Jakarta - Rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2012 tentang KPK kembali menjadi perdebatan. Menurut Pengamat hukum dari UIN Yogyakarta Hifdzil Alim, upaya itu bakal melemahkan KPK dalam memberantas korupsi. Dia mempertanyakan urgensi munculnya wacana revisi UU KPK tersebut.
"Dari sudut pandang saya lebih banyak melemahkan dari pada menguatkan KPK," ujar Hifdzil, Sabtu 7 September 2019, seperti dilansir dari Antara.
Salah satu contohnya, kata Hifdzi, kewenangan penyadapan yang menjadi poin usulan DPR merevisi UU KPK. Dalam poin itu, DPR mengusulkan agar penyadapan oleh KPK harus seizin dari dewan pengawas.
Artinya KPK ini posisinya sudah jadi objek pengawasan banyak komponen. kalau kemudian dibentuk dewan pengawas lagi, yang sebetulnya fungsi pengawasan sudah dilakukan, jadi tidak menarik lagi.
Direktur HICON Law & Policy Strategies itu menyebut langkah KPK akan lambat bahkan tersendat menungkap tindak korupsi bila meminta izin terlebih dulu kepada dewan pengawas untuk melakukan penyadapan
"Sekarang disuruh minta izin, itu kan menghambat. Ada persoalan administrasi antara KPK dengan lembaga yang dimintai izin, misalnya pengadilan," ujar dia.
Hifdzil juga mempertanyakan urgensi usulan DPR mengenai adanya dewan pengawas KPK. Saat ini komisi antirasuah itu telah diawasi oleh tiga komponen, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penasihat KPK, dan masyarakat.
"Artinya KPK ini posisinya sudah jadi objek pengawasan banyak komponen. kalau kemudian dibentuk dewan pengawas lagi, yang sebetulnya fungsi pengawasan sudah dilakukan, jadi tidak menarik lagi," kata Hifdzil.
Terkait usulan untuk memberikan kewenangan KPK menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) pada kasus korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun, juga dinilai tidak tepat.
Tidak adanya wewenang untuk menerbitkan SP3 seperti saat ini, membuat KPK bekerja lebih hati-hati dalam menangani kasus korupsi.
Bila kewenangan tersebut diberikan dikhawatirkan kinerja KPK dalam mengungkap kasus rasuah menjadi tidak optimal serta rentan dimanfaatkan oleh sejumlah pihak sebagai alat politik.
"Misalnya KPK dikasih (kewenangan) SP3, KPK bisa saja menetapkan seorang gubernur menjadi tersangka, padahal itu hanya permainan politik saja. Nanti satu tahun kemudian karena tidak cukup bukti, dikeluarkan SP3. KPK jadi alat politik" tutur Hifdzil.
Baca juga: