Jakarta - Pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menuturkan penghentian Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak cukup untuk menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat.
Pasalnya, menurut dia banyak wilayah yang sudah menghentikan penerapan PSBB tapi tetap saja belum cukup menggerek aktivitas ekonomi.
"Pemerintah perlu meningkatkan bantuan sosial, terutama bantuan tunai pada masyarakat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kehilangan mata pencaharian," tutur Tadjudin kepada Tagar, Jumat, 24 Juli 2020.
Kenapa bantuan tunai, kata Tadjudinkarena dapat membantu perputaran peredaran uang di tingkat lokal. Selain itu, bantuan tunai langsung mampu meningkatkan daya beli masyarakat.
Berbeda dengan bantuan non-tunai, seperti pembagian sembako. Pemberian sembako menurutnya justru membuat peredaran uang di tingkat lokal menjadi berkurang. Apalagi, bila pengadaan bahan-bahan sembako dibeli pada penyalur bahan makanan di kota.
"Pengadaan sembako menyebabkan pasar dan warung-warung kekurangan pembeli karena masyarakat tidak perlu membeli beras dan kebutuhan lain di pasar dan warung lokal," ujarnya.
Apabila bantuan sosial sembako tetap dipertahankan, menurutnya secara perlahan daya beli masyarakat untuk konsumsi menjadi negatif. Maka dati itu ia menyarankan pemerintah mengalihkan pemberian sembako ke pemberian tunai.
Untuk menggerakan ekonomi industri-industri berskala besar, ia menyarankan untuk mendorong pemerintah daerah segera membelanjakan anggaran pembangunan yang sudah dicairkan pemerintah pusat.
"Jangan dibiarkan di tabungan bank daerah. Segera belanjakan agar ekonomi lokal dan daerah bergerak," ucapnya.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukan sebanyak 65,1 persen pelaku usaha meminta PSBB segera dihentikan agar aktivitas ekonomi kembali berjalan. Sementara, 60,6 persen responden dari kalangan masyarakat umum menilai PSBB sudah cukup dan tidak perlu diterapkan.
"Mayoritas responden merasa PSBB sudah cukup dan bisa dihentikan agar ekonomi segera berjalan" ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Kamis, 23 Juli 2020. []