seperti apa.

Pengalaman pekerjaan sesudah di radio?

Sesudah di radio dapat gelar sarjana aku pikir aku akan ke suatu tempat yang beda dari Surabaya. Kemudian aku ke Bali. Sesudah di radio menempati posisi manajer dan segala macem, dan biasa berhubungan dengan pemasang iklan di hotel-hotel. Di Bali aku mulai dari nol. Dari sales.

Itu sudah menikah belum?

Belum. Sales terus kemudian, ya akhirnya baru ketemu dunia yang berbeda. Kalau dulu di radio sebagai manajer, ketemu pengiklan dan klien dan segala macem itu di hotel, Di Bali itu aku memulai dari hotel ke hotel untuk menawarkan pengharum toilet. Ya kan ketemu satpam, diusir satpam, diajak kesakitan ya kayak gitulah.

Denny SiregarDenny Siregar, dari menulis kemudian jadi pembicara berikutnya membuat konten video YouTube, di antaranya menghadirkan Arcandra Tahar sebagai bintang tamu. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Pengharum toilet?

Pokoknya aku enggak peduli waktu itu kerja apa, yang penting aku di Bali, nah di Bali aku menemukan dunia yang baru.

Penjual yang hebat sampai dapat penghargaan

Ya pada tahun itu tahun 98 ekonomi kan hancur termasuk Jakarta, dan Bali karena pembayarannya banyak dengan dollar. Sehingga Bali tuh berpesta-pora sebenarnya dengan hancurnya ekonomi. Di situlah aku mendapatkan, ketika Jakarta hancur, didominasi semua kemenangan itu di Jakarta, pada titik itulah di Bali punya kemenangan. Aku yang jadi salah satu pemenang yang dapat ke London.

Itu penghargaan dari perusahaan?

Ya karena perusahaan multinasional kan, walau pengharum toilet juga perusahaan multinasional.

Sempet bikin radio dan jadi pengusaha?

Enggak. Itu konsultan saja sebenarnya. Jadi aku punya ide, bahwa dunia pendidikan itu sebenarnya punya potensi kuat untuk membuat sebuah media komnikas. Dan aku dulu termasuk orang yang idealis tinggi, mungkin sampai sekarang sih. 

Aku percaya pemerintah juga punya infrastruktur yang kuat, maka seharusnya dia bisa merajai bidang-bidang yang tidak bisa dikerjakan swasta, salah satunya radio. Dan aku punya kesempatan membangun sebuah radio pendidikan pada waktu itu.

Tapi ternyata di sana aku menemukan banyak hal, termasuk yang tidak mungkin aku bisa lakukan di antarnya yang paling utama itu mental negeri yang sulit diajak maju. Frustasi aku di sana selama dua tahun itu. Tidak mampu mengubah mereka punya maindset

Aku berpikirnya maju, mereka berpikirnya cuman lari di tempat ya, frustasi banget sehingga kemudian give up. Itu mungkin penyerahan pertama kali terhadap situasi. Enggak mampu aku mengubah mental mereka yang sedikit-sedikit uang, sedikit-sedikit uang.

Meskipun sudah banyak yang mengingatkan, enggak mungkin kamu mengubah sesuatu. Aku dulu punya kepercayaan, 'Saya mampu mengubah sesuatu'.

Peristiwa apa yang membuat Anda terpuruk?

Ya sudah itu kan aku di rekanan-rekanan ya, cukup bagus ya rekanan-rekanan, sehingga menyombongkan diri dengan apa yang aku punya, dengan apa yang bisa aku banggakan, aku pamerkan. Pendapatan penghasilan dari sana dan aku berhubungan dengan para rekanan-rekanan.

Bisnis apa itu?

Rekanan ya proyek, proyek pemerintah.

Denny SiregarDenny Siregar, dalam tulisan dan saat jadi pembicara, konsisten memberikan pencerahan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Sekaya apa dulu?

Ya cukuplah. Enggak bisa bilang sekaya pa. Aku dulu punya mobil tiga, pembantu tiga ya kan. 

Sudah menikah itu?

Sudah. Sudah menikah.

Tinggal di Surabaya?

Di Surabaya, dan aku membanggakan semua yang aku punya. Sampai ada satu titik ketika anakku yang bungsu akan lahir, istriku kena preeklampsia, itu seperti tekanan darahnya tinggi pada kandungan anak. ya itu jadi titik balikku sebenarnya.

Tahun berapa?

Ya lupa aku tahun berapa, mungkin 2009 atau 2012.

Seperti apa titik balik itu?

Preeklampsia itu membuat istriku masuk ICU selama beberapa bulan, dan karena adiknya juga pernah mengalami hal sama hingga tidak tertolong, sehingga aku masih dengan sombongnya berbicara kepada dokter di situ, 'Lakukan apa yang harus dilakukan, jangan khawatir dengan biaya'. 

Dan dokter melakukan itu, mewah pada waktu itu ya, dan aku habis gila-gilaan di sana. Jadi itulah. Aku sadar semua yang aku kumpulkan bertahun-tahun, semua yang aku banggakan, dan aku pamerkan kepada orang itu dalam beberapa bulan saja itu habis. Bahkan aku sampai berutang banyak pada waktu itu.

Tapi enggak sampai kehilangan rumah atau segala macam?

Iya kehilangan lah. Enggak mungkin enggak kehilangan semua. Semua yang aku banggakan itu hilang. Enggak ada yang tersisa. 

Terpikir dalam situasi seperti itu aku berdialog dengan diriku sendiri sebenarnya. Cuman aku kan enggak bisa, sebagai seorang lelaki cerita kepada seorang lelaki juga, apalagi cerita kepada wanita. Itu enggak bisa. Itu jadi masalah. Tapi aku menemukan si media sosial itu untuk bercerita, lebih pada dialog tentang diriku sendiri.

Denny SiregarDenny Siregar menjadi pembicara tamu di acara Partai Solidaritas Indonesia (PSI). (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Mulai mengenal media sosial tahun berapa?

Pada waktu reuni-reuni itu.

Reuni apa?

Ya kan pada tahun 2009 itu ketika Facebook ketemu ya kan kita di situ mulai reuni SD SMP SMA zamannya Blackberry Messenger.

Orang bikin Facebook, Anda juga bikin?

Cuma ketika orang-orang sibuk say hello say hello, aku menulis di situ.

Enggak merasa risih, tulisan di Facebook dibaca orang?

Enggak merasa seperti itu. Enggak penting. Enggak memikirkannya. Cuma menulis di situ ternyata menariknya, orang banyak suka. Ya kan karena buat mereka, aku seperti mewakili jawaban-jawaban yang selama ini mereka cari. Sampai ada teman-teman yang khusus membukukan tulisan-tulisanku dan kemudian dia minta izin ke aku untuk menjualnya. Ya selama itu kamu sumbangkan ke orang yang membutuhkan sih aku oke. Jadi buku pertama aku tuh sebenarnya tidak resmi gitu, Jemaah Facebookiah, bentuk bukunya Denny Siregar.

Bentuk bukunya rapi atau tidak?

Ya enggak lah pokoknya kan mereka ngeverin dan cetak terus dijual.

Jemaah Facebookiah?

Iya ngopi berjamaah bersama di situ. Nah yang menarik adalah ketika salah satu penerbit besar tertarik dengan statusku, kemudian mereka meminta aku untuk membukukannya. Ya aku terim. Dalam kondisi aku yang membutuhkan sesuatu, aku terima, judulnya Tuhan dalam Secangkir Kopi.

Denny SiregarDenny Siregar juga pernah sakit. Ini ketika lagi dirawat di rumah sakit. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Kenapa memilih judul Tuhan dalam Secangkir Kopi?

Karena ketika aku berdialog dengan diriku sendiri, aku sambil minum kopi di sebuah warung kopi yang punya Wifi dan aku hanya punya lima ribu rupiah, kopi harganya tiga ribu rupiah. Di situ aku merenungkan dulu aku minum saja satu gelas itu bisa Rp 27.000 sampai aku menemukan kenyataan Rp 27.000 itu sama dengan harga selusin telur yang aku bisa makan sehari dengan keluarga. Itu terendah dalam hidup aku, tapi aku banyak menemukan mutiara.

Waktu habis-habisan itu Anda kerja apa?

Ya rekanan itu. Rekanan proyek.

Rekanan masih jalan?

Sempat jalan ya tapi sesudah itu aku menemukan banyak hal, mencoba refleksi, iya aku menemukan, mungkin saja salah satu penyebab aku jatuh ini adalah uang-uang haram yang aku dapatkan dari proyek-proyek itu.

Oh jadi itu uang haram?

Iyalah, itu apa sih suap-menyuapnya kan.

Menyuap?

Iya proyek memang begitu, kalau enggak kita enggak dapat proyek.

