Aceh Barat Daya - Hujan baru saja reda pagi itu, meninggalkan tanah basah dan udara segar di Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya. Pagi Idul Fitri, Minggu, 24 Mei 2020. Seorang pria berkulit kuning langsat, berbaju koko biru muda, berpeci hitam, berada di antara barisan orang-orang, salat Id di masjid di lingkungan Pesantren Khazanatul Hikam. Usai salat, ia bersalaman dengan orang-orang di kiri kanan, bermaafan, kemudian buru-buru pergi, seperti tergesa-gesa.
Pria itu tangan kanannya menggenggam buku Yasin, tangan kirinya menenteng teko berisi air putih yang sudah dicampur beberapa jenis bunga. Ia berjalan menuju pemakaman, berhenti di sebuah pusara, menyentuh batu nisan dengan berlinang air mata.
Ia bernama M. Rizaldi, 32 tahun, bapak dari seorang anak, seorang pegawai honorer di Pemerintahan Kabupaten Aceh Barat Daya. Rizaldi bersimpuh di samping pusara ayahnya yang telah meninggal belasan tahun silam, membuka buku Yasin, membacanya, berdoa untuk ayahnya.
Rizaldi berkata kepada Tagar, begitulah kebiasaannya setiap hari pertama Lebaran, pergi ke makam ayah, melepas rindu, mengirim doa, mencurahkan isi hati.
“Banyak yang saya ingin sampaikan kepada ayah. Saya merindukan dia. Saya menyesal selama dia hidup, belum bisa membuatnya bahagia,” tutur Rizaldi dengan pandangan menerawang.
Pemakaman di mana kaki Rizaldi berpijak ini berada di dekat Masjid Baitul Ali, Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Di depan pintu pagar pemakaman, berserak sandal jepit pria dan wanita. Banyak orang yang datang dengan tujuan sama seperti Rizaldi.
Cintai mereka, sayangi, buat mereka seperti raja. Sungguh balasan Allah sangat dahsyat jika kita mau berbakti.
Sudah menjadi tradisi turun-temurun di Aceh, berziarah ke makam orang-orang tercinta pada hari-hari besar, di antaranya pada hari raya Idul Adha, Kenduri Jeurat (kenduri makam), dan hari raya Idul Fitri.
Bagi warga Aceh, berziarah ke makam di hari-hari besar merupakan saat melepas rasa rindu, meluapkan isi hati, meneteskan air mata, dan berdoa untuk orang tercinta yang terkubur, tanpa mengharap luapan isi hati itu dijawab.
Posisi makam ayah Rizaldi tidak terlalu jauh dari pintu pagar.
“Saya tunjukkan bagaimana saya curhat. Ini membuat rindu saya sedikit hilang,” ujarnya kepada Tagar.
Di samping pusara ayahnya, Rizaldi berkata, “Ayah, ini saya anakmu sudah sampai, Alhamdulillah saya diberi kesehatan dan sampai saya mengunjungi Ayah, Lebaran tahun ini.”
Sambil terus berbicara kepada ayahnya, Rizaldi mencabuti rumput liar di sekeliling makam yang ditandai dengan tumpukan batu-batu kecil memanjang. Ia bersihkan juga ranting-ranting kering. Kemudian terlihat air matanya menetes perlahan-lahan.
Rizaldi menyentuh batu nisan ayahnya yang mulai berlumut, “Ayah, betapa rindunya saya kepadamu, saya yang durhaka kepadamu, saya yang pernah membuat hatimu teriris, belum bisa membalas kasih sayangmu, engkau telah pergi, saya menyesal ayah.”
Sambil menangis, Rizaldi mencurahkan isi hatinya kepada sang ayah, mengatakan ibunya sehat, sedang dalam perjalanan dari masjid menuju pemakaman. Semua keluarga dalam keadaan sehat termasuk istrinya dan cucunya.
“Kami terus mendoakan ayah, ayah juga doakan kami yang baik-baik, doakan cucu ayah,” ucapnya tanpa mengharap dijawab.
Setelah hampir 20 menit meluapkan isi hati kepada sang ayah, Rizaldi kemudian membaca Yasin. Halaman demi halaman Yasin dibaca dengan fokus dengan suara pelan. Air matanya terus menetes. Dia bahkan tidak menghiraukan seekor nyamuk hitam putih di kening bagian kanan terus menghisap darahnya hingga terlihat membesar.
Usai membaca Yasin, Rizaldi dengan mata tertutup dan agak menunduk, mengangkat kedua tangan, berdoa dalam hati. Tanpa suara. Usai berdoa, ia menyiramkan air dengan wewangian bunga dari batu nisan posisi kepala, secara perlahan menuju batu nisan bagian kaki. Mulutnya berkomat-kamit dengan doa-doa. Ia lakukan ini berulang sampai tiga kali. Terakhir, ia gunakan air yang masih dalam teko untuk membasuh wajahnya.
Rizaldi mengatakan ayahnya adalah sosok penyayang, penyabar, pekerja keras, pengertian, dan taat beribadah.
“Dia sosok yang tidak tergantikan,” ujarnya.
Tiga puluh menit berlalu, Rizaldi merasa lega. Ia bangkit, berjalan meninggalkan makam.
Ia berpesan kepada siapa saja yang saat ini masih bisa memeluk ayah dan ibu, agar benar-benar memanfaatkan waktu bersama. Sebab, ketika mereka sudah tiada, hanya akan ada penyesalan yang terus menghantui.
“Cintai mereka, sayangi, buat mereka seperti raja. Sungguh balasan Allah sangat dahsyat jika kita mau berbakti,” tuturnya.
Air Mata Yusria Aula
Yusria Aula, seorang ibu muda, warga Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya. Lebaran hari kedua, Senin, 25 Mei 2020, ia berziarah ke makam ibu dan ayahnya. Lokasi makam jauh dari rumahnya. Ia dan suami, dari simpang tiga Desa Babahlok, Kecamatan Blang Pidie, melaju dua puluh menit dengan motor hingga sampai di Desa Gudang, Kecamatan Susoh.
Berikutnya kendaraan mengambil haluan kiri melalui jalan berlubang dan berbatu dengan hamparan sawah di kiri kanan jalan. Melaju sekira 200 meter meninggalkan perumahan warga, barulah terlihat sebuah pulau di tengah sawah. Pulau itu dipenuhi pohon-pohon besar yang rindang.
“Pulau itulah kompleks kuburan,” kata Aula kepada Tagar.
Ia berjalan sambil menenteng teko berisi air. Tiba di makam, teko diletakkan dekat tempat duduknya. Aula dan suami bersama membersihkan kuburan. Ranting-ranting kecil dan daun-daun kering dikumpulkan di satu tempat untuk dibakar.
Tapi, tiba-tiba saja isak tangis terdengar, ibu satu anak itu menangis sambil membersihkan kuburan.
“Ibu, Ayah, saya sudah sampai. Ibu-Ayah, saya sangat merindukan kalian,” lirih suara Aula.
Ayah ibunya menghadap Sang Pencipta ketika ia masih bayi.
Aula mencurahkan isi hati dengan suara begitu pelan dengan air mata yang terus menetes. Sesekali ia berhenti memungut daun, diam, menatap tulisan di batu nisan.
“Tentang mereka, saya hanya mendengar cerita dari orang-orang. Mereka berdua pergi begitu cepat. Saya dan abang saya saat itu masih bayi. Betapa kami sangat rindu kepada mereka,” tutur Aula.
Kurang lebih 25 menit ia berbicara kepada orang tuanya. Saat berjalan meninggalkan makam, Aula bercerita, semua apa yang telah dilaluinya sudah ditumpahkan kepada orang tuanya. Tentang kehidupannya, tentang suami dan anaknya. Ia mengaku hidup bahagia walau suaminya bukan orang kaya.
“Semua isi hati saya sampaikan. Kami berdoa dan meminta doa kepada mereka,” ujarnya.
Aula mengatakan sangat rindu kepada kedua orang tuanya. Pada hari-hari besar Islam, ia tidak pernah ketinggalan berziarah dan curhat. Ia yakin orang tuanya mencintainya dan mendoakan yang terbaik untuknya.
Dengan mata berkaca Aulia berkata, “Kini saya sudah menjadi ibu, sudah merasakan bagaimana perjuangan seorang ibu saat melahirkan dan merawat anak. Sungguh jasa mereka berdua tidak terbalas. Semoga Allah menempatkan keduanya dalam surga.” []
Baca juga cerita:
- Lebaran Online Warga Bantaeng dan Keluarga Indonesia
- Saat Takbir Idul Fitri 2020 Berkumandang di Bantaeng