Sepuluh Poin Revisi UU KPK Ancam Lemahkan KPK

Usulan revisi UU KPK menjadi polemik di tengah masyarakat. Berikut sepuluh poin revisi UU KPK yang mengancam lemahkan kinerja KPK.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

Jakarta - Usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi polemik di tengah masyarakat. Setidaknya ada beberapa poin dalam usulan revisi UU KPK yang mendapat sorotan. Berikut sepuluh poin revisi UU KPK yang mengancam lemahkan kinerja KPK.

1. Independensi KPK

Revisi UU KPK tidak lagi memuat KPK sebagai lembaga independen yang tidak terikat dengan lembaga negara manapun. Belakangan usulan revisi UU KPK menyebutkan jika KPK menjadi lembaga pemerintah pusat.

Tidak hanya itu, revisi UU KPK akan membuat status pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Lembaga anti-rasuah tersebut menilai hal ini dapat menggerus independensi pegawainya karena selama ini lembaga tersebut juga mengurusi kasus korupsi di lingkungan instansi pemerintah.

2. Pembatasan Penyadapan

Metode penyadapan menjadi salah satu senjata KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Namun, revisi UU KPK yang diusulkan DPR memuat pembatasan penyadapan. Dalam UU tersebut penyadapan KPK harus melalui  izin dari dewan pengawas yang dipilih DPR. Selain itu, upaya penyadapan akan dibatasi dalam kurun waktu 3 bulan.

KPK menilai pembatasan penyadapan tidak adil karena hanya diterapkan kepada insitusinya. Menurut KPK, penyadapan harus dilakukan tanpa ada pembatasan karena korupsi dilakukan secara tersembunyi dengan waktu pengusutan yang lama.

Gedung KPKTulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 9 September 2019. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

3. Pembentukan Dewan Pengawas Oleh DPR

Dewan pengawas yang tercantum dalam usulan revisi UU KPK akan bertugas untuk mengontrol kinerja KPK, termasuk memberikan izin kepada penyidik untuk melakukan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Hal ini dianggap KPK sebagai upaya pelemahan karena menambah birokrasi yang berakibat pada durasi kerja penyidik dalam mengungkap kasus korupsi.

4. Pembatasan Penyelidik dan Penyidik KPK

Revisi UU KPK juga akan mengatur pembatasan jumlah penyelidik dan penyidik KPK. Selain itu, dalam merekrut penyidik dan penyelidik, usulan revisi UU tersebut mengatur KPK hanya bisa melakukan rekrutmen secara tertutup, yakni dari Polri dan PNS

Hal ini tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kewenangan kepada KPK dalam mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. KPK dan sejumlah elemen masyarakat menganggap upaya ini salah satu pelemahan. Musababnya, lembaga-lembaga anti-rasuah di beberapa negara termasuk Indonesia seperti Hong Kong, Malaysia, Timor Leste, dan Sierra Lone selama ini melakukan rekrutmen terbuka.

5. Pelibatan Kejaksaan Agung Dalam Penuntutan Perkara Korupsi

Dalam usulan revisi UU KPK, lembaga antirasuah wajib melibatkan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara korupsi. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang memperbolehkan KPK melakukan penuntutan secara independen melalui jaksa dari internal KPK.

KPK menilai hal ini dapat mereduksi independensi mereka karena menambah birokrasi dan menghambat pengusutan perkara.

6. Perkara yang Mendapat Perhatian Publik Tidak Dapat Diusut

Revisi UU KPK juga bakal mengubah Pasal 11 huruf b UU KPK yang memuat KPK mengusut kasus korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. Secara spesifik, revisi UU KPK yang diusulkan DPR itu akan mengatur KPK hanya mengusut kasus-kasus yang tidak mendapat perhatian publik.

KPK menilai sumbangsih masyarakat dalam mendukung pemberantasan korupsi sangat besar. Hal ini akan menyulitkan KPK untuk menyukseskan pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Gedung KPKGedung KPK (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

7. Pembatasan Pengambilalihan Perkara Oleh KPK

Revisi UU KPK akan mengatur KPK hanya dapat mengambil alih berkas penyelidikan kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan Pasal 9 UU KPK yang berlaku saat ini.

Hal ini dinilai KPK melemahkan kewenangannya karena sebelumnya KPK dapat mengambil alih berkas di tingkat penuntutan.

8. Pembatasan Kewenangan dengan Pihak Eksternal

Ada beberapa kewenangan KPK yang dibatasi dalam usulan revisi UU KPK. Pembatasan tersebut antara lain pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, dan meminta bantuan Polri dan Interpol.

9.  Kewenangan Menerbitkan SP3

Revisi UU KPK yang diusulkan DPR akan memberikan kewenangan pemberhentian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada KPK. Penerbitan Surat Pemberhentian Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (SP3) menurut KPK merupakan upaya pelemahan.

Hal ini disebabkan kewajiban KPK untuk menerbitkan SP3 terhadap kasus-kasus korupsi yang sedang diusut telah berumur 1 tahun (kadaluarsa).

10. Pembahasan Kelola Laporan dan Periksa LHKPN 

Kewenangan KPK dalam revisi UU KPK dibatasi, dengan mengubah fungsi koordinasi dan supervisi. Selain itu, pemberian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dilakukan ke instansi masing-masing.

KPK menilai hal ini dapat melemahkan kewenangan lembaganya karena KPK justru menemukan banyak ketidakpatuhan laporan LHKPN di sejumlah institusi.

Baca juga:

Berita terkait
Lima Peristiwa Paling Dramatis di KPK
Gedung KPK acap kali menjadi saksi bisu peristiwa penindakan kasus rasuah di Indonesia. Berikut lima peristiwa paling dramatis di markas KPK itu.
Kelompok Masyarakat di Sumut Dukung Revisi UU KPK
Mahasiswa yang tergabung dalam Kongres Rakyat Bersatu Sumatera Utara mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Cegah Tradisi Korupsi, Antropolog Tolak Revisi UU KPK
Sejumlah antropolog yang tergabung dalam Antropolog Untuk Indonesia menolak keras usulan revisi UU KPK.