Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah harus tetap mengawasi masalah deindustrialisasi di Indonesia. Hal ini menyusul polemik terkait Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai polemik belakangan ini.
"Terlepas dari substansi perdebatan masalah ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker, satu yang tidak boleh luput dari pengawasan pemerintah terkait masalah deindustrialisasi dini yang tengah dialami ekonomi Indonesia," kata Yusuf saat dihubungi Tagar, Senin, 12 Oktober 2020.
Seharusnya penambahan investasi diikuti dengan penambahan serapan tenaga kerja dan karena serapan tenaga kerja bertambah.
Baca juga: Prabowo: Cipta Kerja Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi, Benarkah?
Nantinya, kata Yusuf, investasi perlu didorong untuk mencegah hal tersebut agar tidak berkelanjutan di kemudian hari. "Sebagai upaya mendorong pemanfaatan bonus demografi dan upaya menapak langkah keluar dari status negara berpendapatan menengah.
Terkait investasi, Yusuf mengatakan, UU Cipta Kerja yang dinilai bisa memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan konsumsi harus diikuti dengan penyerapan tenaga kerja.
"Dalam tataran teoritis, seharusnya penambahan investasi diikuti dengan penambahan serapan tenaga kerja dan karena serapan tenaga kerja bertambah maka ini akan diikuti dengan potensi peningkatan konsumsi," ujarnya.
Sebab, menurut Yusuf, sebenarnya penurunan konsumsi tidak serta merta akan terjadi. Terlebih jika pemerintah berhasil mempertahankan komponen yang mempengaruhi konsumsi seperti inflasi di tahap yang manageable.
"Menurut saya konsumsi di tahap ini tidak akan turun secara drastis artinya pertumbuhan konsumsi mungkin akan tetap berada di kisaran 5 persen (perhitungan di luat pertumbuhan pada masa pandemi seperti sekarang)," tutur Yusuf.
Baca juga: Ruhut Sitompul Ungkap Sebab Jokowi Ngotot Omnibus Law Cipta Kerja
Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa adanya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja mampu membuat Indonesia lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Ini lantaran undang-undang tersebut memberikan regulasi yang sederhana dan efisien.
"Menjadi negara yang efisien, memiliki regulasi yang simple, dan memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk bisa berusaha secara mudah," kata Sri Mulyani dalam Ekspo Profesi Keuangan secara virtual di Jakarta, Senin, 12 Oktober 2020. []