PPP, TKN dan PBNU Tanggapi Puisi Kontroversial Neno Warisman

Puisi kontroversial Neno Warisman yang memaksa Tuhan memenangkan Prabowo mendapat tanggapan dari PPP, TKN dan PBNU.
Neno Warisman. (Foto: Instagram/Neno Warisman Official)

Yogyakarta, (Tagar 23/2/2019) - Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy berharap Neno Warisman bertobat setelah membacakan puisi kontroversial pada malam Munajat 212 di Monas, Jakarta Pusat, Kamis malam (21/2).

"Saya berharap Mbak Neno bertobat karena merasa diri yang paling benar dan beragamalah dengan sejuk," kata Rommy, seusai acara Halaqah Ulama dengan tema "Merawat Ukhuwah Islamiyah, melawan Hoaks dan Fitnah" di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (23/2) dilansir kantor berita Antara.

Rommy menilai puisi yang dibacakan Neno pada Munajat 212 mencerminkan sikap intoleran dan hiperbolisme dalam beragama. Puisi itu juga dinilai berpotensi mengadu domba masyarakat serta menyulut kebencian.

"Karena seolah-olah kemudian dia merasa yang paling benar dan inilah sebenarnya sebuah paham intoleran yang hari ini semakin berkembang dan tersematkan kepada kelompok pendukung (capres-cawapres) 02," kata dia.

PPP dalam kontestasi Pemilu 2019 ada di koalisi pendukung petahana, Jokowi, yang berpasangan dengan ulama senior, KH Ma'ruf Amin, dan mereka berdua mendapat nomor 01. Pada sisi lain, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga maju dan mendapat nomor 02.

Rommy mengatakan, sesuai dengan isi puisi itu, menggambarkan bahwa apabila calon presiden-wakil presiden nomor urut 02 kalah pada Pemilu 2019 maka tidak ada yang menyembah Allah SWT.

"Umat Islam mayoritas itu kan ada di pasangan capres-cawapres 01, jadi kalau dia mengatakan tidak ada yang menyembah memangnya yang di 01 itu kafir semua?" kata politisi muda usia itu.

Menurut dia, melalui puisi itu Neno seolah telah mendahului ketentuan Tuhan dengan menghakimi keagamaan seseorang dengan menyiratkan seolah-olah pada pihak pasangan calon presiden-wakil presiden 01 tidak ada yang beragama. Padahal keagamaan seseorang, lanjut Rommy, baru akan dinilai Tuhan pada saat kiamat tiba.

"Saya hanya mengingatkan kepada Mbak Neno Warisman janganlah beragama dengan cara yang demikian karena beragama dengan cara yang demikian menunjukkan awal dari kesesatan. Awal dari kesesatan itu adalah manakala dirinya merasa yang paling benar," ujar dia.

Puisi Neno yang kontroversial pada penggalan berikut: "Namun, kami mohon jangan serahkan kami kepada mereka yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak, cucu kami dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika engkau tidak menangkan kami, (kami) khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu."

"Jadi jangan diputarhaluankan umat ini dengan penyesatan-penyesatan yang tidak perlu. Mari kita meluruskan pemilih kita dengan persepsi politik yang benar yang berbasiskan kepada fakta," kata Rommy.

TKN: Neno Terjerat Fanatisme Politik

Sementara itu, Wakil Ketua TKN Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan Neno Warisman bukan seseorang yang fanatik beragama, namun terjebak dan fanatisme politik yang menjadikan agama sebagai kedok.

"Bagi saya Neno sedang terjerat dalam fanatisme politik. Ucapannya bukan saja mendiskreditkan kelompok yang berlainan politik dengannya tapi bahkan juga berani mendikte dan mengancam Tuhan," katanya dalam siaran pers diterima di Jakarta, Sabtu.

Hal ini dikatakan Abdul Kadir Karding, mengomentari puisi doa artis Neno Warisman dalam acara Munajat 212 di Monas pada Kamis (21/2) malam.

Puisi yang diucapkan Neno menjadi viral di media sosial. Puisi yang kontroversial pada penggalan berikut: "Namun, kami mohon jangan serahkan kami kepada mereka yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak, cucu kami dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika engkau tidak menangkan kami, (kami) khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu."

Menurut Abdul Kadir Karding, pernyataan itu tidak pantas disebut sebagai doa, melainkan hanya orasi politik yang bersifat pragmatis berkedok agama.

Pilihan diksi dalam ucapannya tampak sekali dibuat untuk menggiring opini publik. Seolah-olah hanya merekalah kelompok yang menyembah Allah. Sedangkan kelompok lain yang berseberangan bukan penyembah Allah, ucapnya.

"Pertanyaan saya dari mana Neno bisa mengambil kesimpulan itu? Apa ukurannya sampai ia bisa mengatakan jika pihaknya kalah maka tak akan ada lagi yang meyembah Allah?" katanya.

Ia menilai Neno adalah contoh paling gamblang bagaimana agama dijadikan kedok untuk tujuan politik.

"Ia menafikan kenyataan bahwa Pak Jokowi-Ma'ruf didukung oleh begitu banyak kiai, santri pondok pesantren, umat Islam yang juga menjalankan shalat, zakat, haji, dan berbagai kelompok lintas agama. Apa Neno merasa cuma dia dan kelompoknya yang menjalankan ibadah?" tuturnya.

Ia mengatakan dirinya memahami seorang umat beragama tidak bisa melepaskan ketentuan-ketentuan yang telah diatur Tuhan dalam menjalankan aktivitasnya, termasuk saat berpolitik.

Tapi menjadikan nama Tuhan untuk tujuan politik seraya menggiring opini seolah lawan politiknya tidak menyembah Tuhan jelas merupakan hal mengggelikan, ujarnya.

"Kalau ada yang menganggap Neno terlalu fanatik agama bagi saya itu keliru. Karena orang yang fanatik agama berarti ia mengerti betul tentang nilai-nilai esensial yang diajarkan agama, seperti menghargai, menghormati, dan menjaga perasaan sesama manusia. Bukan mengklaim seolah kelompoknya yang paling benar dan yang lain salah," tegasnya.

PBNU: Pilpres Bukan Perang 

Sedangkan Ketua PBNU Robikin Emas mengingatkan Wakil Ketua Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Neno Warisman untuk tidak mengandaikan pemilihan presiden sebagai perang.

"Pengandaikan pilpres sebagai perang adalah kekeliruan. Pilpres hanya kontestasi lima tahunan," kata Robikin melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu.

Robikin menanggapi puisi Munajat 212 yang dibacakan Neno pada malam Munajat 212 yang digelar di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/2).

Puisi Neno yang kontroversial pada penggalan berikut: "Namun, kami mohon jangan serahkan kami kepada mereka yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak, cucu kami dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika engkau tidak menangkan kami, (kami) khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu."

Menurut Robikin, sengaja atau tidak sengaja Neno mencoba membawa orang pada peristiwa Perang Badar pada awal sejarah Islam. Saat itu pasukan muslim yang berjumlah 319 orang berhadapan dengan musuh yang berusaha mengenyahkan kaum muslimin yang berjumlah tiga kali lipat. Nabi Muhammad SAW pun berdoa memohon pertolongan Allah agar memenangkan kaum muslimin.

Robikin mengatakan, capres-cawapres peserta Pilpres 2019, Jokowi-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga, seluruhnya beragama Islam.

"Lalu atas dasar apa kekhawatiran Tuhan tidak ada yang menyembah kalau capres-cawapres yang didukung kalah? Apa selain capres-cawapres yang didukung bukan menyembah Tuhan, Allah SWT?" kata Robikin.

Tak usah berusaha mengukur kadar keimanan orang. Apalagi masih terbiasa ukur baju orang lain dengan yang dikenakan sendiri, tambah Robikin.

Menurut Robikin, berdoa merupakan bagian dari cara membangun hubungan baik dengan Allah SWT. Islam memberi panduan tata cara berdoa, yang antara lain dengan adab yang baik, dengan penuh sopan santun serta tidak memanipulasi fakta.

"Ingat, Tuhan yang kita sembah adalah Allah SWT, bukan pilpres, bahkan bukan agama itu sendiri," kata lulusan Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang, Jawa Timur itu.

Dikatakannya, pilpres merupakan proses demokrasi biasa. Tentu akan ada yang dinyatakan terpilih dan tidak terpilih.

"Karena itulah, konstitusi maupun regulasi lain tidak menggunakan istilah menang dan kalah," kata Robikin. []

Baca juga:

Berita terkait