Untuk Indonesia

Penguatan Eksistensi dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dari Perspektif Kebijakan Negara Bidang Pertanahan

Masyarakat Hukum Adat dan eksistensinya selalu menjadi topik yang menarik dan sering menimbulkan perdebatan.
Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL

Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL*


Pendahuluan

Masyarakat Hukum Adat dan eksistensinya selalu menjadi topik yang menarik dan sering menimbulkan perdebatan, terutama sekali apabila Masyarakat Hukum Adat bersama dengan hak-haknya dihadapkan dengan kepentingan Negara atau Pemerintah

Secara umum dipersepsikan bahwa Masyarakat Hukum Adat tersingkir ketika Pemerintah/Negara dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan alasan kepentingan nasional.

Konsep Masyarakat Hukum Adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar membahas secara lebih mendalam tentang Masyarakat Hukum Adat. Ter Haar memberikan istilah kepada Masyarakat Hukum Adat dengan masyarakat hukum (rechtsgemeenschappen), yaitu kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

Para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Selain memiliki kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai pemimpin dan kekayaan baik yang berwujud maupun tidak berwujud, ternyata juga mereka memiliki sistem hukum yang menjadi aturan hukum bagi mereka yang sangat diyakini dan dilaksanakan sepenuh hati.

Istilah Masyarakat Hukum Adat merupakan yang paling banyak digunakan sebagai bentuk kategori pengelompokan masyarakat yang disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen). Istilah Masyarakat Hukum Adat semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat, dan digunakan sebagai istilah yang resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang- undangan.

Istilah lainnya yang juga sering digunakan adalah Masyarakat Adat yang tentu saja tidak dapat disamakan dengan istilah Masyarakat Hukum Adat. Istilah Masyarakat Adat merupakan padanan dari istilah indigenuos peoples. Istilah Istilah ini sudah dikenal luas dan disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional.

Istilah Masyarakat Adat, mulai dikenal secara luas di seluruh dunia, setelah International Labour Organization (ILO), mendeklarasikan Convention Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvention ILO 169) pada tanggal 27 Juni 1989.

Istilah indigeneous Peoples yang digunakan dalam Konvention ILO 169 juga diadopsi oleh World Bank (Bank Dunia), dalam pelaksanaan proyek pendanaan pembangunan di sejumlah negara, terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin , Afrika, dan Asia Pasifik,

Bank Dunia mendefinisikan terminologi indigenous peoples sebagai “social groups with a social and cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantaged in the development process” yaitu kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan.

Di kalangan ahli antropologi, Masyarakat Adat disebut first peoples, di Amerika Serikat dan Kanada disebut first nation, di Philipina disebut indigenous cultural communities, di Malaysia masyarakat adat disebut bangsa asal dan orang asli. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggunakan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam the United Nations Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples (UNDRIP).

Istilah lainnya adalah Masyarakat lokal yang diartikan sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan Masyarakat Hukum Adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum Negara, sedangkan Masyarakat Hukum Adat mengacu pada Hukum Adat masyarakat yang bersangkutan dan bukan hukum negara. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat setempat, sebagaimana halnya penduduk asli (indigenous peoples).

Pengertian Masyarakat Adat harus dibedakan dengan Masyarakat Hukum Adat. Konsep Masyarakat Adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.

Sedangkan Masyarakat Hukum Adat merupakan pengertian teknis yuridis, yang merujuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (ke luar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.

Konstitusi Negara Republik Indonesia secara terang mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam penjelasan Pasal 18 dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenannya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa... segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Sedangkan pada Amandemen II UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28I, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pasal 3 UUPA memuat pengakuan terhadap hak ulayat tersebut sepanjang menurut kenyataan masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi

Konsep pengakuan dalam konstitusi dan UUPA ini, Masyarakat Hukum Adat diakui bila:

(a)sepanjang masih hidup,

Ada masyarakat yang memiliki perasaan kelompok, ada pemerintah adat, ada perangkat norma hukum adat, jika bersifat territorial maka terdapat pada wilayah tertentu, dan ada benda adat atau harta kekayaan adat.

