Ritual Pemanggil Hujan di Perbesi Tanah Karo

Warga Desa Perbesi, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, memiliki ritual untuk memanggil hujan saat musim kemarau panjang.
Dua perempuan Desa Perbesai, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, membuat kue khas Karo yang dinamakan Cimpa. (Foto: Tagar/Della Ginting)

Karo – Barisan pohon nyiur berdiri di sepanjang jalan Desa Perbesi, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di belakang peohonan nyiur itu, lahan perkebunan warga terlihat masih cukup luas.

Awan-awan putih tipis menghiasi langit biru di atas Desa Perbesi, siang itu, menemani Della Ginting, mahasiswi Universitas Diponegoro (Undip) melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di sana. Desa itu merupakan tanah kelahiran Della.

Di beberapa sudut desa, selain area sawah dan kebun, juga terdapat kandang-kandang ternak milik warga.

Desa ini adalah salah satu desa terbesar dan terluas di Kecamatan Tigabinanga, dengan penduduk kurang lebih seribuan kepala keluarga.

Desa Perbesi dibagi menjadi beberapa bagian yang disebut kesain, karena wilayahnya cukup luas. Kesain-kesain itu di antaranya Kesain Muham, Kesain Depari, Kesain Brahmana, Kesain Rumah Tengah, dan Kesain Rumah Jahe. Mayoritas pendudukdi seluruh kesain tersebut adalah warga suku Karo.

Ritual Pemanggil Hujan

Seperti umumnya masyarakat Suku Karo, kata Della, masyarakat Desa Perbesi memiliki beragam adat dan budaya, yang mayoritas masih dilestarikan, meskipun masyarakat Desa Perbesi merupakan masyarakat modern.

Cerita Desa Perbesi 2Barisan pohon nyiur yang ada di sepanjang jalan Desa Perbesi, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. (Foto: Tagar/Dok Pribadi Della Ginting)

Salah satu budaya yang masih dilakukan adalah ritual memanggil hujan saat musim kemarau, yang disebut dengan Erlau-lau. Lau dalam bahasa setempat berarti air.

Biasanya Erlau-lau dilaksanakan ketika musim kemarau sudah dianggap terlalu panjang. Caranya dengan menhiramkan air antarwarga.

“Dilakukan dengan siram-siraman antara satu dengan yang lain. Namun siram-siramannya ada aturan nyajuga. Salah satunya yaitu boleh menyiram impal ( adalah sepupu dari saudara ayah atau ibu). Tujuan nya adalah manggil hujan. Katanya ada hal hal mistis nya dalam pelaksanaan tradisi satu ini, namun saya tidak tahu persis apa hal mistisnya,” kata Della.

Tradisi lain adalah kerja tahunan Muro Ate Tedeh, yang merupakan perayaan pesta panen. Biasanya perayaan ini dilaksanakan pada bulan Juni, saat masyarakat selesai memanen jagung.

Muro Ate Tedeh yang artinya melepas rindu atau kangen kepada sanak saudara yang jauh merantau.

Dalam kegiatan itu, para pemuda akan menari dengan impal mereka. Tarian atau yang dalam bahasa Karo disebut landek tersebut dinamakan tarian Gendang Guro-guro Aron. 

Tidak jarang saya selalu dipaksa untuk menari juga, namun saya menolak, bukan passion saya sepertinya.

Dalam pelaksanaan kegiatan itu, kata Della, semua orang berbahagia, tidak ada kesedihan yang terlihat pada wajah wajah masyarakat. Mulai dari anak anak sampai lansia, semua ikut berbahagia.

“Jadi ingat ketika masih kecil, kerja tahun ini adalah salah satu event sangat saya tunggu tunggu. Kenapa tidak? Saya selalu dapat uang saku yang banyak dari paman, bibi maupun kakek nenek yang datang berkunjung,” lanjutnya.

Landek yang dilakukan oleh warga Desa Parbesi menurutnya menjadi salah satu landek yang dipuji Karena kerapian dan estetikanya yang tidak berubah seiring berkembangnya zaman.

Mayoritas Petani

Sebagaimana umumnya masyarakat desa lainnya, pengasilan utama masyarakat Desa Parbesi adalah petani. Tanaman utama adalah Jagung. Namun ada juga tanaman tanaman lain, seperti kopi, kemiri, cokelat, kacang tanah, dan kelapa.

Sejak 2010, ada perkembangan jenis tanaman pertanian yang ditanam di Desa Perbesi, yakni tomat, bawang, dan kol.

Warga yang menanam ketiga jenis tanaman tersebut mempelajarinya dari warga desa yang bermukim di kaki Gunung Sinabung, yang sempat meletus saat itu. Warga kaki Gunung Sinabung tersebut mengungsi ke Desa Perbesi.

