Semarang - Pandemi Covid-19 membuat Lebaran 2020 sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Presiden Jokowi melarang mudik untuk memutus rantai penyebaran virus. Larangan berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Orang-orang harus menahan kerinduan kepada orang tua dan kampung halaman.
Hal tersebut dialami Fitri Nurhabibah, 31 tahun, dosen di universitas swasta di Surabaya. Juga dialami Anisa Setia, 31 tahun, dosen di Universitas Swasta di Magelang.
Fitri dan Anisa tidak bisa mudik ke Semarang yang populer dengan sebutan Kota Lumpia, kota kelahirannya, tidak bisa sungkem kepada ayah dan ibu.
Maunya bisa pulang, maaf-maafan terus makan masakan ibu.
Fitri bercerita, ia hanya bisa termangu tak percaya saat mendapat kabar tiket keretanya dibatalkan. Tiket kereta yang ia pesan jauh-jauh hari. Uang tiket dikembalikan kepadanya seratus persen.
Ibu satu anak itu merasa sedih, mengingat tradisi Lebaran selalu dirayakan bersama keluarga besar di Semarang. Betapa hangat kebersamaan di tengah keluarga, makan ketupat dan opor ayam.
Ia pada awalnya berpikir pandemi Covid-19 tidak akan sampai Lebaran.
“Maunya bisa pulang, maaf-maafan terus makan masakan ibu, tapi ya gimana situasi kayak gini,” ujar Fitri kepada Tagar lewat sambungan telepon, Kamis, 23 April 2020.
Fitri rindu tradisi dugderan di kampung halaman, arak-arakan dugderan begitu khas, hanya terjadi setahun sekali. Sesuatu yang ia tak akan temukan di Surabaya. Dalam tradisi tersebut, betapa seru orang-orang berebut kue ganjel rel. Dan juga aneka kesenian yang ditampilkan.
“Karnaval atau arak-arakan di mana-mana ada ya, tapi dugderan beda. Senang melihat warak ngendhog,” tutur Fitri.
Masih dalam rangkaian dugderan, yang juga dirindukan Fitri adalah pasar malam. Ia akan selalu ingat, semasa kecil paling senang diajak ke pasar malam dugderan, beli gula-gula dan mainan alat masak terbuat dari tanah.
“Juga berbagai wahana permainan anak, seperti bianglala, komedi putar, dan helikopter, menambah suasana ceria. Makanya saya pengin banget pulang ke Semarang,” kata Fitri.
Roti Ganjel Rel
Roti Ganjel Rel, bisa jadi nama yang terdengar asing di telinga sebagian orang. Ini makanan lawas yang sudah melegenda. Tidak bisa mengaku orang Semarang kalau tidak mengenal makanan ini.
Ganjel diambil dari bahasa Jawa yang berarti pengganjal. Bentuknya mirip kayu pengganjal rel kereta api, dulu pengganjal rel kereta api dari kayu, bukan dari besi seperti sekarang ini. Sehingga roti khas Semarang ini dinamai ganjel rel. Warnanya cokelat memikat.
Roti lawas yang juga dikenal dengan nama Roti Gambang ini selalu menjadi rebutan warga saat digelarnya acara Dugderan. Roti ini merupakan salah satu peninggalan Belanda.
Sampai sekarang resep yang digunakan tidak pernah berubah, masih asli dari zaman Belanda. Nama aslinya adalah roti gambang karena bentuknya mirip alat musik gambang, tetapi masyarakat Semarang lebih mengenalnya dengan nama “ganjel rel”.
Rasanya manis karena menggunakan campuran gula aren. Roti ini cocok sekali untuk teman minum teh seperti kebiasaan nonik Belanda, dan karena roti ini padat maka sangat cocok juga untuk menu sarapan.
Roti ditaburi biji wijen seperti onde-onde. Biasanya roti ganjel rel dibagikan saat tradisi dugderan di Masjid Kauman Semarang setiap menjelang bulan Ramadan.
Kue ganjel rel adalah simbol tak ada gangguan. Maksudnya dengan memakan kue ini pelaksanaan puasa tidak ada ganjalan sehingga pikiran jernih dan tenang.
Mitologi Warak Ngendhog
Anisa Setia mengalami kerinduan yang sama. Hal-hal yang diceritakan Fitri, juga merupakan kenangan manis buatnya tiap Lebaran. Dalam prosesi dugderan, ada satu hal yang membuatnya sangat terkesan.
“Paling senang adalah rebutan kembang manggar. Kayak tantangan. Serius banget supaya bisa dapat, padahal ya habis itu dibuang,” tutur Anisa.
Tidak bisa mudik, mau tidak mau, suka tidak suka, Anisa hanya bisa menjalin silaturahmi dengan orang tua dan keluarga lewat telepon seluler.
“Nanti sungkeman, maaf-maafan sama orang tua dan saudara lewat hape saja. Meski secara fisik tidak bisa bertemu tatap muka, mereka akan memaklumi,” ujarnya dengan nada pasrah.
Anisa juga harus rela tidak bisa melihat warak ngendhog, sesuatu yang identik dengan dugderan. Warak ngendhog adalah hewan berkaki empat, berkaki kambing, berkepala naga, punya tubuh bulat, dan bertelur. Hewan mitologis ini merupakan simbol perpaduan etnis yang hidup di Kota Semarang, yaitu Jawa, Arab, dan China.
Dugderan Semarang
Tradisi dugderan di Semarang tahun ini dilaksanakan dengan sederhana, jauh dari kemeriahan. Tidak ada karnaval atau arak-arakan warak ngendhog di halaman Balai Kota Semarang atau Masjid Agung Semarang. Dua tempat biasanya digelar dugderan. Tidak ada pembagian kue khas ganjel rel dan air kemasan yang didoakan khataman Alquran seperti Ramadan pada tahun-tahun yang telah silam.
Masyarakat Semarang mematuhi anjuran Pemerintah Pusat untuk menghindari kegiatan yang menciptakan kerumunan banyak orang. Karena kerumunan bisa menyulut meluasnya penularan virus corona penyebab penyakit Covid-19.
Dugderan sederhana digelar Kamis pagi, 23 April 2020, secara tertutup di Masjid Agung Semarang. Hanya melibatkan beberapa orang dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan physical distancing, menjaga jarak fisik antara satu orang dengan orang lain.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi hadir dalam acara dugderan ini. Ia didampingi istri. Juga hadir Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu bersama suami.
Hendrar Prihadi yang akrab disapa Hendi membacakan suhuf halaqoh atau surat keputusan dari para alim ulama. Surat berisi pengumuman bahwa umat Islam akan menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan.
“Mudah-mudahan momentum ini membuat warga bisa menjalankan ibadah puasa dengan positif. Saya titip pesan agar kegiatan keagamaan dilakukan di rumah masing-masing,” kata Hendi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Indriyasari, mengatakan dugderan tahun ini konsepnya menyesuaikan dengan situasi pandemi.
“Dugderan tetap ada, tapi berbeda konsep. Tidak ada karnaval, tidak ada keramaian. Intinya hanya mengumumkan kepada masyarakat bahwa sebentar lagi bulan puasa,” ujar Indriyasari.
Iin, sapaan akrabnya, bercerita dalam dugderan ini Wali Kota Hendrar Prihadi berperan sebagai Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat.
Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat adalah Bupati ke-22 Semarang. Ia memimpin Kabupaten Semarang pada 1891. Pada zamannya tradisi dugderan berkembang, menjadi momen yang sangat dinantikan masyarakat.
Bunyi Bedug dan Meriam
Pada tahun-tahun yang telah lalu, dugderan digelar meriah untuk menyambut bulan suci Ramadan. Biasanya diawali pawai budaya, berpusat di halaman Masjid Agung Kauman Semarang.
Dugderan menjadi tradisi di Semarang sejak ratusan tahun silam tepatnya pada 1891. Ketika itu Kota Lumpia masih disebut Kabupaten Semarang yang kala itu dipimpin Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Sekarang Semarang adalah Kota, bukan Kabupaten.
Tradisi dugderan bermula ketika sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadan. Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat kemudian mengirim utusan untuk melihat bulan, yakni menggunakan metode Rukyatul Hilal atau metode melihat bulan secara langsung.
Setelah bulan terlihat, utusan tersebut diminta menyampaikan kepada para kiai yang berkumpul di masjid, disebut halaqah kiai untuk dilakukan verifikasi.
Setelah hasil verifikasi menemukan persetujuan ulama, hasil keputusan tersebut diumumkan kepada masyarakat bahwa telah memasuki bulan suci Ramadan.
Di Masjid Kauman dibunyikan bedug besar sebanyak tujuh kali. Sedangkan di kantor Kabupaten Semarang yang lokasinya di Kanjengan, dibunyikan letusan meriam. Maksudnya supaya masyarakat datang ke alun-alun untuk mendengarkan hasil rukyah yang disampaikan oleh Bupati Semarang.
Bunyi bedug ‘dug dug, dug’ dan letusan meriam ‘der, der, der’ itulah kemudian menjadi akronim yang dikenal masyarakat Semarang dengan istilah ‘Dugderan’. Dahulu memang menggunakan meriam asli. Dalam perkembangannya, panitia melibatkan kepolisian, yakni tim Gegana untuk menghasilkan suara letusan mirip letusan meriam. []
Baca cerita lain: