Jakarta – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan bahwa kronologi yang dibeberkan oleh jaksa dalam kasus Djoko Jtandra tidak 100 persen sama dengan fakta yang ada dilapangan.
Karena menurutnya, rekonstruksi yang dijelaskan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan alat-alat bukti dan juga saksi yang datang dalam persidangan pada Senin, 2 November 2020 lalu.
Jadi ya hampir sama dengan versi saya, tapi waktu pertama kali saya melapor, saya tidak mengatakan bahwa Napoleon menerima uang, saya hanya menduga penyalahagunaan wewenang. Seperti surat jalan untuk Djoko Tjandra kan bukan wewenang Napoleon juga,
“Jadi seperti dalam dakwaan JPU menyebut Napoleon meminta uang lebih dari 3 miliar dan menjadi 7 miliar, yang akhirnya terjadi saling lempar antara Bareskrim dan Kejaksaan Agung. Bareskrim ngomong itu tidak ada di BAP, lalu jaksa ngomong itu berdasarkan BAP,” ucapnya kepada Tagar Tv, Rabu, November 2020.
Ia menduga aksi saling lempar ini terjadi akibat saksi-saksi yang didatangkan dalam sidang tersebut. Kata Boyamin rekonstruksi tersebut hanya berbeda tipis, dengan renkonstruksi versinya ketika Boyamin pertama kali melaporkan masalah ini.
“Jadi ya hampir sama dengan versi saya, tapi waktu pertama kali saya melapor, saya tidak mengatakan bahwa Napoleon menerima uang, saya hanya menduga penyalahagunaan wewenang. Seperti surat jalan untuk Djoko Tjandra kan bukan wewenang Napoleon juga,” katanya.
Boyamin juga menduga bahwa jumlah 7 miliar yang muncul di dakwaan hanya intermezzo dan silat lidah dalam dunia hukum. "Jadi itu biasa dalam dunia hukum, bahkan ketika di lawyer pun ketika saya tahu kalau klien saya punya banyak dan kasus rumit, saya akan minta tambahan uang untuk menyelesaikan masalahnya," ucapnya.
Diketahui, kedua jenderal yang didakwa jaksa dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena diduga menerima suap dari terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra.
Mereka adalah Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo. Mereka diduga menerima suap dalam bentuk dolar Singapura dan dolar Amerika, yang jika dikonversi ke rupiah, Napoelon mendapatkan sekitar Rp 6,1 miliar, dan Prasetijo mendapatkan sekitar Rp 2,2 miliar, sehingga totalnya mencapai sekitar Rp 8,3 miliar.
Suap itu bertujuan agar Napoleon dan Prasetijo menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang. Djoko Tjandra sendiri adalah terpidana kasus korupsi Bank Bali, yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun, dan denda Rp 15 juta subsider 3 bulan. []
Baca juga: