Jepang hampir setiap tahun gempa. Mulai dari yang kecil sampai kuat tak terhingga. Tapi ternyata "cacat" itu malah menjadikan Jepang ahli. Karena gempalah, Jepang mampu membangun struktur gedung tinggi anti gempa. Ilmuwan-ilmuwan mereka menjadi ahli yang dipakai di banyak negara.
Indonesia seperti Jepang juga sebenarnya dalam masalah bencana. Cuma di sini banjir. Setiap tahun, pasti ada saja banjir. Bedanya dengan Jepang, banjir di Indonesia cuma jadi komoditas doang, yang ribut pengamat, ahlinya gak pernah ada.
Kenapa? Mungkin karena otonomi daerah.
Otonomi daerah membuat kepala daerah harus menjadi Superman. Dia harus jadi ahli menyejahterakan masyarakat, sekaligus ahli bencana. Mana bisa? Banyak hal yang membutuhkan spesifikasi khusus dan harus ahlinya yang bicara.
Saya jadi ingat waktu Jokowi jadi Gubernur Jakarta dulu, begitu sulitnya menyatukan persepsi antara Jakarta, Bogor dan Bekasi. Saling salah menyalahkan antara para kepala daerah dan pusatnya lemah.
Sampai-sampai Jokowi sempat bersumpah, "Kalau jadi Presiden lebih mudah mengatasi banjir Jakarta."
Ternyata tidak mudah juga. Kenapa? Karena konsep otonomi daerah yang luas itu. Kepala daerah tidak mudah diperintah oleh pusat.
Akhirnya terjadi silang pendapat seperti yang barusan terjadi antara Menteri PUPR Basuki dengan Anies Baswedan selaku Gubernur DKI. Masing-masing sibuk dengan pendapat sendiri. Beda kalau Kepala Daerahnya mau kerja sama dengan pusat kayak dulu zaman Ahok jadi Gubernur DKI.
Bencana banjir itu seharusnya menjadi berkat, karena dengan ada masalah kita seharusnya menjadi lebih pintar.
Jika pejabatnya berantem, siapa yang paling menderita? Ya, rakyatlah. Rakyat adalah korban nyata. Mereka tidak tahu bagaimana solusinya, karena sibuk menyelamatkan diri dari kepungan air.
Seharusnya ini menjadi tugas DPR RI, untuk mulai merevisi UU Otonomi daerah. Harus ada bagian khusus di mana pusat punya otoritas sangat kuat dan daerah tidak bisa menolak, cukup koordinasi saja.
Dari hasil revisi itu, muncul lembaga khusus penanganan banjir. Di dalamnya diisi para ahli. Tugasnya khusus memetakan dan menyelesaikan masalah banjir di semua wilayah. Baru pelaksanaan pembangunannya bisa diambil pusat atau daerah, tapi perencanaan penanggulangannya sudah jelas.
Ya, jujur saya lucu saja lihat video Anies Baswedan bicara tentang rencana penanggulangan banjir. Memang dia ahli banjir? Jelas tidak. Jadinya kan kelihatan sok tahu. Dan pas ada masalah, dia juga gak tahu apa-apa. Akhirnya untuk menutupi kelemahannya, dia mainan kata-kata.
Kasihan sebenarnya.
Dalam Islam saja ada hadis, "Segala urusan serahkan pada ahlinya. Kalau tidak, tunggu saja kehancuran." Anies jelas bukan ahli banjir, disuruh mengurus banjir. Ya hancur Jakarta.
Dan ada berapa lagi Anies-anies lain di daerah yang tidak ahli dalam penanggulangan bencana tapi dipaksakan untuk menjadi ahli hanya karena UU Otonomi daerah?
Bencana banjir itu seharusnya menjadi berkat, karena dengan ada masalah kita seharusnya menjadi lebih pintar. Bukan bodoh terus selamanya. Diketawain Jepang kita.
Tahun ini pasti banjir lagi. Mungkin akan jauh lebih besar. Siapkah kita? Atau masih sibuk dengan bully-bully-an tanpa pernah ada jawabannya?
Harusnya kelak kita bisa ekspor ahli-ahli banjir ke banyak negara. Masak negeri sebesar ini yang banyak cuma ahli agama saja ? Entar pas banjir besar, palingan cuman disuruh doa dan pasrah.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya sudah di-publish di laman Facebook Denny Siregar
Baca juga: