Pengalaman Pemudik Kudus Isolasi Mandiri di Polides

Eko Widodo harus menahan rasa rindu kepada keluarganya selama 14 hari selama menjalani isolasi mandiri di Polides Pasuruhan Kidul, Kabupaten Kudus.
Pemudik Eko Widodo menceritakan pengalamannya menjalani isolasi mandiri di Polides Pasuruhan, Kabupaten Kudus usai pulang dari Kabupaten Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Kudus - Sadar diri menjadi ungkapan untuk menggambarkan sosok Eko Widodo, 36 tahun, warga Desa Pasuruhan Kidul, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Tingginya kesadaran Eko dalam mengantisipasi penyebaran virus corona atau Covid-19 di lingkungannya, mendorong pria dengan riwayat perjalanan dari luar kota itu, mengisolasi diri selama 14 hari di Poli Klinik Desa (Polides).

Mendengar sosoknya yang begitu inspiratif, Tagar menyempatkan untuk menemuinya di kediamannya, Senin, 13 April 2020. Rumah ukuran sedang, dengan dinding luar bercat krem ia dan keluarga bersarnya tinggal.

Saya teringat, instruksi Pemerintah untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari bagi warga baru pulang dari luar kota/kabupaten ditetapkan sebagai zona merah Covid-19.

Dengan mengenakan kemeja lengan pendek berwarna abu tua dengan garis warna ungu dibagian dada serta sarung warna ungu, Eko dengan ramah mempersilakan masuk ke ruang tamu rumahnya bercat hijau. 

Di atas sofa berwarna pink dengan sedikit aksen bunga, kami berbincang-bincang. Ditemani segelas teh hangat sebagai penghilang dahaga.

Eko bertahun-tahun bekerja sebagai tenaga outsourcing divisi Engineering di PT PURA Group, bekerja dari satu kota ke kota lain sudah makanan sehari-hari bagi Eko. Akan tetapi sejak ada pandemi virus corona, perjalanannya terasa berbeda.

Rasa waswas, terus menggelayuti hati Ayah dua anak ini. Virus corona asal Wuhan, China itu membuat dia bertindak lebih waspada. Termasuk saat mengurus kepulangannya ke Kota Kretek.

"Dua hari terakhir saya di Kabupaten Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan. Saya teringat, instruksi Pemerintah untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari bagi warga baru pulang dari luar kota/kabupaten ditetapkan sebagai zona merah Covid-19," ujarnya membuka percakapan.

Meski Kabupaten Oku Timur, belum termasuk zona merah Covid-19. Perjalanannya menuju kampung halaman tidak bisa lepas dari zona merah Covid-19, membuat dia mengambil sikap waspada. 

"Waktu itu, pilihannya turun di Jakarta atau Semarang. Saya pilih Semarang, lebih aman," tutur dia.

Hari terakhir di Oku Timur, Jumat, 27 Maret 2020, Eko berpikir keras agar bisa melakukan instruksi isolasi mandiri namun tidak di dalam rumah. Kondisi rumahnya padat penghuni dan rasa cintanya begitu besar kepada keluarga, jadi alasan utama Eko tidak ingin menjalankan isolasi mandiri di rumah.

"Saya terlihat sehat dan bugar. Tapi saya tidak tahu, apakah saya membawa virus corona atau tidak. Saya tidak mau langsung pulang ke rumah, takutnya menularkan virus itu kepada keluarga. Saya akan sangat merasa berdosa jika melakukan hal tersebut," tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Polides KudusSeorang bidan desa menunjukkan Polides yang digunakan Eko Widodo menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Nyaman Jalani Karantina 14 Hari

Kepada Sang Istri, kegundahannya itu dibagi. Dari keluarga, Eko sempat ditawari melakukan isolasi di gedung Madrasah Ibtidaiyah (MI) dekat rumahnya, kosong sejak adanya libur virus corona. Akan tetapi Pemerintah Desa Pasuruhan Kidul, Kabupaten Kudus rupanya telah menyiapkan Polides sebagai tempat karantina bagi para pemudik.

"Sabtu, 28 Maret 2020 malam, saya tiba di Pasuruhan Kidul. Tanpa mampir ke rumah, saya langsung dibawa menuju Polides dan menjalani isolasi selama 14 hari di sana," katanya.

Fasilitas kamar mandi, dapur dan tempat tidur bersih membuat dirinya cukup betah dan nyaman tinggal di Polides. Meski dalam hatinya terdalam, rasa kesepian dan rindu anak-istri tidak lagi terbendungkan.

Meski menjalani isolasi mandiri, setiap harinya, Eko menerima kiriman tiga paket makanan bergizi dari pemerintah desa. Makanan itu, dikirimkan pada jam makan dan diletakkan tepat di depan pintu kamar.

Tak hanya makanan, bidan desa juga datang setiap dua hari sekali untuk melakukan monitoring terhadap kondisi kesehatan Eko. Dari balik jendela, Eko dan bidan desa komunikasi mereka jalin. Tak lupa, sejumlah multivitamin diberikan bidan desa untuk meningkatkan daya tahan tubuh Eko.

Sang Istri, juga beberapa kali datang menyerahkan sejumlah kebutuhan Eko di tempat isolasi sebelumnya telah di list melalui pesan WhatsApp. Tidak sekedar menyerahkan barang pesanan, dia juga memastikan suaminya dalam kondis baik selama masa isolasi

“Barang-barang diletakkan di depan pintu oleh pengirim, nanti saya ambil. Biasanya begitu. Social distancing begitu dijaga di sini,” tutur dia.

Belasan hari menjalani karantina Eko mengaku merasa kesepian dan kurang hiburan. Ponsel pintar saben hari digunakannya video call keluarga dan nonton YouTube, sejujurnya tak cukup jadi obat penghilang rasa sepi baginya.

Saat rasa kesepian mendera, Eko hanya mengingat kembali waktu 14 hari isolasi mandiri pengorbanan tidak seberapa, dibandingkan dengan kesehatan keluarga terkasih. Lagi-lagi keluarga menjadi penguat dirinya bertahan hidup sendiri di Polides belasan hari.

Suatu hari, ungkap Eko, hatinya sempat terenyuh ketika melihat anaknya melintas di depan matanya. Saat itu, dia tengah menjemur baju di halaman Polides. Tak sengaja, anaknya sulungnya yang kini duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar bermain di sekitar Polides.

Melihat Ayahnya menjemur baju, anaknya spontan berhenti dan menatap tajam Eko. Rasa rindu mendalam menggelayut dimata keduanya. 

Akan tetapi keadaan belum bisa membawa mereka hidup bersama. Sebuah kata, sempat diucapkan anaknya sebelum berlalu meninggalkan tempat tersebut.

“Anak saya sempat panggil Ayah. Lalu dia pergi pulang. Di rumah, dia cerita ke istri saya dan mendapat penjelasan mengenai kondisi saya. Syukur, dia bisa memahami dengan baik,” tutur dia.

Dua pekan, menjalani isolasi akhirnya Eko diperkenankan pulang dan kembali berkumpul dengan keluarga oleh bidan desa. Meski belum sempat melakukan rapid test, kondisi kesehatannya yang selalu baik dan tidak pernah menunjukkan gejala mengarah Covid-19 selama 14 hari menjadi dasar bidan desa memperbolehkannya pulang.

Polides KudusTampak dari depan Polides Pasuruhan, Kabupaten Kudus tempat pemudik Eko Widodo menjalani isolasi mandiri selama 14 hari usai pulang dari Kabupaten Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Tidak Ada Stigma Negatif Bagi Pemudik

Usai menjalani isolasi selama 14 hari di Polides, rasa bahagia tak terbendung bisa kembali hadir ditengah-tengah keluarga. Kembali mendekap erat anak dan istrinya seolah menjadi kado terindah usai lolos masa isolasi.

Dukungan lingkungan sekitar dan menerima dirinya seutuhnya menjadi pelengkap kebahagiaan Eko. 

“Di sini tidak ada stigma negatif. Tetangga-tetangga saya tetap menerima saya dengan baik. Bahkan selesai saya isolasi ada yang mengajak ngopi,” ujar dia.

Diakui Eko, karantina mandiri selama 14 hari menjadi pengalaman berharga bagi dirinya. Untuk itu, dia tak sungkan mengajak para pemudik lain agar bisa melakukan hal serupa. Menurutnya, hal ini dilakukan bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk keluarga tercinta dan orang-orang disekitar. 

“Ya memang butuh dan harus didasari rasa kesadaran,” tutur dia.

Kepada Pemerintah Kabupaten Kudus, Eko berharap besar bisa dilakukan rapid test kepada setiap pemudik pulang ke Kota Kretek. Utamanya mereka yang memiliki riwayat perjalanan dari zona merah.

Selain itu, pembuatan tempat karantina mandiri di setiap desa di Kudus juga perlu dilakukan. Guna menindaklanjuti gelombang kedatangan pemudik dari sejumlah kota/kabupaten dan tentunya meberikan rasa aman serta nyaman bagi pemudik bila jalani karantina di desanya sendiri.

“Isolasi di rumah, saya kira kurang efektif. Karena aktivitas dari pemudik tidak terpantau secara menyeluruh. Rentan juga bagi keluarga. Paling baik memang disediakan tempat khusus,” tutur Eko.

Kerja sama sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam melakukan upaya antisipasi penyebaran Covid-19, lanjut Eko menjadi hal terpenting, guna menyelesaikan wabah ini. 

“Kita semua harus membantu pemerintah atasi wabah dengan menerapkan physical distancing dan social distancing dengan benar,” kata dia. []

Berita terkait
Kerumunan Warung Kopi di Aceh Saat Wabah Corona
Setelah pemberlakuan jam malam dicabut warga Aceh saat ini mulai bebas kembali menikmati warung kopi tanpa rasa takut akan wabah virus corona.
Sejarah Malioboro dan Situasi Saat Pandemi Covid-19
Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia termasuk Yogyakarta, Malioboro sepi seperti kota mati. Ini sejarah Malioboro dan situasinya kini.
Menahan Rindu, Karantina Mandiri 14 Hari di Empang
Selama karantina mandiri 14 hari, Dwi dan Tria tinggal di gubuk di tengah empang, tanpa listrik, sunyi, jauh dari rumah warga desa.
0
PBB Serukan Taliban Batalkan Pembatasan Hak Perempuan
Dewan Keamanan (DK) PBB juga terus menekan otoritas Taliban untuk membatalkan pembatasan pada perempuan dan untuk menstabilkan negara