Sejak Krisis 98, Setahun Periode ke-2 Jokowi Utang Terbanyak

Anis Byarwati menyebut, setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada periode kedua ini pecahkan rekor penambahan utang terbanyak.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Anis Byarwati. (Foto: Tagar/Dokumen Anis Byarwati)

Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Anis Byarwati menyebut, setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada periode kedua ini memecahkan rekor penambahan utang terbanyak.

Anis mengatakan, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan terbaru tentang statistik utang internasional (International Debt Statistics) 2021. Dalam rilis tersebut lembaga ini melaporkan deretan negara low-middle income dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia.

Sejak terjadinya krisis 1997-1998, periode pemerintahan ini memegang rekor dengan penambahan utang terbanyak

Negara dengan utang terbesar di 2019 adalah China, di mana jumlahnya sebesar US$ 2,1 triliun. Sementara, dalam laporan itu, Indonesia menempati posisi ke-7 dengan jumlah utang US$ 402,08 miliar atau senilai Rp 5.900 triliun.

Laporan itu juga menyebutkan posisi utang luar negeri RI terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 utang RI senilai US$ 353,56 miliar, tahun 2018 379,58 US$ miliar dan tahun 2019 US$ 402,08 miliar.

Kendati demikian, dalam pernyataan tertulis yang dikutip Tagar, Anis mengatakan, terlepas dari Catatan world bank itu pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan utang luar negeri (ULN).

Menurut data APBN edisi Agustus 2020, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp 519,22 triliun. Realisasinya terdiri dari penyerapan SBN Rp 513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp 5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 634,9 miliar.

Kemudian, realisasi ini, posisi utang Indonesia per-Juli 2020 telah menyentuh Rp 5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp4.596,6 triliun, pinjaman Rp10,53 triliun, dan ULN Rp828,07 triliun.

Sementara, rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020. Untuk tahun ini, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp 338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020.

"Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10%," kata Anis, Rabu, 21 Oktober 2020.

Selain itu, akibat kebijakan utang ini debt service ratio (DSR) Indonesia pun turut naik. Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) semester I 2020 menunjukkan, DSR tier-1 Indonesia telah mencapai 29,5 persen. Angka ini telah melewati batas aman DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25 persen.

Anggota Komisi XI DPR ini menuturkan, DSR tier-1 merupakan indikasi penambahan ULN yang tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambahan devisa lainnya.

"Dengan DSR di atas 25% itu, artinya jumlah utang Indonesia kini sudah masuk pada tingkat waspada," ujarnya.

Anis menilai, akan menjadi masalah tambahan ketika risiko besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya belum terlihat efektif.

Upaya meredam dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), kata dia, yang menjadi dalih pemerintah berutang masih belum menunjukkan hasil maksimal. Serapan dana pemulihan ekonomi nasional untuk menangani Covid-19 masih di bawah 40 persen.

"Hingga 17 September lalu, baru teralokasi Rp 254,4 triliun, atau 36,6 persen dari pagu Rp 605,2 triliun," kata dia.

Lebih lanjut, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan bahwa penambahan utang Indonesia secara statistik dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 (outlook) telah mencapai Rp 3.390,72 triliun atau meningkat 129,97 persen hanya dalam waktu enam tahun (2014 sebesar Rp 2.608,78 triliun serta Rp 5.999,50 triliun pada outlook 2020).

"Sejak terjadinya krisis 1997-1998, periode pemerintahan ini memegang rekor dengan penambahan utang terbanyak," ucap Anis.

Bukan hanya secara agregat, Debt to GDP ratio juga mengalami peningkatan. Periode pemerintahan terdahulu mencatat debt to GDP ratio terus mengalami penurunan dari 50 persen pada 2004 hingga mencapai 24 persen pada tahun 2014.

Namun sebaliknya, periode pemerintahan Presiden Jokowi hingga akhir 2019 debt to GDP ratio telah mencapai 30,2 persen. Dengan utang yang makin melonjak tahun 2021, debt to GDP ratio akan mencapai kisaran 40 persen.

Dia pun mengingatkan bahwa meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bertambahnya jumlah utang yang tidak diiringi dengan bertambahnya produksi nasional secara proporsional.

Oleh karena itu, Anis memberi saran agar pemerintah segera melakukan optimalisasi pembiayaan ULN dan mencari alternatif pembiayaan yang lebih murah. Sementara itu utang harus digunakan untuk belanja yang benar-benar produktif dan bisa menggerakkan ekonomi rakyat di saat pandemi masih berlangsung.

"Pemerintah perlu untuk menjaga kesinambungan pembiayaan dan mengoptimalkan hasil pengelolaan aset dan investasi serta piutang-piutang Negara yang bermasalah agar dapat menjadi penerimaan negara," ucap Anis Byarwati.[]

Berita terkait
Bara JP: Setahun Pemerintahan Jokowi, 70 Persen Tangani Covid-19
Bara JP menyebut satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin hampir 70 persen diisi dengan penanganan pandemi Covid-19.
PKS: Setahun Jokowi - Ma'ruf Kinerja Ekonomi Tak Memuaskan
Fraksi PKS DPR menegaskan, ketidakberhasilan Jokowi-Maruf mencapai target ekonominya, menjadi catatan tidak baik terhadap kinerja pemerintah.
Satu Tahun Jokowi, PDIP: Konsolidasi Pemerintahan Modal Penting
Hasto Kristiyanto mengatakan untuk menghadapi situasi tersebut konsolidasi politik dan pemerintahan menjadi modal penting.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.