Semangat Rafli Kande Perjuangkan Pedagang Kopi Gayo

Pemerintah mempunyai beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai dan SRG.
Anggota Komisi VI DPR RI Rafli Aceh. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Anggota Komisi VI DPR, Rafli Kande yang bertugas mengawasi ruang lingkup tugas bidang Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM, BUMN, Investasi dan Standarisasi Nasional mengaku terpanggil untuk terus menyuarakan kepentingan masyarakat Aceh dalam perluasan penerapan Sistem Resi Gudang (SRG).

Dia mengatakan, pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan keras bagi para pedagang kopi Gayo asal Aceh. Berhentinya aktivitas kedai kopi di Amerika, Eropa dan Asia dibarengi dengan terhentinya kegiatan ekspor di pelabuhan menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para pelaku kopi.

Mudah-mudahan tulisan ini mengilhami banyak pihak untuk berjuang bersama-sama agar kebangkitan ekonomi Aceh menghadapi pandemi dapat diraih dengan mengandalkan Kopi Gayo

"Ratusan ribu penduduk Gayo tidak lagi memiliki pemasukan utama, harga kopi jatuh bahkan hampir menyentuh angka minimum ongkos produksi," katanya kepada Tagar, Kamis, 16 Juli 2020.

Rafli menegaskan, Kota Aceh tidak bisa dipisahkan dari kopi. Sejarah, budaya apalagi ekonomi masyarakat sangat erat dengan kopi.

"Allah SWT memberkahi lahan yang sangat subur dan cocok untuk kopi di dataran tinggi Gayo yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues," ujarnya.

Dengan lahan sekitar 120 ribu hektar, kebun kopi Arabika Gayo menjadi terluas di Asia. Kopi terbaik dari Gayo juga diekspor ke negara-negara maju.

"Hal ini menjadi sebuah anugerah yang sangat luar biasa yang telah dinikmati puluhan tahun oleh masyarakat Gayo, bahkan pernah menjadi "pertahanan" yang sangat ampuh pada masa krisis moneter tahun 1998. Pada masa itu, ekspor kopi Gayo sangat menguntungkan karena menggunakan valuta asing sebagai pembayarnya," kata dia.

Dia berpandangan, saat ini sebagian warga memilih untuk menyimpan biji kopi kering atau green bean dengan harapan disaat aktivitas ekspor berjalan, para pedagang bisa mendapatkan kembali pemasukan dengan jumlah yang sama seperti sebelumnya.

Rafli bercerita, pada bulan pertama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), masyarakat Gayo masih sanggup bertahan dengan menyimpan green bean, hingga kemudian para pelaku kopi terpaksa menjual kepada para penampung dengan harga yang sangat rendah demi biaya hidup sehari-hari.

"Walaupun ada bantuan sosial dari pemerintah, tapi itu belum menjawab kebutuhan keluarga yang tidak memiliki pemasukan lain. Pada kondisi seperti inilah seharusnya negara hadir untuk membantu meringankan beban dan menyediakan solusi cepat agar warga bisa bertahan di tengah pandemi," ucap dia.

Menurutnya, pemerintah mempunyai beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi di Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai atau perluasan penerapan Sistem Resi Gudang (SRG).

"Ketiganya memiliki dampak yang berbeda baik dari sisi positif dan negatifnya. SRG dapat disebut sebagai opsi terbaik karena memberikan solusi yang adil kepada semua pihak, hal ini sebenarnya sudah memiliki ketentuan hukum yang kuat yaitu UU Nomor 9 Tahun 2006 Sistem Resi Gudang diperbaharui dengan UU Nomor 9 Tahun 2011," ujarnya.

Dengan mengantongi SRG, kata dia, para petani kopi dapat memperoleh dana tunai dari bank yang ditunjuk, sehingga masyarakat dapat menggunakan hal itu untuk menghidupi keluarga sehari-hari.

Dia melanjutkan, semua aturan dan mekanisme dalam penerapan SRG sudah ada dan dipahami oleh pihak-pihak terkait. Hanya saja dalam hal ini diperlukan willingness yang lebih kuat dari pembuat kebijakan agar dapat ditingkatkan kapasitas dan jangkauannya.

Menurut penuturan para pelaku kopi di Gayo, saat ini ada 4 gudang yang ditunjuk menjadi SRG. Kapasitas masing-masing sekitar 1000 ton biji kopi kering, sehingga jika diakumulasikan dapat menampung maksimum 4000 ton yang dihasilkan pada saat bersamaan.

"Sebuah angka yang sangat signifikan yang apabila di konversi menjadi uang tunai sekitar Rp 200 Milyar. Dana sebanyak itu, walaupun secara aturan hanya 70% yang dapat dicairkan untuk petani pemegang resi pasti akan berdampak sangat besar dan memberikan "multiple effect" bagi kehidupan masyarakat Gayo khususnya dan tentunya akan mempengaruhi daerah sekitarnya yang secara ekonomi berhubungan," tuturnya.

Kendati demikian, realita yang terjadi di Gayo tidak sesuai dengan harapan. Rafli mengatakan, penerapan SRG belum memberikan dampak yang signifikan dan luas kepada masyarakat.

"Ada empat faktor yang menjadi kendala mulai dari rendahnya plafon pembiayaan yang dapat disalurkan oleh bank yang ditunjuk yaitu maksimum Rp 20 Milyar. Dengan dana segitu, jumlah green bean yang dapat disimpan ke gudang pengelola resi hanya sekitar 560 ton (asumsi harga green bean termurah Rp 50.000/kg). Jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan produksi kopi Arabika Gayo yang mencapai 70 ribu ton per tahun," kata dia.

Pada poin kedua, bank yang ditunjuk hanya satu, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI). Menurutnya, jika bank-bank lain diberi kesempatan yang sama terutama Bank Aceh dengan sistem syariahnya pasti akan lebih menguntungkan bagi masyarakat.

Selanjutnya, yang diperbolehkan mendapat SRG hanya kelompok tani atau koperasi. Penerapan itu tidak bisa secara individu atau usaha pribadi.

"Terakhir, Syarat batas minimum volume kopi untuk disimpan yaitu 1 ton. Umumnya keluarga di Gayo menyimpan kopi di rumah sejumlah 100 Kg, mereka harus menggabungkan stok kopinya dengan keluarga lain atau membentuk kelompok lain, sebuah upaya yang tidak mudah dan berlangsung cepat," ujarnya.

"Kehadiran SRG yang lebih luas juga sangat bermanfaat untuk menjaga harga kopi agar tidak jatuh. Dan para petani tidak terjebak untuk menggantungkan kehidupannya kepada para tengkulak dan lintah darat yang tidak sesuai dengan nilai- nilai keadilan dan keislaman," tambahnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap, perjuangan untuk membantu pedagang kopi Gato mendapat dukungan dari segenap masyarakat Aceh, Forbes, lebih khusus pemerintah Aceh dan BUMD.

"Perjuangan ini akan semakin dikuatkan dan dapat diterima oleh pembuat kebijakan di tingkat nasional dalam hal ini mitra kami kerja kami Komis VI DPRRI, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata Rafli.

Rafly berpandangan, ada beberapa rekomendasi dan kebutuhan yang harus diperjuangkan dalam rangka penguatan dan sustainability pelaku kopi di Gayo, antara lain peningkatan plafon pembiayaan untuk Resi Gudang, dari yang masih berada di kisaran Rp 20 miliar menjadi minimal Rp 200 miliar sesuai dengan kapasitas gudang yang disahkan oleh BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi)-Kemendag.

"Kita juga harus memperjuangkan agar ekspor Kopi Gayo dapat dilakukan melalui pelabuhan yang ada di Aceh, sehingga akan lebih menjamin kualitas dan standar seperti yang diinginkan para buyer, hal tersebut juga akan memberikan dampak signifikan bagi perputaran uang daerah. Para pelaku ekspor Kopi Gayo juga menginginkan pelabuhan yang ditunjuk berupa dry port, dimana komoditas yang akan dikirim tidak dapat lagi diutak atik dan sesuai dengan yang dilepaskan oleh produsen," katanya.

"Mudah-mudahan tulisan ini mengilhami banyak pihak untuk berjuang bersama-sama agar kebangkitan ekonomi Aceh menghadapi pandemi dapat diraih dengan mengandalkan Kopi Gayo. Masyarakat Aceh pada umumnya juga akan terbantu karena perputaran uang yang besar serta tidak hanya berharap dari APBN/APBA yang penggunaannya lebih tepat untuk pembiayaan pembangunan dan infrastruktur," tambah Rafli kande. []

Berita terkait
Sensasi Kopi Tulang Kuburan Belanda di Malang
Aroma kopi menyerbak di TPU Nasrani Kecamatan Sukun, Kota Malang. Dilahan kuburan tersebut tumbuh pohon kopi jenis robusta dari Pokdarwis.
Hendropriyono Tawarkan Ahmad Dhani Jadi Menteri Jokowi
Ahmad Dhani mengaku ingin diberikan posisi jadi menteri oleh eks Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono jika mendukung Presiden Jokowi.
Pesan Yenny Wahid ke Pemerintah Soal Indonesia Timur
Yenny Wahid menyarankan agar pemerintah beri kebijakan yang lebih besar kepada masyarakat yang berada di Indonesia bagian Timur, khususnya Papua.
0
5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membeli Hunian di Sentul
Selain Bekasi dan Tangerang Selatan, Bogor menjadi kota incaran para pemburu hunian di sekitar Jakarta. Simak 5 hal ini yang perlu diperhatikan.