Pembelaan Komnas Perempuan untuk Baiq Nuril

Tindakan Baiq Nuril merekam kejadian sebagai upaya mandiri atas haknya membuktikan dirinya mengalami pelecehan.
Baiq Nuril Maknun (tengah) terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, didampingi aktivis perempuan yang juga anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka (kiri) saat jumpa pers di Fakultas Hukum Unram, Mataram, NTB, Selasa (20/11/2018). Rieke Diah Pitaloka mendesak Mahkamah Agung agar segera mengirim salinan putusan agar bisa dijadikan dasar Peninjauan Kembali (PK) untuk membela Nuril. (Foto: Antara/Hero)

Bandung - (Tagar 21/11/2018) - Tindakan Baiq Nuril (BN) merekam kejadian sebagai upaya mandiri atas haknya membuktikan dirinya mengalami pelecehan seksual dalam ketimpangan relasi kuasa, yang dalam hal ini dilakukan oleh pelaku sebagai atasannya.

Hal itu ditegaskan Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu di Bandung, Selasa (20/11).

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai kasus yang menimpa Baiq Nuril tidak mengindahkan kesetaraan gender, justru diskriminatif terhadap BN.

Azriana Manalu menyatakan, Komnas Perempuan sangat menyesalkan Putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 547 K/Pid.Sus/2018, yang telah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang menyatakan BN bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

"BN seorang perempuan korban pelecehan seksual di Mataram, yang diduga dilakukan oleh H Muslim, orang yang melaporkannya ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Jaksa Penuntut Umum pada kasus BN ini mengajukan kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut, dan oleh Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada BN dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan," tuturnya.

Dalam pandangan Komnas Perempuan, putusan Mahkamah Agung tidak sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017), yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.

"Pada Pasal 4 Perma 3/2017 disebutkan, 'Dalam pemeriksaan perkara hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan," katanya.

Antara lain, ketidaksetaraan status sosial antara para pihak berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban,  relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban atau saksi.

"Atas kondisi itu Komnas Perempuan memberikan perhatian serius pada pelecehan seksual yang dialami BN dan upayanya membela diri. Komnas Perempuan telah memberikan keterangan sebagai Saksi Ahli dalam persidangan kasus ini di Pengadian Negeri Mataram, yang telah memutus bebas BN dari dakwaan melakukan pelanggaran UU ITE, yang saat ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung," jelasnya.

Baiq NurilBaiq Nuril Maknun (kanan) terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, didampingi aktivis perempuan yang juga anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka (kiri) saat jumpa pers di Fakultas Hukum Unram, Mataram, NTB, Selasa (20/11/2018). Rieke Diah Pitaloka mendesak Mahkamah Agung agar segera mengirim salinan putusan agar bisa dijadikan dasar Peninjauan Kembali (PK) untuk membela Nuril. (Foto: Antara/Hero)

Agar Kasus BN Tidak Terulang

Azriana Manalu menambahkan, dalam kasus ini pihaknya berharap agar putusan Mahkamah Agung RI terhadap kasus BN ini dapat menjadi pembelajaran untuk kasus yang sama yang mungkin saja akan berulang di masa depan.

"Untuk itu Komnas Perempuan merasa perlu memberikan pandangan terkait kasus BN ini,  bahwa tindakan BN merekam kejadian sebagai upaya mandiri atas haknya membuktikan dirinya mengalami pelecehan seksual dalam ketimpangan relasi kuasa, yang dalam hal ini dilakukan oleh pelaku sebagai atasannya (melanggar Pasal 294 KUHP) dan serius menunjukkan dirinya tidak ada hubungan khusus dengan pelaku," jelasnya.

Kedua, Komnas Perempuan menilai Hakim Kasasi terhadap BN melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE, dimana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar  Filosofi UU ITE.

"UU ITE disahkan guna menjawab tantangan digunakannya teknologi untuk melakukan kejahatan. Sementara BN menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam konteks ini ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan BN," tegasnya.

Ketiga, Komnas Perempuan menilai norma substansi pengaturan Pasal 27 ayat(1) jo. Pasal 45 ayat(1) UU ITE merentankan perempuan korban pelecehan seksual untuk dikriminalkan, akibat sistem hukum yang tidak mutakhir dalam mengupayakan perlindungan  terhadap perempuan korban pelecehan seksual.

"Kerentanan perempuan mengalami kriminalisasi sebanding dengan kerentanan menjadi korban kekerasan seksual itu sendiri. Praktik perempuan korban harus membuktikan dirinya mengalami kekerasan seksual membuat kecenderungan mengadakan barang bukti melalui teknologi terus berlangsung," ujarnya.

Kemudian, keempat, Komnas Perempuan menilai bahwa hukum formil belum mengakui teknologi sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam tindak pidana pelecehan seksual sehingga UU ITE tidak layak digunakan dalam kasus yang penuh ketidakmutakhiran perlindungan terhadap perempuan korban.

"Pelecehan seksual yang dialami BN dalam sistem hukum belum ada kemutakhiran sistem pembuktian, sehingga upaya menggunakan teknologi merekam digunakan untuk melawan kejahatan itu sendiri. Perbuatan BN merekam tindakan pelecehan seksual sebagai bentuk asusila sebagai hak BN dalam mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia dan perempuan," tutupnya.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menambahkan berdasarkan mandat Komnas Perempuan untuk memantau dan memberi saran dan pertimbangan kepada Legislatif, Pemerintah dan Institusi Penegak Hukum dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maka Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal terkait kasus ini.

"Komnas Perempuan meminta Kepolisian RI secara aktif melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan terjadinya tindak pidana melanggar Pasal 294 KUHP ayat (2) dalam kasus BN, mengingat CD rekaman yang dapat dijadikan bukti kejahatan oleh hakim kasasi diputuskan diserahkan kepada terduga pelaku kejahatan (Pelapor) yang berpotensi menjauhkan akses keadilan bagi korban (BN)," ujarnya.

Kemudian,  Komnas Perempuan meminta kepada Badan Pengawas MA untuk melakukan pengawasan implementasi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Komnas Perempuan meminta DPR dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjawab kebutuhan perempuan korban kekerasan seksual dan mencegah tindakan kekerasan seksual berulang. []

Berita terkait
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara