Saya kesal sama Bu Risma. Hujan berjam-jam menghantam Surabaya. Berita di mana-mana, "Surabaya tenggelam!" Foto-foto berseliweran menunjukkan fakta, ada mobil terendam, banyak motor mogok di jalan.
Dan senyum di wajah beberapa teman pendukung Anies Baswedan langsung terpampang lebar, "Tuh kan... mana Wali Kota Surabaya yang dibanggakan? Anies lagi yang disalahkan?" Dan mereka ketawa hebat memenuhi media sosial sambil upload foto-foto banjir di Surabaya.
Sialnya, air di Surabaya cepat surutnya. Mulut mereka langsung tertutup rapat. Diam. Dan foto-foto banjir itu menghilang.
Saya tahu, mereka menunggu "perahu karet" yang jadi pemandangan biasa waktu Jakarta banjir menghiasi koran dan media online. Perahu karet yang membagikan makanan seliweran berhari-hari ke warga yang terjebak dan kelaparan.
Bu Risma ternyata belum mampu berdiskusi dengan air supaya mampir lama di Surabaya.
Dan berita dari media, "Banjir sudah sedada, tadinya sepaha," ternyata enggak ada. Mereka kecewa.
Ini memang salahnya Bu Risma.
Bu Risma tidak mampu membahagiakan orang Jakarta. Di Jakarta, setiap hujan besar, bahkan ada orang yang dengan gembira main perahu kayak di depan universitasnya. Malah ada video secangkir kopi panas di atas kayu, jalan-jalan di tengah aliran air.
Bu Risma ternyata belum mampu berdiskusi dengan air supaya mampir lama di Surabaya. Air tidak diajak komunikasi dan pelan-pelan diresapkan ke dalam tanah, malah disalurkan ke gorong-gorong dan dibuang ke laut.
Jelas ini melanggar Sunnatullah!
Bu Risma tidak membuka diri untuk di-bully, seperti Gubernur Jakarta. Padahal, kata seorang ustaz terkenal yang sempat heboh karena kawin diam-diam, di-bully itu menggugurkan dosa-dosa.
Bu Risma enggak mau masuk surga apa?
Bu, harusnya diamkan dulu airnya berhari-hari. Contoh Jakarta, di sini banjir itu katanya membawa berkah. Kalau cuman terendam sedikit, terus dalam hitungan jam banjirnya hilang, berkahnya juga hilang, Bu.
Bu Risma enggak pandai sih memanfaatkan banjir untuk pencitraan. Harusnya biarkan banjir lama, terus sewa orang-orang untuk teriakkan, "Hidup Wali Kota!" padahal air sudah sehidung mereka.
Makanya Bu, jadi wali kota itu harus pandai menata kata, jangan menata kota. Beginilah jadinya.
Untuk kali ini saya kecewa sama Bu Risma. Padahal ada nasihat, "Membahagiakan orang itu berpahala." Kalau Surabaya banjir, berapa juta orang bahagia di Jakarta? Berilah mereka bahagia sedikit saja, biar ibu banyak pahalanya.
Karena itu saya menyarankan Google untuk membuat kata pencarian, "Wali kota tercerdas," biar ibu kapok. Biar itu sebagai hukuman.
Kali ini saya bilang, "Banjir di Surabaya enggak rame!"
Padahal saya sudah buat kopi hanya untuk meladeni meme-memean.
Sial! Kuseruput saja kopinya sekalian.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya sudah di-publish di laman Facebook Denny Siregar dengan judul Bu Risma Melanggar Sunnatullah
Baca juga: