Piring Kotor Omnibus Law, Bukti DPR Tidak Lagi Sakral

Omnibus Law UU Cipta Kerja digarap secara tergesa-gesa. DPR tidak memandang hukum secara sakral. Undang-undang dibuat seolah bisa dipermainkan.
Salah satu episode Mata Najwa. (Foto: Tagar/Narasi TV/Trans7)

Jakarta – Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Aifin Mochtar menilai pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja digarap secara tergesa-gesa. Hal itu mengindikasikan sikap DPR yang tidak memandang hukum secara sakral. Katanya, undang-undang dibuat seolah bisa dipermainkan. 

Ini dibiarkan kotor di awal. Lalu DPR dan pemerintah berkoar-koar silakan rakyat ke MK untuk mencucinya.

"Saya melihat kesan DPR memperlakukan undang-undang sangat tidak sakral. Karena, seakan masih bisa dipermainkan, masih bisa diubah. Menurut saya, UU itu sangat sakral. Anda bisa bayangkan, dengan sebuah UU, orang bisa dibunuh atau dirampas hak asasi-nya dan itu sah," jelas Zainal saat menjadi pembicara di acara Mata Najwa, Rabu, 14 Oktober 2020.

Zainal menambahkan, sumpah para anggota dewan untuk meyakinkan publik bahwa tidak ada perubahan draf di dalam Omnibus Law, dicap sebagai sesuatu yang tidak wajar.

"Kesannya, DPR melakukan mistifikasi, tehadap proses-proses yang seharusnya tidak mistifikatif. Misalnya begini, untuk meyakinkan publik ini tidak dirubah, yang dilakukan DPR adalah bersumpah," katanya.

Padahal, menurut Zainal, DPR justru tidak melakukan tugas dan kewajiban kepada publik secara utuh. Katanya, ada prosedur yang dilewati dari tahapan lahirnya sebuah undang-undang.

"Esensi dasarnya kan harus ada transparansi, akuntabel dan partisipasi publik. Namun, ini tidak dipenuhi. Padahal, itu sebenarnya jalan untuk membuat orang percaya bahwa tidak ada perubahan naskah dari 905 ke 812 halaman. Bukan dengan sumpah, bukan dengan kata-kata," tuturnya.

Zainal juga menyorot, solusi yang ditawarkan pemerintah dan DPR agar pihak-pihak yang tidak menyetujui UU Cipta Kerja mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sikap yang tidak bertanggungjawab.

"Saya umpamakan mencuci piring, yang tadi harusnya bersih untuk disajikan ke rakyat Indonesia, tapi ini dibiarkan kotor di awal. Lalu DPR dan pemerintah berkoar-koar silakan rakyat ke MK untuk mencucinya. Jadi, ini seolah DPR dan Pemerintah keluar dari tanggungjawab untuk membuat sebuah UU yang bersih dan baik," tegasnya.

Poin keempat, sambung Zainal, kecurigaan publik bahwa lahirnya Omnibus Law telah disponsori atau pesanan pihak tertentu menjadi sesuatu yang wajar. 

"Betapa joroknya proses itu. Jika kemudian publik menaruh curiga, ada apa-apanya, atau ada pesanan di belakangnya, ada sesuatu. Ini membuat DPR merubahnya secara tergesa-gesa, tidak transparan dan sebagainya," tutup Zainal.

Kepada Najwa Shihab pada kesempatan sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Baidowi menjelaskan pembentukan UU Cipta Kerja sudah sesuai prosedur dan tidak melanggar tata tertib.

"Dalam rapat pengambilan keputusan sebuah RUU, tidak ada yang ceritanya dibacakan. Materi rapatnya kan disetujui di rapat kerja Panja. Yang dibaca dim per dim, ayat per ayat itu di tingkat panja atau pansus. Lalu, Panja melaporkan ke rapat pleno," jelasnya.

Anggota Fraksi PPP itu juga menjelaskan ketentuan di dalam tata-tertib DPR. Katanya, draf yang wajib dibagikan itu hanyalah pidato Ketua DPR saat membuka atau menutup sidang. 

"Ini termaktub dalam Pasal 253 ayat 5. Begitu juga draf jika berupa bahan-bahan rapat kerja dengan mitra atau pakar," sebutnya.

"Adapun naskah yang ada dalam rapat paripurna, termasuk apa yang kita dengarkan di Bamus, itu hanya berupa catatan-catatan yang diberikan oleh 3 fraksi. Saya sebutkan misalnya Fraksi PPP memberi catatan. Kalau ada hal penyempurnaan, maka rujukan harus sesuai keputusan Panja,” pungkasnya.[]

Berita terkait
Heboh Soal Jumlah Halaman UU Cipta Kerja, 905 atau 1.035?
Sejumlah politisi dan praktisi hukum mulai menyorot berubahnya total halaman draf UU Cipta Kerja yang disahkan DPR Senin 5 Oktober 2020 lalu.
DPR Serahkan Draf UU Cipta Kerja ke Kemensetneg
DPR telah resmi menyerahkan draf final Undang-Undang Cipta Kerja ke Kementerian Sekretariat Negara.
Perlukah Najwa Shihab Diboikot? Ini Kata Pro Jokowi Sumbar
Melaporkan Mata Najwa ke polisi bukanlah cara yang etis dalam mengkritik media. Lantas, perlukah acara yang dipandu Najwa Shihab itu diboikot?