Padang - Kasus money politic (politik uang) mendominasi perkara pelanggaran dalam pemilihan umum (pemilu) di Sumatera Barat(Sumbar). Sedangkan mayoritas korbannya masyarakat biasa yang tidak mengetahui dampaknya.
Saat kedapatan, mereka yang memberi dana lepas dari jerat hukum karena tidak ada saksi dan bukti kuat.
Hal ini disampaikan Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Sumbar, Elli Yanti, Rabu 11 Desember 2019.
"17 putusan tindak pidana pemilu se Sumbar inkrah, paling banyak adalah politik uang," katanya.
Masyarakat biasa yang kerap menjadi korban adalah mereka yang disuruh membagi-bagikan uang atau sembako pada warga dan meminta mendukung kandidat tertentu.
"Saat kedapatan, mereka yang memberi dana lepas dari jerat hukum karena tidak ada saksi dan bukti kuat mengarah ke si pemberi," katanya.
Menurut Elli, praktik maraknya politik uang tidak terlepas dari hubungan timbal balik antara masyarakat dan para calon di pilkada atau pun pemilihan legislatif. Sebab jika masyarakat tegas menolak tawaran uang oknum calon yang tidak bertanggung jawab, persoalan ini tidak akan ramai terjadi di masyarakat.
Hingga kini, katanya, masyarakat belum merasakan pemilu itu adalah hak konstitusi yang tidak bisa ditawar. Dengan begitu, kesadaran masih kurang untuk sama-sama mengawasi dan menjauhi politik uang.
"Jumlah yang diawasi tidak sebanding dengan jumlah yang mengawasi. Perlu dukungan masyarakat mengawasi jalannya pesta demokrasi ini," tuturnya.
Senada dengan itu, Anggota Bawaslu Kota Padang, Firdaus Yusri, mengatakan dalam melakukan pengawasan, Bawaslu mengutamakan pencegahan sebelum melakukan penindakan.
"Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, baik dari sisi pengawasan maupun menolak untuk tidak terlibat dalam politik uang. Jika masyarakat menolak, maka mereka juga tidak akan berani memaksa," katanya.
Dia juga mengingatkan kandidat dan masyarakat tidak terlibat politik uang dalam pilkada serentak 2020. Sebab nantinya, pemberi dan penerima akan sama-sama diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.
"Pemberi dan penerima terancam penjara maksimal 72 bulan dan denda hingga Rp 1 miliar," tuturnya. []