Jakarta - Presiden Jokowi disarankan menolak usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan tidak mengeluarkan surat presiden (surpres).
Hal tersebut disampaikan pengamat politik dan hukum tata negara Tohadi seperti diberitakan Antara, Selasa, 10 September 2019.
“Presiden Jokowi tidak perlu mengeluarkan surpres untuk menugasi menteri yang mewakili untuk membahas revisi UU KPK. Maka pembahasan revisi UU KPK tidak akan berjalan. Ini langkah yang paling realistis bagi Jokowi," ujar Tohadi.
Tohadi menilai Rancangan Undang-undang (RUU) dari DPR mengenai revisi UU KPK yang diajukan secara mendadak ini bermasalah baik secara prosedural maupun materil.
Pertama
Sesuai ketentuan Pasal 45 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa RUU, baik berasal dari DPR maupun presiden serta RUU yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
“RUU dari DPR mengenai revisi UU KPK ini tidak masuk dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas RUU Prioritas 2019. Kita cek dalam Keputusan DPR No. 19/DPR RI/I/2018-2019 tertanggal 31 Oktober 2018 tentang itu tidak ada RUU tentang revisi UU KPK. Jadi, ini sudah cacat prosedural,” ujar Tohadi.
Dalam teori ilmu hukum, kata Tohadik yang paling dasar terdapat tiga persyaratan agar UU mempunyai kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
“Kekuatan berlaku yuridis dari RUU tentang revisi UU KPK ini sudah cacat, karena tidak memenuhi persyaratan formal terbentuknya UU sebab tidak masuk dalam Prolegnas sebagaimana disyaratkan Pasal Pasal 45 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011,” ucapnya.
Kedua
Revisi UU KPK secara sosiologis juga cacat karena tidak diterima masyarakat.
Tohadi mengatakan adanya penolakan kaum intelektual seperti dosen UGM, UI, UII, Unhas, serta dari para pekerja KPK, Komisioner KPK, pegiat antikorupsi dan komponen masyarakat lain menjadi bukti RUU itu tidak diterima masyarakat.
Ketiga
Secara filosofis usulan revisi UU KPK tersebut tidak sejalan dengan cita-cita hukum negara yang menghendaki terselenggaranya pemerintahan yang adil, bersih dan bebas KKN, melalui adanya lembaga khusus, kuat dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemberantasan korupsi.
“Muatan materi RUU tentang revisi UU KPK ini alih-alih memperkuat kedudukan dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi. Sebaliknya beberapa ketentuan dalam revisi justru memperlemah kedudukan dan fungsi KPK dari yang ada selama ini," demikian disampaikan Tohadi.