(b)sesuai perkembangan masyarakat,

Sebebagai cerminan perkembangan nilai-nilai yang baik bagi masyarakat, tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, diakui dan dihormati oleh masyarakat hukum adat tersebut maupun masyarakat yang lebih luas.

(c)sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip NKRI,

Keberadaan masyarakat hukum adat sendiri tidak mengganggu kedaulatan dan integritas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(d)sesuai dengan apa yang diatur dalam undang undang.

Ketentuan selanjutnya tentang Masyarakat Hukum Adat diatur dalam undang-undang.

UUPA juga memberikan, landasan hukum bahwa masyarakat hukum adat dapat melakukan pengelolaan terhadap sumber daya hutan maupun sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah adat. Hal itu dapat dilihat di pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan“ Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Soetandiyo Wignjo Soebroto menyebutkan keempat syarat itu sudah jelas merupakan tolok yuridis yang harus diperhatikan oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan kepada eksistensi masyarakat hukum adat, dan nyata jelas pula bahwa keempat syarat itu mengisyaratkan bahwa kepentingan Negara nasional sebagaimananya yang harus dijaga oleh pemerintah nasional dengan posisinya yang sentral, tetap harus didahulukan. 

Ia menambahkan, tak pelak lagi “pengakuan” yang dimaksud dalam peraturan perundangundangan, baik ipso jure maupun ipso facto akan gampang ditafsirkan sebagai “pengakuan” yang harus dimohonkan, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat. Itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, ditemui beberapa fase pengakuan masyarakat hukum adat di daerah

a. Identifikasi masyarakat hukum adat;

b. Verifikasi masyarakat hukum adat; dan

c. Pengesahan masyarakat hukum adat.

Pendaftaran Tanah Ulayat

Di Indonesia tanah-tanah adat terdiri dari Hak Masyarakat Adat dan Hak Adat Perorangan. Tanah yang dipunyai oleh Masyarakat Adat dikenal dengan sebutan hak ulayat, atau hak pertuanan atau hak persekutuan (beschikkingrechts). Disebagian tempat tanah hak desa dikenal juga dengan istilah tanah milik desa, tanah kas desa, tanah bengkok atau Ambtveld.


Tanah Ulayat/Komunal

Regulasi pendaftaran tanah menetapkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan terhadap bidang-bidang tanah yang ada. Meskipun demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan saat ini, pendaftaran tanah ulayat tidak sampai pada penerbitan sertifikat tanah. Pendaftaran tanah ulayat hanya dapat menghasilkan peta bidang tanah (disingkat PBT), yang dicatat dalam daftar tanah. Bagi banyak pejabat di Kementerian ATR/BPN, alasan adanya ketentuan itu adalah bahwa sistem hukum formal tidak mengakui masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang bisa menjadi pemegang hak atas tanah. 

Akan tetapi, dalam sistem hukum formal Indonesia, hak-hak tanah ulayat/komunal sebenarnya telah diakui. Hak-hak tersebut secara kolektif dimiliki oleh masyarakat yang memiliki tatanan normatif berdasarkan aturan adat. Pemegang hak mendapatkan kewenangan untuk mengatur, menguasai dan menggunakan tanah.

Regulasi yang ada menetapkan kriteria dan prosedur untuk mengakui tanah ulayat yang terletak di Areal Penggunaan Lain (APL). Masyarakat harus melalui dua tahap untuk mendaftarkan tanah ulayat.

Pertama, adalah meminta keberadaan mereka diakui oleh pemerintah daerah. Langkah ini mengikuti prosedur yang sudah ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014. Peraturan tersebut mewajibkan masyarakat untuk membuktikan bahwa mereka memenuhi semua kriteria berikut ini:

1.Sejarah,

2.Wilayah adat,

3.Hukum adat,

4.Harta kekayaan bersama dan/atau benda-benda adat, dan

5.Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Sebuah panitia yang dibentuk oleh kepala daerah ditugasi untuk memeriksa sejauh mana masyarakat tertentu telah memenuhi kriteria tersebut. Berdasarkan rekomendasi dari panitia, kepala daerah akan menerbitkan surat keputusan yang mengakui secara resmi keberadaan masyarakat bersangkutan. Pengakuan ini mencakup juga pengakuan terhadap tanah ulayat.

Kedua, dimulai ketika masyarakat hukum adat mengajukan permohonan pendaftaran tanah ulayat kepada Kantor Pertanahan setempat. Surat keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan harus dilampirkan pada permohonan. Sebagai tanggapan terhadap permohonan itu, Kantor Pertanahan mengadakan survei dan pemetaan terhadap tanah ulayat. Kantor Pertanahan setempat membuat peta bidang tanah dan dicantumkannya tanah ulayat itu dalam daftar tanah sebagai hasil akhir dari penatausahaan tanah ulayat.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang Kementerian ATR/BPN tahun 2020, telah melakukan terobosan dengan membolehkan penetapan deliniasi tanah ulayat meskipun tahapan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat belum dilakukan. Deliniasi akan menghasilkan Nomor Identifikasi Sementara (NIS). Selain itu, harus ada tanda atau atribut yang menunjukkan bahwa tanah itu adalah tanah ulayat. NIS akan diganti dengan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) setelah ada keputusan kepala daerah mengenai pengakuannya.

Pemerintah Indonesia amat kurang dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan terkait tanah ulayat. Setelah 16 tahun melaksanakan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tahun 1999, hanya ada dua masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya didaftarkan dalam Daftar Tanah. 

Masyarakat adat pertama adalah Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kantor pertanahan kabupaten Lebak mengadakan kegiatan identifikasi tanah ulayat Baduy pada tahun 2002 yang diperbaharui pada tahun 2015. Kegiatan identifikasi ini menunjukkan bahwa luas tanah ulayat Baduy mencapai 5.136,58 ha. 

Kantor Pertanahan kemudian membuat Peta Bidang Tanah (PBT) dan mencatatkannya dalam daftar tanah. Masyarakat adat kedua adalah Kampung Naga di Kabupaten Sukabumi, jawa Barat.

Kementerian ATR/BPN RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN empat keputusan menteri tentang tanah ulayat.

Keputusan Menteri tentang Hak Komunal yang diterbitkan selama tahun 2015-2016

Selain menerbitkan surat keputusan menteri, Kementerian ATR/BPN juga menerbitkan sertifikat hak komunal atas tanah bagi beberapa desa adat di Pakraman, Provinsi Bali.

Penerbitan sertifikat ini dapat dilakukan setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman sebagai Subyek Hak Pemilikan Komunal atas Tanah. Surat Keputusan tersebut menetapkan bahwa masyarakat hukum adat Pakraman memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hal ini bertentangan dengan pandangan yang kuat di kalangan pejabat Kementerian ATR/BPN yang menyiratkan bahwa masyarakat hukum adat tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.

Setelah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tahun 1999, tanah ulayat suku Baduy dan Kampung Naga adalah satu-satunya tanah yang terdaftar dalam daftar tanah . Kantor Pertanahan Lebak melakukan pendaftaran tanah setelah pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah pada tahun 2001 .


Pendaftaran tanah ulayat, menggunakan dua metode;

Metode pertama, didasarkan kepada surat keputusan menteri. Menteri ATR/Kepala BPN menerbitkan empat surat keputusan yang mengakui tanah ulayat beberapa komunitas di Papua. Namun, belum jelas apakah Kementerian ATR/BPN telah mencatatkan tanah ulayat itu dalam daftar tanah sebagai tindak lanjut dari penerbitan surat keputusan menteri tersebut.

Ketika ditanya, seorang pejabat dari Kementerian ATR/BPN yang bertugas di bidang pertanahan ulayat mengakui tidak mengetahui di dokumen administrasi mana tanah ulayat itu dicatat.

Metode kedua, dengan menerbitkan sertipikat tanah. Pada tahun 2018, Kantor pertanahan Badung di provinsi Bali menerbitkan sertipikat tanah untuk desa Pakraman Penarungan seluas 865 m2. Penerbitan sertifikat ini dilakukan setelah Menteri ATR/Kepala BPN menerbitkan Surat Keputusan Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 yang menetapkan bahwa desa adat Pakraman adalah subjek pemegang hak tanah ulayat. Metode dengan menerbitkan sertifikat ini sangat menarik karena metode ini memperkenalkan dua hal baru. 

Pertama, ini adalah pertama kalinya dalam sejarah sistem hukum di Indonesia di era kebebasan di mana pemerintah menetapkan masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak atas tanah yang ditetapkan dalam bentuk sertifikat tanah. Setelah penetapan itu, pemerintah memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat hukum adat. Sebelumnya, sudah pernah ada penerbitan sertifikat untuk masyarakat adat di beberapa kabupaten di Sumatra Barat. 

Namun, dalam sertifikatnya, nama kelompok masyarakat yang disebut kaum tidak disebutkan sebagai pemegang hak. Pemegang hak adalah pemimpin adat (mamak kepala waris) dan seluruh anggota kelompok itu. Kedua, ini adalah pertama kalinya Kementerian ATR/BPN menggunakan penerbitan sertifikat sebagai metode untuk mengakui tanah ulayat.

Saat ini, pemerintahpun telah mengeluarkan PP No 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Sebagai tindak lanjut dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Dalam PP No. 18 tahun 2021, memberikan kepastian hak atas tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat dengan Hak Pengelolaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat. Pasal 5 ayat 2 ini, Hak Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.

Pasal 7 ayat 1 menyatakan Pemegang Hak Pengelolaan diberikan kewenangan untuk:

a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang;

b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian Tanah Hak Pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain; dan

c. menentukan tarif dan/atau uang wajib tahunan dari pihak lain sesuai dengan perjanjian.

Pasal 5 ayat 2, menetapkan bahwa rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang merupakan rencana induk yang disusun oleh pemegang Hak Pengelolaan.

Sekarang untuk adanya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentan Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, ini memberi peluan bagi masyarakat adat untuk dapat diberikan hak pengelolaan terhadap tanah tanah adatnya baru kemudian di atas tanah Hak Pengelolaan terhadap tanah tanah hak ulayat dilekatkan hak lain seperti hak guna bangunan, Hak Guna Usaha maupun hak pakai.


Hambatan

Hambatan kurang memadainya pengetahuan petugas mengenai sistem penguasaan tanah berbasis adat dan belum optimalnya masyarakat dan pemuka adat menyampaikan informasi tentang tanah adat.


Khatimah

Demikian paparan singkat ini semoga bermanfaat bagi kita semua dalam mencari dan menemukan solusi bagi penyelesaian tanah tanah adat milik publik yang masih wujud dan ada sampai saat ini. Mudahan tulisan bisa menjadi pencerah bagi kita semua, amin.[]

Berita terkait
Negara Sudah Mengakui Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Negara Republik Indonesia sudah mengakui eksistensi masyarakat hukum adat melalui Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam pasal 18B ayat 1.
Pemetaan Wilayah Adat Partisipatif sebagai Upaya Pengakuan Tanah Masyarakat
Perlu adanya sinkronisasi terkait konteks pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemetaan partisipatif. Ini ulasannya.
Perusahaan Kebun Sawit Caplok Tanah Masyarakat Adat Tapteng
Sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah, diduga menguasai lahan milik masyarakat adat setempat.
0
Penguatan Eksistensi dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dari Perspektif Kebijakan Negara Bidang Pertanahan
Masyarakat Hukum Adat dan eksistensinya selalu menjadi topik yang menarik dan sering menimbulkan perdebatan.