Jakarta - Hampir sebagian besar kasus mutilasi pelakunya tidak memiliki kelainan jiwa atau normal. Sangat sedikit pelaku mutilasi yang terbukti memiliki masalah kejiwaan. Untuk kasus mutilasi yang potongan potongan tubunya ditemukan di Apartemen Kalibata City, perlu pemeriksaan mendalam apakah pelakunya memiliki kelainan jiwa.
Psikiater dari RS Ciptomangunkusumo, Natalia Widiasih Raharjanti, mengungkapkan hal tersebut dalam wawancara dengan Tagar TV, Senin, 21 September 2020.
Natalia, yang juga Kepala Divisi Psikiatri Forensik dan Ketua Program Studi Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa ini menunjuk latar belakang keluarga dan pola asuh sebagai faktor yang bisa memicu orang melakukan mutilasi. “Itu pentingnya seseorang itu sejak dini diajari sikap empati atau tidak cepat marah, dan mengontrol emosi,” ujar pakar kejiwaan yang kerap diminta menjadi saksi ahli dalam kasus, antara lain, pembunuhan tersebut.
Natalia menegaskan mutilasi merupakan salah satu tindakan yang dilakukan pelakunya untuk melenyapkan barang bukti.
Menurut Natalia, dari studi yang dilakukan antara lain di Korea Selatan, ditemukan fakta sangat sedikit pelaku mutilasi yang ternyata mengidap masalah kejiwaan. Artinya, lebih banyak yang dilakukan orang mereka yang dinyatakan normal.
Sebelumnya polisi telah menangkap Djumadil Al Fajdri dan Laeli Atik Supriyatin karena membunuh dan memutilasi Rinaldi Harley Wismanu. Dibunuh pada 9 September silam di Apartemen Mansion, Pasar Baru, dan kemudian tubuhnya dimutilasi, polisi menemukan korban pembuhan itu di Apartemen Kalibata City sepekan kemudian. Motif pembunuhan itu untuk menguras harta korban.
Natalia menegaskan mutilasi merupakan salah satu tindakan yang dilakukan pelakunya untuk melenyapkan barang bukti. Di luar itu juga ada alasan sebagai tindakan balas dendam atau karena sakit hati. “Tidak mudah melakukan mutilasi, tulang itu keras, juga harus tahu mengenai persendian,” katanya.
Menurut dia, karena kondisi dan desakan untuk melenyapkan korban –misalnya agar tidak ketahuan- maka orang bisa melenyapkan segala ketakutannya untuk melakukan mutilasi. “Ada sejumlah faktor yang membuat orang kemudian melakukan itu,” ujarnya.
Menurut Natalia jika pelakunya terbukti memiliki kelainan jiwa, yang akan dibuktikan juga di pengadilan, maka tindakan selanjutnya adalah merehabilitasi dan mengobati mereka. “Ada sejumlah kasus yang kemudian pelaku pembunuhan tidak dipenjara tapi direhabilitasi,” katanya.[]