Jakarta – Penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dari 23 September ke 9 Desember 2020 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suksesnya pelaksanaan perhelatan pemilihan kepala daerah tersebut.
Penjelasan itu disampaikan oleh anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitra Salamm saat menyampaikan pengantar pada Webinar Nasional Kerjasama DKPP RI dengan Universitas Diponegoro dengan tema “Pilkada Tahun 2020 di Tengah Pandemi Covid-19 : Pelajaran Integritas dan Proyeksi Perbaikan ke Depan”, Selasa, 29 Desember 2020.
Penundaan ini menurut saya ada hikmah yang luar biasa, persiapan menjadi semakin matang.
Kata Alfitra, penundaan pilkada dari 23 September ke 9 Desember 2020 justru membawa hikmah. Waktu sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara menjadi lebih panjang, persiapannya juga semakin matang, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan protokol kesehatan.
“Penundaan ini menurut saya ada hikmah yang luar biasa, persiapan menjadi semakin matang. Semua pihak terutama Komisi II, KPU, Bawaslu, dan termasuk juga stakeholder yang berkaitan dengan protokol kesehatan sudah sangat siap dalam konteks penyelenggaraan pilkada persiapannya sudah matang melaksanakan,” kata Alfitra, seperti dilansir laman resmi DKPP.
Kedua, dari segi etik, pilkada 9 Desember 2020 terjadi penurunan pelanggaran dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Menurut dia, penurunan ini disebabkan oleh adanya kaderisasi yang baik di penyelenggara tingkat permanen yakni provinsi dan kabupaten.
“Penyelenggara di tingkat provinsi sebelumnya pernah menjadi penyelenggara di tingkat kabupaten sehingga sebagai penyelenggara lama, mereka tidak mungkin mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu. Jadi kaderisasi sudah berjalan dengan bagus. Saya kira mungkin ke depan persyaratan-persyaratan untuk menjadi penyelenggara adalah pernah bekerja sebagai penyelenggara,” lanjutnya.
Namun demikian kaderisasi ini justru berbanding terbalik dengan penyelenggara di tingkat ad hoc. “Kaderisasi di tingkat ad hoc kurang baik. Ada penyelenggara karbitan, ada penyelenggara yang asal comot, sehingga pelanggaran etik lebih banyak pada level ad-hoc,” ungkapnya.
Ketiga, berkaitan dengan laporan yang banyak berasal dari peserta pemilu. Alfitra melihat ada indikasi peserta pemilu baik parpol atau paslon menjadi pihak yang melapor ke DKPP. Dia berpendapat hal ini berkaitan dengan harga diri peserta pemilu. Laporan mereka ke DKPP menjadi ‘publish” bagi mereka bahwa ada suatu kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara, ada suatu tuntutan keadilan yang dilakukan kepada penyelenggara.
“Setelah kalah, harga diri mereka itu dilemparkan ke DKPP. Ini poin bagi bupati atau walikota perorangan yang gagal, karena masyarakat tahu mereka sudah melaporkan ke DKPP. Artinya ada kecurangan. Kecurangan itu dilemparkan ke DKPP, seolah-olah mereka kalah karena kecurangan. Ini menyangkut harga diri,” ucapnya.
Alfitra juga menegaskan pentingnya kaderisasi pada pilkada selanjutnya, untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Bahkan Alfitra merekomendasikan perlunya ‘sertifikasi etik’ sebagai salah satu syarat untuk menjadi penyelenggara .
Rekomendasi lain adalah memasukkan landasan hukum bencana nonalam dalam undang-undang pemilu, mengingat belum ada kepastian pandemi Covid-19 akan berakhir. . Alfitra merekomendasikan dimasukkannya satu bab terkait penyelenggaraan pemilu atau pilkada dalam era bencana nonalam.
Landasan hukum ini menurutnya penting untuk perbaikan dasar hukum terkait protokol kesehatan, yang selama ini hanya berdasarkan Keppres, surat edaran, dan Inpres
Dalam webinar terakhir pada tahun 2020 tersebut, Alfitra juga memberikan apresiasi kepada Komisi II DPR RI, KPU, Bawaslu, dan stakeholder pemilu atas kerjasama yang baik sehingga Pilkada serentak 2020 dapat terselenggara. []