Jakarta - Saat menggunakan media sosial pasti kita sering menemukan orang-orang yang mengunggah tentang pencapaian dan/atau opini (prinsip) hidupnya pribadi. Kesan yang terlihat akhirnya orang tersebut seperti memamerkan apa dia punya. Perilaku pamer di media sosial tersebut saat ini dikenal juga dengan istilah “flexing”.
Berawal dari media sosial
Memang, tidak ada yang salah dengan memamerkan apa yang kamu punya, itu hak setiap orang. Masalahnya, ketika unggahan tersebut menjadi viral, orang-orang akan mulai memberikan penilaian buruk pada diri kamu. Umumnya, netizen akan menganggap orang yang flexing bersifat arogan, sombong, tidak punya empati, bahkan bodoh.
Di Indonesia sendiri flexing banyak terjadi bukan hanya untuk kebutuhan pribadi, melainkan salah satu bentuk strategi marketing Flexing tidak hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi, Sebagai contoh di Indonesia pernah terjadi kasus penipuan yang dilakukan sebuah travel perjalanan umrah.
“Beberapa tahun lalu ada seorang yang ditangkap polisi karena menipu banyak sekali orang yang dijanjikan bisa mengikuti ibadah umrah dengan harga yang sangat murah. Di mana, rumah orang tersebut sangat mewah bak istana. Bahkan dalam promosi bersama pasangannya pergi ke Paris, Italia, dan lain sebagainya memamerkan barang mewah,” kata Prof. Rhenald Kasali, dosen sekaligus pendiri yayasan Rumah Perubahan.
Flexing yang digunakan dalam cara marketing tersebut bertujuan membangun kepercayaan kepada customer.
“Dari situ belakangan kita baru tau ternyata kekayaannya atau cara flexing itu adalah cara marketing untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kepada customer,”
Rhenald juga menceritakan pengalamannya saat hendak makan di sebuah restoran, ternyata semua pengunjung yang ada di sana telah dibayarkan terlebih dahulu oleh sesosok yang tidak diketahuinya.
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu kembali menekankan uniknya fenomena flexing ini. Seringkali, orang-orang memamerkan sesuatu yang dimilikinya. Bahkan menyebut nama orang-orang hebat serta menggunakan barang-barang bermerk untuk menunjukkan statusnya sebagai orang kaya, demi mendapatkan perhatian dari publik tidak jarang juga yang sengaja memproduksi nya sebagai konten, untuk menambah attention dari para pengguna media sosial. []
(Mohamad Fahmi Apriyano)