“Mereka membawa ilmu untuk masyarakat desa ini untuk bercocok tanam beberapa tanaman yang tidak pernah di tanam di desa ini yang kebetulan cuaca dan iklimnya cocok, karena tidak jauh berbeda,” tutur Della.

Lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki penduduk setempat juga sangat luas, yakni hingga ke beberapa perbukitan di desa itu.

Layaknya pekerja kantor, saat pagi tiba, penduduk desa pun berangkat ke ladang untuk bekerja dan pulang pada sore menjelang malam.

“Dan tidak jarang ada yang menginap di ladang untuk keperluan tertentu, misalnya menunggu durian jatuh, agar tidak dicuri orang.”

Penduduk Desa Perbesi terkenal sebagai pekerja keras. Selain bertani, sebagian penduduk juga beternak lembu dan kambing.

Saat Della masih kecil, dia sering diajak oleh kedua orang tuanya mengunjungi kandang lembu. Tidak jarang Della membantu keduanya mengangkat rumput sebagai pakan ternak.

“Saya ikut mengambil rumput untuk diberi makan ke lembu-lembunya. Saya sangat bersemangat dan akhirnya dikasih satu untuk diasuh saya. Awalnya sih senang, lama-lama bosan juga, ya namanya juga masih anak anak,” ucapnya.

Bukan hanya Della, sebagian besar anak-anak di desa ini pun diajari beragam pekerjaan oleh orang tua mereka. Tujuannya agar kelak mereka tidak kesulitan bekerja saat sudah dewasa.

Kuliner Khas Bernama Cimpa

Saat berkunjung ke Desa Perbesi, sayang rasanya jika tidak menyicipi Cimpa, kuliner khas desa tersebut.

Biasanya Cimpa disajikan saat warga menggelar kegiatan-kegiatan adat atau kebudayaan, khususnya saat pesta panen. Kuliner berbahan dasar ketan dan gula merah ini rasanya manis.

“ Salah satu makanan khas Karo yang terbuat dari tepung beras ketan dengan isian gula tualah (kelapa dengan gula merah). Yang membuat berbeda dengan lapetnya Toba adalah bungkusnya,” kata Della.

Cimpa dibungkus dengan daun khas yang hanya dapat di daerah Karo, yaitu bulung singkut. Itu yang membuat cita rasa cimpa berbeda dan semakin menonjol. Aromanya pun wangi menggiurkan.

Cerita Desa Perbesi 3Jembatan Sungai Lau Gerbong, yang menjadi salah satu ikon Desa Perbesi, Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. (Foto: Tagar/Dok Pribadi Della Ginting)

Selain Cimpa ada beberapa kuliner khas lain yang disajikan saat pesta panen, seperti lomok-lomok, tasak telu, pagit pagit, dll.

Selain kuliner khas dan adat istiadat yang masih dilestarikan, Desa Perbesi juga memiliki tempat-tempat yang menjadi ikon desa yang cukup instagramable.

Beberapa ikon tersebut di antaranya Jembatan Lau Gerbong, dan Sungai Lau Gerbong yang memiliki air sangat jernih.

“Apasih uniknya itu? Sebenarnya saya tidak tahu uniknya di mana, hanya saja bagus untuk foto foto. Air Sungai Lau Gerbong sangat jernih, tidak jarang anak-anak bermain dan berenang di sungai itu, arusnya tidak terlalu deras, namun bisa menghanyutkan,” lanjut Della.

Sungai Lau Gerbong pernah diusulkan untuk menjadi obyek wisata arung jeram, namun hingga kini belum ada kelanjutannya.

Ikon selanjutnya adalah Bukit Urok Ndaholi. Bukit ini terletak di perbatasan Desa Perbesi dengan Desa Bintang Meriah. Dari puncak bukit ini bisa disaksikan keindahan alam sekitar dari atas. “Juga bisa melihat seluruh Desa Perbesi dari puncaknya.” []

(Della Ginting)

Berita terkait
Serunya KKN Pulang Kampung di Karo Sumatera Utara
Selalu ada cerita yang mengiringi kuliah kerja nyata (KKN), mulai dari cerita seram, cerita menyenangkan, maupun cerita yang lucu.
Cerita Bocah Peracik Pupuk Organik Cair di Bulukumba
Seorang anak remaja berusia 14 tahun di Kabupaten Bulukumba mampu meracik pupuk organik cair hanya berbekal menonton video di YouTube.
Asa Tak Patah Belajar Berlantai Tanah di Kulon Progo
Devi Noviyanti, gadis kecil berusia 10 tahun itu sedang belajar di rumahnya yang berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu.