Sejarah Peperangan Kerajaan Cikal Bakal Banyuwangi

Sejarawan Banyuwangi menjelaskan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sejak zaman Kerajaan Blambangan, termasuk peperangan yang terjadi
Patilasan Prabu Tawang Alun di Kawasan Kerajaan Macan Putih. konon di kawasan ini Prabu Tawang Alun sering melakukan meditasi. (Foto: Tagar/Hermawan)

Banyuwangi – Legenda tentang pembunuhan Putri Sri Tanjung oleh Pangeran Sidapaksa, yang tak lain adalah suaminya sendiri, dipercayai oleh sebagian orang sebagai asal-usul penamaan Banyuwangi, kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa.

Legenda lain yang juga disebut-sebut sebagai asal-usul Banyuwangi adalah pembunuhan Dewi Surati oleh Raden Banterang, yang juga suami Dewi Surati.

Dalam kisah legenda itu, Pangeran Sidapaksa cemburu pada istrinya, sementara Raden Banterang termakan oleh fitnah dari kakak Dewi Surati, yakni Raden Surata yang masih menyimpan dendam pada ayah Raden Banterang.

Cerita Sejarah Banyuwangi (2)Monumen patung Prabu Tawang Alun ayang sedang bersama Macan Putih dikawasan yang dulunya sebagai Istiana Macan Putih, Kerajaan Blambangan. (Foto: Tagar/Hermawan)

Terlepas dari kedua legenda itu, Banyuwangi memiliki sejarah panjang. Kabupaten terluas di Pulau Jawa ini dulunya merupakan wilayah Kerajaan Blambangan, yang dipimpin oleh Prabu Tawangalun.

Nama Banyuwangi Menurut Sejarah

Pemerhati Sejarah Banyuwangi Yeti Chotimah menyebut, Banyuwangi tidak bisa lepas dari Kerajaan Blambangan. Kata dia, sejarah mencatat Banyuwangi merupakan nama salah satu daerah pada zaman Kerajaan Blambangan yaitu, Tirtoarum yang juga dikenal dengan Banyuwangi.

Nama itu pula yang digunakan oleh VOC sebagai pusat administrasi pemerintahan mereka pada tahun 1773.

“Pada tanggal 24 Oktober 1773 VOC memutuskan pusat adminsitratif pemerintahan di Wana Tirtaganda atau Tirtoarum atau yang juga disebut Banyuwangi,” ucap Yeti Chotimah.

Kerajaan Blambangan berdiri pada tahun 1293. Pada saat itu Raden Wijaya (Prabu Kertarejasa Jayawardana) yang merupakan raja di Kerajaan Singosari, meminta salah satu abdi dalem kerajaan yaitu Arya Wiraraja untuk membantu menguasai Kerjaan Kediri, dengan imbalan separuh wilayah kekuasaan Singosari..

Wilayah kerajaan yang diberikan berada di daerah Kedaton Wetan, tepatnya mulai dari Malang sampai dengan Banyuwangi.

“Pada tahun 1294, disebutlah Kedaton Wetan dengan nama Kerajaan Blambangan,” kata wanita yang baru saja meluncurukan buka berjudul Sejarah, Seni dan Budaya Banyuwangi ini

Pusat Kerajaan Blambangan pertama kali berada di Lumajang. Kala itu Blambangan dan Majapahit merupakan kerajaan yang saling menghargai. Keduanya sama-sama kerajaan merdeka dan mempunyai ikatan kerja sama. Bahkan putra Arya Wiraraja yang bernama Aria Nambi, diminta untuk mengabdi kepada Kerajaan Majapahit. Aria Nambi mengabdi hingga Prabu Kartarejasa Jayawardani wafat pada tahun 1308.

Sepeninggal Raden Wijaya, puncuk pimpinan kerajaan digantikan oleh Raden Kalagemet yang bergelar Prabu Joyonegoro.

Tapi pada saat itu, Prabu Joyonegoro memimpin pemerintahannya kurang bijaksana, sehingga banyak sekali terjadi pemberontakan dari beberapa patihnya. Seperti Ronggolawe, Aria Sora, Juru Demung, Gajah Biru, Aria Semi dan Ra Kuti.

Pemberontakan yang terus menerus terjadi menjadi awal runtuhnya Kerajaan Majapahit. Joyonegoro terpaksa menyingkir ke Desa Bedander. Dia dikawal oleh Pasukan Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada. Ambisi Joyonegoro untuk memulihkan kerajaan Majapahit, membuat Aria Nambi tidak betah tinggal di Kerajaan Majapahit.

Dengan berat hati, Arya Nambi mengundurkan diri dengan alasan ayahnya yakni Arya Wiraraja sedang sakit. Tapi kepulangan Nambi itu membuat Joyonegoro marah dan menggap Blambangan ingin mengadakan perlawanan. Dari sinilah awal pertikaian antara kerajaan Majapahit dan Blambangan.

Pada tahun 1311 Arya Wiraraja meninggal dunia dan kedudukanya digantikan oleh Aria Nambi. Saat itu hubungan Blambangan dengan kerajaan di Bali semakin erat dan menjalin kerja sama dalam bidang pertahanan.

Cerita Sejarah Banyuwangi (3)Pemerhati Sejarah Banyuwangi Yeti Chotimah. (Foto: Tagar/Hermawan)

Tahun 1328 Prabu Joyonegoro tewas oleh Ra Tanca yang merupakan tabib Istana di Kerajaan Majapahit. Ra Tanca akhirnya dihukum mati oleh Patih Gajah Mada. Majapahit kemudian dipimpin oleh Ratu Gayatri.

Karena usia Ratu Gayatri sudah lanjut, maka Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Dyah Ayu Sri Gitareja yang bergelar Ratu Ayu Tribuana Tunggadewi. “Ratu Dyah Ayu Sri Gitareja memimpin sejak tahun 1328-1350 dengan patihnya Gajah Mada. Pada waktu itu kedudukan Gajah Mada sebagai menteri pengganti Aria Tadah,” kata Yeti lagi.

Pada saat dilantik menjadi Menteri Pertahanan terucaplah sumpah Amukti Palapa yang berbunyi “Aku tidak akan berpesta pora dan tidak akan makan buah Palapa sebelum nusantara bersatu dibawah panji-panji Majapahit.”

Sekitar pada tahun 1332 Prabu Aria Nambi, meninggal dunia, sehingga terjadi kekosongan di puncuk pimpinan Kerajaan Blambangan. Sedangkan di Majapahit sendiri pada sekitar tahun 1350 Sri Ratu Tribuana Tunggadewi meninggal dunia dan digantikan putranya yaitu Hayam Wuruk.

“Sehingga pada waktu Kerajaan Majapahit kembali berjaya dengan patihnya Gajah Mada. Bahkan kala itu Majapahit mengalami masa keemasan ke II,” kata Yeti

Setelah mengalami kekosongan pimpinan di kerajaan Blambangan atas restu Hayam Wuruk maka diangkatlah Bhree Wirabumi memimpin di kerjaan Blambangan. Bhree Wirabumi menikah dengan Dyah Negarawardani yang merupakan adik dari Wikramawardana.

Kala itu pusat kerajaan bergeser ke Banger, Probolinggo. Namun berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pertahanan, pusat Kerajaan Blambangan dipindah lagi ke Ulu Pangpang Muncar. “Jadi dalam sejarah tercatat Kerajaan Blambangan itu berpindah delapan kali, termasuk di Muncar dua kali,” kata Yeti.

Istana Macan Putih

Kerajaan Blambangan juga pernah berpindah ke Kedawung-Rogojampi di masa pemerintahan Prabu Tawang Alun, antara tahun 1685-1686. Saat itu Pemerintah Hindia Belanda mengadu domba internal kerajaan,sehingga Mas Wila, adik dari Prabu Tawang Alun berambisi menduduki tahta kerjaan.

Cerita Sejarah Banyuwangi (4)Kwasan Istana Macam Putih yang sekarang berfungsi sebagai Balai Desa Macan Putih. (Foto: Tagar/Hermawan)

Untuk menghindari perang saudara, pada tahun 1686, Prabu Tawang Alun yang memiliki sifat bijaksana dan berbudi luhur memilih untuk mengalah dan menyingkir ke daerah Rowo Bayu Songgon. Kekuasaan pun diserahkannya pada Mas Wila yang bergelar Pangeran Prabu Mas Wilabrata.

Pangeran Prabu Mas Wilabrata memerintah dengantidak adil, sehingga rakyat Kedawung hidup dalam kecemasan. Banyak warga Kedawung pindah ke Desa Bayu karena dirasa lebih damai dan tentram.

“Terdorong oleh watak keras Mas Wila yang kurang bijaksana, beliau amat murka pada waktu itu mendengar banyak penduduk yang berpindah ke Bayu. Dengan peristiwa itu Mas Wila langsung mengerahkan prajuritnya untuk mengempur Desa Bayu,” kata Yeti.

Perang saudara tidak dapat dihindarkan dan pertempuran terjadi dengan sengit. Pada tahun 1687 Prabu Mas Wila, Mas Ayu Tunjung Sekar, serta Mas Wilataruna gugur dalam pertempuran. Prabu Tawang Alun kemudian menyerahkan tahta kepada Mas Ayu Meloka. Sedangkan Mas Ayu Gringsing Retno dingakat sebagai patih.

Prabu Tawang Alun merasa menyesal atas terbunuhnya Mas Wilabrata, Mas Ayu Tunjung Sekar dan Wilateruna. Prabu Tawang Alun melakukan tapabrata di hutan Sudamara dikawasan lereng Gunung Raung. Pada saat bertapa Prabu Tawang Alun dibangunkan oleh suara gaib yang mengisyaratkan dia harus berjalan ke arah utara sampai bertemu macan putih.

Setelah bertemu macan putih, Prabu Tawang Alun berjalan dan berhenti di Banger Laban Asem, kemudian mendirikan kembali sebuah istana yang dinamakan istana Macan Putih.

“Ukuran persatuan panjangnya batu bata merah itu 1 meter, lebar 0,5 meter tinggi 20 meter dengan pagar berkeliling lengkap dengan parit sepanjang 4,5 km dan diselesaikan dengan kurun waktu 4 tahun 10 bulan, dengan dibantu penasehatnya yaitu Mas Bagus Wongsokaryo. Pada saat itu masa kepemimpinan Tawang Alun Kerajaan Blambangan memasuki jaman keemasan,” ujar Yeti.

Cerita Sejarah Banyuwangi (5)Kawasan Rowo Bayu di Wilayah Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Di kawasan ini Prabu Tawang Alun pernah membangun Kerajaan Blambangan. Di kawasan ini juga sempat terjadi peperangan paling dahsyat antara VOC dengan Kerajaan Blambangan yang dipimpin Sayu Wiwit yang disebut perang puputan Bayu. (Foto: Tagar/Hermawan)

Tahun 1691 Prabu Tawang Alun meninggal dunia, dan kedudukanya digantikan oleh putranya, Sosronegoro sampai dengan tahun 1698. Namun gejolak timbul di Istana Macan Putih. Memanfaatkan jiwa Sosronegoro yang masih labil, kakaknya yang bernama Mas Macan Apura dengan dibantu penasehatnya yaitu Endog Sawiji pada tahun 1697 meminta Sosronegoro untuk menyerahkan kepemimpinanya. Maka terjadilah perang saudara.

“Akibat perang yang berkecamuk pada waktu itu, istana Macan Putih rusak berat. Namun dalam sumber lain menyebutkan rusaknya istana Macan Putih dikarenakan meletusnya Gunung raung pada tahun 1701. Sehingga pusat kerajaan Blambangan dipindahkan ke daerah Wijenan Kecamatan Singonjuruh,” ujar Yeti.

Selain menghadapi gejolak internal, Blambangan juga harus menghadapi perompak dari Bugis yang jumlahnya mencapai 800 orang. Mereka bersaing dengan Cina dan VOC. Para perompak Bugis telah nmembangun kubu-kubu di Pantai Pakem sedangkan Ingris membangun kantor perdagangan yang digunakan untuk transit di depan Loji yang sekarang dikenal dengan Ingrisan.

“Danuningrat merasa kedudukanya terancam pada waktu itu sebagai penguasa Kerajaan Blambangan, sehingga meminta bantuan Wong Agung Wilis untuk membasmi pasukan Bugis. Tapi pada kala itu Wong Agung Wilis tidak bersedia. Namun akhirnya Wong Agung Wilis akhirnya mau membantu menumpas pasukan Bugis. dan penumpasan pasukan Bugis itu dilakukan hanya dalam waktu semalam saja,” ucap Yeti.

Berhasil menumpas perompak Bugis tidak serta merta membuat kerajaan Blambangan menjadi aman, VOC mulai membangun kekuatanya melalui perdagangan. VOC juga berhasil meciptakan jurang pemisah antara rakyat dengan pimpinan.

“Kebijakan VOC memanjakan penguasa lokal untuk meluncurkan politik devide et empera. Sehingga menciptakan jurang pemisah antara rakayat dan pemimpinnya,” ucap Yeti.

Kesewenang-wenangan VOC akhirnya mendapatkan perlawanan rakyat Blambangan. Pada tahun 1771 rakyat Blambangan melawan dengan perang Puputan Bayu. Belanda mengakui perang paling dahsyat se tanah Jawa. Padahal tidak sebanding dengan hasil yang akan didapatkan di tanah Blambangan.

Setalah perang Puputan Bayu selesai pada tahun 1773, untuk meredam kemarahan rakyat Blambangan maka VOC menjemput Mas Alit dan Mas Thalib yang selama ini diasuh oleh panembahan Rasamala Bangkalan Madura. Mas Alit diangkat oleh VOC sebagai Bupati Blambangan.

“Mas Alit dinobatkan sebagai bupati di Istana Blambangan yang berada di Ulu Pangpang Muncar,” ucap Yeti lagi.

Perlawanan rakyat Blambangan meski tersisa 5000 orang di bawah pimpinan Sayu Wiwit masih gencar dilakukan. Bahkan VOC memberi julukan kepada Sayu Wiwit sebagai Prince of Empire dan srikandi Blambangan.

“Akan tetapi Sayu Wiwit akhrinya tertangkan di Kaki Gunung Raung. Tapi dalam babad yang lain disebutkan Sayu Wiwit meninggal dan dimakamkan di kaki Gunung Raung,”ujur Yekti.

Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1773 VOC memutuskan pusat administrasi dipindahkan ke Wana Tirtoganda atau Tirtoaruam atau juga disebut Banyuwangi. []

Berita terkait
Cerita Asap dan Omzet Tebal Pembuat Arang Tempurung di Aceh
Seorang pembuat arang dari tempurung kelapa di Aceh Tamiang memiliki omzet belasan hingga puluhan juta rupiah setiap 15 hari.
Cara Mal Sleman Terapkan Protokol Kesehatan di Lift
Salah satu pusat perbelanjaan di Kabupaten Sleman, yakni Sleman City Hall (SCH) melakukan beberapa inovasi untuk menerapkan protokol kesehatan.
Menahan Laju Kepunahan Burung Endemik Magelang
Magelang yang dikelilingi sejumlah gunung menjadi habitat beragam jenis burung. Tapi populasi burung endemik daerah itu mulai berkurang.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.