Waktu itu merasa itu bukan haram?

Bukan. Karena ya itu peluang di mana aku bisa menghidupi aku dan keluargaku dan bisa memenuhi status sosial. Aku bisa beli mobil, bisa beli rumah, dan segala macam.

Terus?

Sebenarnya aku ditawari waktu itu untuk rekanan kayak begitu, yang merasa peduli sama aku, tapi dengan konsep yang sama. Sampai aku berpikir kalau aku masuk ke dunia ini, apa bedanya aku Denny yang dulu dengan aku Denny yang sekarang. Padahal saat aku menerima itu secara ekonomi aku bisa kembali. Tapi kenapa aku merasa tidak tidak dapat passion aku di sana karena bertentangan dengan hati ya. Aku mengupas rohani di media sosial, tapi ternyata aku melakukan hal yang bertentangan.

Itu masih di Surabaya?

Iya Surabaya.

Belajar agama bagaimana awalnya?

Diskusi sama teman-teman.

Siapa gurunya?

Buat aku agama itu bukan hanya membaca ya, aku pernah masuk dalam kajian-kajian ternyata aku enggak ketemu.

Ada tempat biasa aku berdiskusi tentang agama. Jadi biasa dulu mencari kunci-kunci hidup, aku biasa berdiskusi berminggu-minggu berbulan-bulan dan enggak tidur atau ketiduran. Hanya ingin mencari benar enggak sih yang aku pelajari sekarang ini. 

Aku hanya membutuhkan satu sisi logika yang kuat bahwa agama itu bukan hanya dogma. Agama itu logika. Selama tidak berlogika itu bukan agama. Jadi aku mencari lagi ke berpikir yang ia ternyata ini maksudnya. Jadi yang aku temukan itu sebenarnya mereka salah pemikiran karena mereka enggak tahu maka mereka menjadikan itu sebagai sebuah dogma. 

Contoh satu aku fakir padahal aku menemukan fakir itu adalah miskin secara jiwa. Nah, kesalahan berpikir inilah yang kemudian berpengaruh kepada banyak orang sampai mereka menganggap naik haji bila mampu. Bila mampu itu secara materi, padahal dari yang aku pahami yang disebut bila mampu itu mampu meninggalkan duniawi.

Denny SiregarDenny Siregar, berfoto denga latar pohon Natal di pusat perbelanjaan. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Makanya ketika haji itu orang memakai pakaian ihram, sudah meninggalkan dunianya. Seharusnya begitu, tapi ternyata enggak. Orang naik saja sebagai sebuah syarat ketika mampu, mereka mampu secara materi. Apalagi hajinya dengan konsep bahwa mereka mencuci dosa di sana. Mereka itu enggak masuk akal.

Pakaian ihram bagi laki-laki adalah dua lembar kain yang tidak berjahit yang dipakai untuk bagian bawah menutup aurat, dan kain satunya lagi diselendangkan di pundak. Sedangkan pakaian perempuan ihram adalah menutup semua badannya kecuali wajah dan telapak tangan, seperti pakaian ketika salat. Warna pakaian ihram disunatkan putih.

Naik haji itu buat aku adalah penghambaan tertinggi ketika manusia sudah mampu meninggalkan duniawinya. Mereka sudah pasrah kepada Tuhan. Jadi ketika mereka naik haji, tertinggi, ketika manusia sudah mampu meninggalkan duniawinya. Bahkan kalau perlu mati di sana. Buat aku itu ternyata oh jadi orang itu orang banyak mengambil sudut material, sedangkan aku mengambil sudut rohani.

Dulu kan aku mengikuti petunjuk seperti Mario Teguh ya macam-macam lah. Aku enggak bisa meminta motivasi sama orang, aku melihatnya itu dari banyak bacaan. Sampai temanku bilang coba tanyakan kepada Imam Ali. Aku enggak mengerti nama itu siapa. 

Terus kemudian dia kenalkan aku membaca nasihat-nasihatnya. Sama sekali aku enggak mengerti maksudnya apa. Menariknya ketika aku tidak mengerti apa, diajarkan melalui banyak peristiwa sehingga aku paham oh ini maksudnya. 

Seperti contoh kadang Tuhan mengambil segalanya dari seorang manusia hanya supaya dia mengenal siapa penciptanya. Kan dalam sekali. Dulu aku enggak paham sampai aku paham, aku baru mengingatnya ketika aku dalam kesulitan yang luar biasa. Aku baru mengenal aku, baru mengenal itu, baru mengenal. Jika aku tidak diberikan situasi yang seperti ini, bahkan Tuhan saja enggak aku kenal, Jadi buat aku memang situasi sulitku itu memang rencana besar-Nya supaya aku mengenal. Jadi aku menumpang banyak dalam buku kok sebenarnya.

Itu pengaruhnya besar ya?

Pengaruh besar sekali.

Terus meninggalnya papa juga berpengaruh besar ya?

Iya aku menangis pas papa meninggal, tapi bukan menangis seperti orang-orang karena pada situasi itu aku sudah paham bahwa meninggal itu tidak ada. Bahwa manusia itu tidak ada yang meninggal. Bahwa jasadnya iya, tapi orang itu sudah masuk pada leveldunia yang berbeda daripada dunia material yang sekarang kita ada. 

Masuk ke dunia non material dan aku yakin suatu saat aku bahkan seperti itu. Aku hanya akan mengucapkan selamat berpisah saja di dunia ini. Aku yakin papa sekarang lagi di suatu tempat yang enggak mungkin aku ada. Cuma aku berada di level yang sama dengan dia. Dan ketika pemahaman itu aku dapat, menangis itu ya hanya seperti orang yang pap pergi, tapi tidak meraung-raung seperti orang yang papa itu tidak kembali lagi. Aku yakin suatu saat aku akan ketemu dan bahasa awam kubilang aku suatu saat akan ngopi sama dia.

Memang bakal ketemu lagi setelah meninggal?

Memang dari itu ada roh dan roh-roh itu nanti akan mengembara di sana.

Keluarga di dunia akan kumpul lagi di sana?

Bisa jadi karena dunia akhirat, dunia itu bukan berarti ada. Duriyat ada dua, dunia seperti kita yang sekarang ini, dan dunia seperti akhirat.

Denny SiregarDenny Siregar usai menjadi pembicara di kalangan kristiani. "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan," ini ucapan Ali bin Abi Thalib yang sering dikutip Denny karena mewakili pikirannya. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Pekerjaan Anda sekarang apa?

Iya menulis itu bukan jadi hobi ternyata. Ketika aku sudah berhasil menjual buku, ketika aku berhasil menjual di beberapa tempat di media online, ketika kemudian karyaku dihargai orang. Aku menulis itu menjadi sebuah profesi yang menjanjikan dan aku ingin orang-orang juga berpikir seperti itu. Bahwa ketika kamu mempunyai bakat menulis, menulislah. Tapi kalau kamu bisa jadi penulis, ya jangan tanggung-tanggung. Menjadilah penulis. Jangan jadi seseorang yang menganggap tulisan itu adalah hobi. Sama seperti profesi pemain bola, pemain voli. Jangan berpikir itu seperti hobi. Jadikanlah profesi.

Nah sekarang ini dekat dengan tokoh pejabat negara, dekat dengan siapa saja?

Enggak ada. Aku sering bersentuhan dengan mereka ya karena mereka duluan sebenarnya yang pengin ketemu.

Karena dari tulisan-tulisan itu ya?

Iya. Jadi aku melihat bahwa bahagia ternyata tulisan itu adalah dia masuk ke dalam ruang-ruang pribadi orang terutama grup WhatsAap privat. Dan mereka merasa seperti dekat dengan aku, aku ngobrol dengan mereka, dan melihat tulisan itu, dan aku ketemu mereka, ngobrol banyak hal.

Pernah ditelepon Jokowi?

Enggak. Nggak pernah di telepon Pak Jokowi.

Pertama mengagumi Jokowi bagaimana?

Iya Pak Jokowi beda aja sejak dia jadi wali kota Solo, aku sering mendengar dia, apalagi ketika aku membaca dia dengan Waluyo Gubernur Jawa tengah ya kan. Aku kagum dengan langkahnya. Ada satu lagi momen ketika ia menjadi gubernur DKI dan dia datang ke Solo, melakukan hal yang sama sekali tidak aku perkirakan ya. Mencium tangan Waluyo buat aku adalah sebuah kemenangan Jokowi, bukan sebuah kekalahan. Di situ aku mulai tertarik sama dia, tertarik gitu lebih kepada simbol, bukan sosok. 

Kalau kepada Prabowo, bukan benci ya?

Enggak. Aku enggak pernah benci orang. Enggak pernah ada kebencian dari diriku.

Terus disebut buzzer istana itu rasanya bagaimana?

Biasa saja kan dari dulu aku seperti iya ah kafir liberal. Buzzer itu sebenarnya hinaan yang paling halus saja.

Kalau yang paling pedih ada?

Ada. Ya PKI, atheis, liberal.

Kalau syiah itu tidak benar ya?

Iya enggak bisa kita bilang enggak benar ya kalau kita memahami definisi syiah itu adalah pengikut. Bukan sebuah label agama. Sunni juga pengikut sunnah, ahlussunah. Syiah juga pengikut Rasulullah. Bedanya apa? Jeleknya apa? Ini kan redaksinya saja yang berbeda, mungkin karena orang mendapat framing syiah itu apa.

Denny SiregarDenny Siregar mengagumi Buya Syafii Maarif, tokoh kenamaan Muhammadiyah yang moderat plural, yang arif bijaksana. (Foto: Facebook/Denny Siregar)

Mimpi Anda sekarang ini apa?

Aku pengin bikin film. Kalau sekarang ini aku mencoba mengajak orang berpikir melalui media sosial, next aku ingin mengajak orang berpikir melalui film.

Kenapa Dr. Azahari direncanakan sebagai film pertama?

Pertama itu membahas radikalisme, bagaimana seseorang yang sangat moderat seperti Doktor Azahari tiba-tiba menjadi perakit bom. Saya beberkan itu supaya milenial paham proses apa yang terjadi pada Azahari. Dosen yang tidak pernah mengenal agama secara khusus. Dan ketika dia mengenal agama, dia jadi orang yang menganggap apa yang dia lakukan itu bagian dari seni. Aku ingin menggali sisi lain Doktor Azahari. Sebagai manusia.

Itu biografi seratus persen?

Enggak lah. Aku bakal campurkan itu dengan fiksi. Aku cuma terinspirasi saja terhadap kisah Dokter Azahari. Dia itu sebenarnya seorang yang romantis. Dia selalu menulis surat untuk istrinya, tapi dia juga tidak pernah bisa mengirimkannya.

Kenapa?

Iya karena situasi dia yang harus lari, berpindah-pindah tempat gitu, dan surat-surat itu ada.

Rencana riset yang dilakukan seperti apa?

Ya saya akan ngobrol dengan orang-orang dulu yang sangat kenal dengan Dokter Azhari terutama dari Densus 88 yang menangkap dia. Doktor Azahari tidak pernah mau ditangkap. Dia diburu. Dia senang diburu. Dia ingin meledakkan dirinya di tengah-tengah perburuan. Makanya dia selalu memakai rompi bom bunuh diri. Ia menyebut itu karya seni tertinggi.

Nah, kepolisian termasuk Densus 88 membatalkan semua rencana itu. Ia tidak sempat menggunakan bomnya karena dia terpojokkan begitu. 

Pas ditembak mati, Azahari lagi ngapain?

Dia berlindung di sebuah rumah. Nantilah itu kalau sudah jadi ya, aku lagi mau bikin dengan teman-teman, bikin risetnya dulu.

Siapa saja timnya?

Ada teman-teman lama, sekarang jadi sutradara iklan, dan dia pengin jadi sutradara film. Kita investasi dululah di pembuatan riset ini biar kita bisa paham nanti seperti apa sih.

Rencananya rilis kapan?

Ya enggak tahu rilisnya kapan. Riset kita coba awal tahun depan ini kita bikin.

Rilis 2021?

Mudah-mudahan. Kalau di sini saja kita harus berantem dulu supaya layak jual atau tidak ini riset.

Apa lagi selain membuat film?

Enggak ada. Aku sekarang hanya jalan saja karena kalau kata Imam Ali, angan-angan itu setengah dari ketuaan, dan aku tidak mau jadi orang tua. []

*Transkrip oleh Muhammad Nefki Hasbiansyah

Baca juga:

Berita terkait
Denny Siregar: BPJS Rugi Karena Dokter Mata Duitan
Denny Siregar menilai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan rugi triliunan rupiah karena kebanyakan dokter mata duitan.
Mahasiswa UIN Jakarta Belajar Jadi Wartawan di Tagar
Dari Ciputat Tangerang Selatan, lima anak milenial mahasiswa UIN Jakarta itu melaju menuju kantor redaksi Tagar di kawasan Cawang, Jakarta Timur.
Permadi Arya: Saya dan Denny Siregar Bukan Buzzer
Permadi Arya dengan nama populer Abu Janda mengatakan dirinya dan Denny Siregar bukan buzzer, tapi social media influencer (SMI).
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.