Untuk Indonesia

Neno si Makhluk Lebay Dholallah

Neno Warisman bikin orang geregetan. Kali ini dia membawakan puisi berisi doa pada acara Munajat Cinta 212.
Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Oleh: Eko Kuntadhi*

Neno Warisman bikin orang geregetan. Kali ini dia membawakan puisi berisi doa pada acara Munajat Cinta 212. Sudah jadi rahasia umum, semua yang dilabeli 212 sekarang hanya bungkus agama untuk kampanye Prabowo-Sandi.

Jadi mau namanya Munajat Cinta, kek. Reuni, kek. Atau Doa Bersama, selama ada embel-embel 212 di belakangnya, artinya itu kampanye politik. Diarahkan sebagai dukungan pada Prabowo.

Nah, di acara yang dihadiri Titiek Soeharto dan Zulkifli Hasan itu, Neno berdoa, sambil menunjukkan kemampuan aktingnya. Ada nangis-nangisnya segala.

"... Ya, Allah, jika Engkau tidak memenangkan kami. Kami khawatir tidak ada lagi yang menyembah-Mu," ujar Neno dengan tangisan pura-pura.

Teman saya yang mentonton video pendek Neno, langsung terserang diare.

Neno memang sales politik berbungkus agama paling lebay yang pernah ada di Indonesia. Cara berjualannya gak tanggung-tanggung dan urat malunya putus.

Pada suatu saat, dia menuduh Jokowi sebagai Presiden yang melegalkan LGBT. Lalu dia mengajak pendengarnya untuk meneriakkan 'Ganti Presiden'. Maksudnya menggantikan Jokowi dengan Prabowo. Padahal, Upin-Ipin juga tahu, putra Prabowolah yang paling pantas menyandang sebutan LGBT.

Di saat lain, ia meminta-minta sumbangan buat biaya Prabowo-Sandi kampanye. Ngomongnya entang. Dia minta sumbangan Rp 5 juta per orang. Imbalannya surga. Seperti surga itu punya nenek moyangnya.

"Yang punya mobil, jual mobilnya. Serahkan uangnya ke sini. Untuk perjuangan," ujarnya berapi-api.

Dan Neno, sampai sekarang tidak juga menjual mobilnya. Seruan itu buat orang lain. Dia sendiri hanya menyumbangkan ocehan doang. Itulah sales sejati. Dia cuma modal bacot, orang yang disuruh menjual mobil mereka.

Doa Neno di acara 212, kedengarannya memang bikin mual. "...kalau kami kalah, maka kami khawatir tidak ada orang yang akan menyembahmu lagi?"

Lha, emangnya kalau kalah Pemilu kenapa? Emangnya yang menyembah Allah hanya Neno dan gerombolannya doang? Emangnya selain makhluk yang malam itu dikerahkan ke Monas, gak ada yang menyembah Tuhan?

Sebuah doa yang justru bukan menunjukkan kerendaham diri, tapi kesombongan yang luar biasa. Merasa diri paling beriman, paling dekat dengan Tuhan. Orang lain gak ada yang beriman sama sekali.

Neno berdoa. Seolah paling khusyuk sendiri dalam menyembah Allah. Di balik itu dia menuding lawan politiknya tidak menyembah Allah. Atau menghalangi orang untuk ibadah. Dia menyamakan semua lawan politiknya sebagai kafir.

Itulah isi kepala Neno. Isi kepala yang mirip ISIS atau Alqaedah. Menyangka siapa saja yang berbeda  pilihan politik sama dengan musuhnya. Sama dengan kafir. Cuma bedanya, Neno hadir dengan ocehan doang. Sedangkan asumsi yang sama oleh ISIS dan Alqaedah diterjemahkan dengan tindakan membunuh orang.

Padahal Pilpres ini cuma peristiwa lima tahunan. Pemilu adalah tradisi biasa dalam demokrasi. Tahun ini kita bertemu Pemilu, lima tahun lagi juga bertemu peristiwa yang sama. Gak usah lebay.

Justru semakin rakyat terbiasa menyikapi Pilpres, akan semakin teruji juga kedewasaan bangsa ini. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia membutuhkan rakyat seperti Aukarin. Dia mungkin santai saja menyikapi persoalan Pilpres dan Pemilu. Sobat misqueen-nya saja yang suka agak ribet.

Berbeda dengan Neno Warisman. Sales agama jenis ini memandang persoalan Pilpres seperti masalah hidup dan mati. Sebagai peristiwa keimanan. Makanya, dia ngajak-ngajak Tuhan dalam kampanye. Seolah Tuhan adalah relawan pasangan Capres.

Mestinya pergantian kekuasaan di negeri demokratis ini berjalan seperti orang ganti baju. Rutin dan biasa saja. Tapi Neno mengangkat peristiwa yang biasa itu ke tingkat lebay dolallah. Doanya malam itu menunjukkan cara berpikirnya.

Kita bersyukur untung orang-orang lebay kayak Neno gak banyak di Indonesia. Paling hanya satu dua saja. Makhluk lebay lainnya, rata-rata sudah masuk tahanan. Ada Ahmad Dhani. Ada Ratna Sarumpaet.

Sementara sebagian besar rakyat Indonesia adalah makhluk yang gayeng. Hidupnya santai dan gembira. Mereka gak perlu sesegukan nangis di panggung kampanye seperti Neno, sambil menyeret nama Tuhan dalam kampanye.

Yang mereka cukup menyanyikan lagu dangdut, yang pernah dipopulerkan almarhumah Julia Peres. Dengan suasana ceria.

"Jokowi wae, mang. Jokowi, wae... Jokowi, wae. Jokowi, wae, Jokowi, wae...."

Itulah sebuah kegembiraan demokrasi.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait