Yogyakarta - Penguasaan tanah merupakan bagian yang esensial dalam keseluruhan sistem agraria, karena menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama, yaitu penguasaan dan kepemilikan serta penggunaan dan pemanfaatan.
Menurut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, kedua aspek itu jelas berbeda, karena aspek yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum dengan tanah. Sedangkan aspek kedua membicarakan bagaimana tanah dan sumberdaya agraria lain digunakan dan dimanfaatkan.
"Oleh sebab itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah, yang antara lain juga diatur dalam Hukum Adat," kata Sri Sultan HB X dalam sambutannya penyerahan sertifikat tanah Kasultanan dan Kadipaten di Kepatihan Yogyakarta, Senin, 30 November 2020.
Baca Juga:
Pada kesempatan ini, Penghageng Kundha DIY melaporkan dan menyerahkan 1.159 sertifikat, baik yang berstatus Sultan Ground maupun Pakualaman Ground, Serat Kekancingan sebagai tanda Hak Guna Tanah tersebut. "Pemberian hak tersebut juga merupakan realisasi Tanah untuk Rakyat sebagai pengejawantahan pesan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat," kata Sri Sultan HB X.
Raja Yogyakarta ini mengungkapkan agar penyerahan sertifikat tanah ini diresapi maknanya dan didayagunakan potensi penggunaannya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pemanfaatnya. "Bukan berhenti hanya sekadar guna mempercepat realisasi konsolidasi tanah di DIY saja," ungkap Ngarsa Dalem, sapaan lain Sri Sultan HB X.
Pemberian hak tersebut juga merupakan realisasi Tanah untuk Rakyat sebagai pengejawantahan pesan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat.
Sultan HB X menjelaskan, tanah selain memiliki fungsi ekonomi untuk investasi, juga mengandung nilai-nilai yang dapat memberikan justifikasi sosial. Maka, perlu dilakukan pengaturan oleh negara dengan sistem administrasi yang terpercaya tentang kepemilikan dan pemanfaatannya.
Prasyarat terpenting, pemerintah sebagai regulator, dan masyarakat sebagai pengguna, harus jauh dari watak curang dan tidak kompeten. "Karena tanah merupakan sumber kehidupan, maka harus dipelihara dengan sistem hukum yang ketat, jujur dan terbuka bagi kepentingan rakyat banyak," ungkapnya.
Baca Juga:
Sri Sultan HB X mengungkapkan, konsolidasi tanah digulirkan melalui Peraturan Kepala BPN Nomor 4 tahun 1991. Konsolidasi tanah ini merupakan manifestasi dan penerapan Pasal 6 UUPA tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah sesuai prinsip gotong-royong. Tujuannya untuk optimalisasi, efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah sehingga terwujud tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.
Selanjutnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN menyerahkan Petunjuk Teknis dan Sertifikasi Tanah Kasultanan dan Kadipaten, yang dikenal dengan SG dan PAG, pada 15 November 2019. Kemudian pada 10 September 2020, disusul Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk mendukung pendirian Desa Mandiri Budaya melalui Reforma Agraria.
Dalam kaitan itu, berlandaskan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana DIY telah melakukan penatausahaan atas Sultan Ground dan Pakualaman Ground, serta Tanah Desa mulai dari inventarisasi, identifikasi, verifikasi dan pemetaan sampai dengan pendaftaran. []