Sidang MK 2019, PDIP: Tuduhan 02 Maksain Banget

Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari merasa heran dengan salah satu poin pokok permohonan PHPU 2019 di Sidang MK.
Tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Bambang Widjojanto (kanan) dan Denny Indrayana (kiri) selaku pihak pemohon mengikuti sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang PHPU Pilpres 2019 itu akan dilanjutkan pada Selasa (18/6/2019) dengan agenda mendengar jawaban termohon, keterangan pihak terkait dan Bawaslu. (Foto:/Hafidz Mubarak A/wsj).

Jakarta - Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari merasa heran dengan salah satu poin pokok permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 di Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), yang dilayangkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno.

Tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atas azas-azas Pemilu yang bebas dan rahasia terkait imbauan memakai baju putih ke tempat pemungutan suara (TPS), menurutnya terlalu mengada-ada.

"Tuduhan 02 mengada-ada, maksain banget, sampai lupa bahwa grup mereka yang memulai, bahkan lebih vulgar seperti zaman Pilkada DKI Jakarta," ujarnya kepada Tagar, Jumat 14 Juni 2019.

Juru Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin ingat betul, ada imbauan serupa yang pernah diserukan paslon 02 Prabowo-Sandi dan Partai Gerindra saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Bahkan, bukan hanya memakai baju putih ke TPS, ada juga imbauan wisata syariah.

Akhirnya, imbauan itu mendatangkan orang-orang dari luar DKI Jakarta yang notabene bukan pemilih demi kemenangan Anis-Sandi kala itu.

Eva Kusuma SundariPolitikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari (ketiga dari kanan). (Foto: Instagram/evndari)

"Zaman Ahok, PS dan Gerindra mereka bikin himbauan wisata syariah, pakai baju putih-putih ke TPS-TPS malah yg datang dari luar DKI (bukan pemilih) demi kemenangan Anis-Sandi? Lalu saat 01 bikin himbauan putih (tanpa antribut 01) BPN protes bahwa putih-putih adalah seragam mereka dan mereka bikin imbauan yang sama?" ucapnya.

Ketika 01 mengimbau putih-putih ke TPS sebenarnya berlaku untuk 02 juga, karena bukan imbauan yang sifatnya ekslusif untuk 01. Terlebih warna bukan seragam yang punya ketentuan penggunaan lambang.

"Warna itu bukan seragam. Tidak ada lambang yang membuatnya seragam (potongan baju, bahan baju, lambang tertentu) jadi, tidak ada yang dilanggar 01, seperti abaya, gamis, malah bisa disebut seragam karena potongannya sama. Kalau warna bukan seragam," ujarnya.

Dengan demikian, ia yakin tuduhan pelanggaran TMS terkait imbauan memakai baju putih tidak akan diterima MK. Sebab, tuntutan BPN bisa dikatakan lemah dan miskin bukti.

"Saya yakin tidak. Masyarakat luas menyaksikan tuntutan mereka lemah, hanya berdasar logika tapi miskin bukti-bukti," kata Sekretaris Badan Pelatihan PDI Perjuangan tersebut.

Ace Hasan SyadzilyAce Hasan Syadzily menyanggah tuduhan Jokowi mengambil keuntungan politik, memuji kejujuran Ratna Sarumpaet. (Foto: Tagar/Nuranisa Hamdan Ningsih)

Sementara, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf-Amin Ace Hasan Syadzily menilai BPN Prabowo-Sandi paranoid terkait permohonan gugatan terkait imbauan memakai baju putih. Pasalnya, imbauan memakai baju putih tidak sampai dengan intimidasi ketika memilih di bilik suara.

"Nah apakah imbauan memakai baju putih dianggap sebagai tekanan psikologis dan intimidasi, menurut saya paranoid itu namanya. Kenapa? Karena kalau orang mau pakai baju hitam mau pake baju kuning, kalau sudah masuk ke dalam TPS kan dia datang sendiri, memilih sendiri tidak ada misalnya intimidasi. Kecuali kalau misalnya dalam TPS orang dipaksa 'pokoknya kamu memilih' itu intimidasi," ujarnya.

Jadi, menurutnya imbauan memakai baju putih tidak perlu dipahami sebagai pelanggaran serius.

"Kita tahu juga bahwa orang menggunakan baju putih itu kan simbol orang bersih, bekerja, dan berusaha sederhana. Jadi, menurut saya tak perlu juga dipahami sebagai pelanggaran serius apalagi dinilai sebagai tindakan intimidasi dan tekanan psikologis itu," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR tersebut.

Ketua Kuasa Hukum Baca Pokok Permohonan

Sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 pada Jumat, 14 Juni 2019 digelar. Dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan menerima penyerahan perbaikan jawaban. 

Ketua Kuasa Hukum BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto (BW) membacakan salah satu pokok permohonan poin 104 yakni imbauan memakai baju putih ke TPS.

Bambang WidjojantoKetua Tim Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto. (Foto: Youtube/ Mahkamah Konstitusi RI)

"Kami ingin mendalilkan adanya pelanggaran TSM atas azas-azas Pemilu yang bebas dan rahasia yang juga dilakukan oleh calon presiden (capres) pasangan calon nomor satu (01)," ucapnya dihadapan Majelis Hakim MK.

Beberapa saat sebelum pencoblosan capres paslon 01 secara gencar dan terus menerus berkampanye agar para pendukungnya datang ke TPS menggunakan baju putih. Bahkan, menuliskan ramai-ramai untuk memakai baju putih pada saat datang ke TPS 17 April.

Menurut pokok permohonan yang dibacanya, ajakan kontestan pemilu yang demikian berbahaya. Karena menimbulkan pembelahan di antara para pendukung dan telah melanggar atas azas rahasia dalam Pilpres.

"Harusnya capres paslon 01 juga presiden petahana paham betul bahwa memilih dalam Pemilu dilindungi oleh azas kerahasiaan. Maka instruksi untuk memakai baju putih di TPS 17 April 2019 jelas akan melanggar azas rahasia yang ditegaskan dalam pasal 22 E ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 (UUD) ada bukti-bukti yang saya sampaikan," ujar dia.

Ajakan memakai baju putih untuk mencoblos 17 April menurut BPN Prabowo-Sandi merupakan pelanggaran serius atas azas Pemilu yang bebas. Alasannya menimbulkan tekanan psikologis dan intimidatif bagi pemilih yang tidak memilih paslon 01.

"Pelanggaran azas-azas pemilu yang rahasia bebas tersebut bersifat struktur, karena langsung dilakukan capres 01 yang juga presiden petahana yang juga pemegang struktur pemerintahan negara tertinggi dalam negara Indonesia bersifat sistematis," ujar Mantan Ketua KPK itu.

Lihat juga:


Berita terkait