Profil Artidjo Alkostar Musuh Para Koruptor

Artidjo Alkostar, anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019-2023. Mantan hakim agung ini dikenal sebagai musuh para koruptor.
Mantan hakim agung, Artidjo Alkostar. (Foto: Tagar/Rizkia Sasi)

Jakarta - Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), salah satu dari lima Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) periode 2019-2023. Pelantikan Dewas KPK oleh Presiden Jokowi, Jumat, 20 Desember 2019.

Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 22 Mei 1948, ini dikenal sebagai musuh para koruptor. Ia telah menangani sejumlah kasus besar seperti, perkara korupsi mantan Presiden Soeharto, dan pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dengan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto.

Tak hanya itu, ia juga hakim yang memperberat atau minimal menolak kasasi sederet koruptor  yang sebelumnya dituntut dari belasan tahun hingga seumur hidup, seperti, Anas Urbainingrum yang dituntut 15 tahun perjara, Angelina Sondakh, 12 tahun kurungan penjara, Akil Mochtar yang harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara, Luthfi Hasan Ishaaq, 18 tahun penjara, Irjen Djoko Susilo  18 tahun, Prawoto selama 6 tahun, Sutan Bhatoegana, Tunggul Parnigotan Sihombing, Iskandar Rasyid, Abdur Rouf, Antonius Bambang Djatmiko, dan lain-lain. Hal tersebut membuatnya menjadi sorotan media dan perbincangan publik. Belakangan setelah Artidjo purnatugas pada 22 Mei 2018 lalu, banyak terpidana korupsi mengajukan Peninjauan Kembali (PK). 

Selama 18 tahun mengabdi sebagai hakim agung, Artidjo telah menangani sekitar 19.700 perkara. Setelah pensiun, ia pernah mengatakan hendak pulang kampung untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya dan mengembangkan rumah makan miliknya.

Hakim 71 tahun ini lahir dari orangtua yang berasal dari Sumenep, Madura. Setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas-nya (SMA) di Asem Bagus, Situbondo, ia kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum (FH) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Setelah lulus pada tahun 1976, ia mengabdi di UII sebagai  pengajar di Fakultas Hukum dan Pascasarjana. Ia mengajar mata kuliah Hukum Acara Pidana, Etika Profesi, dan HAM.

Demi memperdalam ilmu hukumnya, Artidjo melanjutkan pendidikan (S2) Master of Laws (LLM) di Northwestern Pritzker School of Law, Chicago, Illinois (2002), dan program doktor (S3) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah (2007).

Di samping itu, suami dari Sri Widyaningsih ini juga pernah mengikuti pelatihan lawyer mengenai HAM di Columbia University, New York, selama enam bulan.

Pada tahun 1981-1983, ia menjabat sebagai wakil direktur di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kemudian, pada tahun 1983-1989 ia menjabat sebagai direktur di LBH Yogyakarta.

Hakim yang pernah menolak PK Ahok ini juga pernah bekerja sebagai pengacara di Human Right Watch divisi Asia di New York selama 2 tahun, dari tahun 1989-1991.

Sebelum menjabat sebagai hakim agung MA, ia pernah mendirikan kantor pengacara miliknya sendiri yang diberi nama Artidjo and Assosiation. Namun, sekitar tahun 2000, kantor tersebut ia tutup karena ditunjuk sebagai hakim agung.

Pria yang tidak pernah mengambil cuti kerja ini pernah menjabat sebagai ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia pada 2014-2016

Selain sebagai hakim, pria yang hampir dibunuh oleh oknum berpakaian ninja ketika menangani kasus Santa Cruz di Dili, Timor Leste, ini juga adalah pengarang dari buku berjudul Pembangunan Hukum Perspektif Politik Hukum Nasional (1986), dan buku Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi (2010).

Dilansir dari wawancara Artidjo bersama Najwa Shihab melalui channel youtube Najwa Shihab yang diunggah pada 5 Juni 2018 silam, Artidjo mengungkapkan, dalam mengadili seseorang, negara harus memastikan tidak melanggar HAM.

“Negara harus memastikan seseorang kalau diadili tidak melanggar HAM. Hukum harus ditegakan kepada siapa saja,” ujar Artidjo kepada Najwa.

Selain itu, Artidjo mengaku tidak pernah takut (ancaman) ketika mengambil putusan saat menangani berbagai macam kasus. Menurutnya, latar belakangnya sebagai orang Madura telah membantu dirinya menjadi sosok yang taguh dan berani.

Dalam video berdurasi 13 menit itu, Artidjo juga mengaku kalau dirinya gemar membaca novel dan puisi seperti novel karangan John Grisham. Hal ini dilakukan untuk mempertajam rasa keadilan dan mengasah kepekaan batinnya sebagai seorang hakim. []

Berita terkait
Terima Tawaran Dewas KPK, Ini Misi Syamsuddin Haris
Peneliti LIPI Syamsuddin Haris mengungkapkan misinya setelah menerima tawaran Presiden Jokowi sebagai Dewas KPK.
ICW Tegaskan Tolak Dewas KPK Pilihan Jokowi
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donald Fariz, menolak keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK pilihan Presiden Jokowi.
Lima Kandidat Dewas KPK yang Ditunjuk Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kriteria 5 (lima) kandidat Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)