Jakarta - Keputusan pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) senilai US$ 4,3 guna mendanai penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air mendapat respon yang cukup baik dari pasar global.
Meskipun demikian, Pengamat pasar modal Siswa Rizali mengatakan sikap antusias market internasional dalam membeli surat utang berlabel Pandemic Bond itu bukanlah sebuah prestasi.
“Jangankan Indonesia yang ekonominya masih tergolong tumbuh baik, negara bangkrut seperti Argentina saja berhasil menerbitkan surat utang bernilai 2,75 miliar dolar AS dengan tenor 100 tahun, jadi biasa-biasa saja,” ujar Siswa Rizali kepada Tagar di Jakarta, Senin, 13 April 2020.
Baca juga: Lewat Pandemic Bond, Pemerintah Raup Utang US$ 4,3 M
Menurut Rizal penyebab utama larisnya SUN RI di pasar internasional dikarenakan sikap investor dalam memilih instrument investasi yang tergolong aman. Terlebih, kondisi dunia saat ini terus dilanda ketidakpastian yang berlanjut pasca serangan pandemi di hampir seluruh negara dunia.
“Investor asing tetap membeli SUN berbasis mata uang asing [dolar AS]. Investor global ternyata meyakini kekuatan fundamental ekonomi Indonesia dan kemampuan pemerintah membayar utang,tapi menghindari risiko rugi kurs bila membeli SUN berdenominasi rupiah,” kata dia.

Selain itu, Rizal juga menyebut bahwa saat ini pasar sedang dalam kondisi ‘banjir likuiditas’ sebagai akibat dari pelonggaran moneter yang dilakukan oleh beberapa bank sentral dunia, seperti The Federal Reserve (The Fed), People's Bank of China (PBoC), dan Bank of Japan (BoJ). Sehingga, investor lebih cenderung memilih instrumen investasi surat utang sebuah negara asalkan yang berdenominasi dolar AS.
“Asal bond dalam US$ pasti laku, apalagi yang imbal hasil lebih tinggi dari treasury Amerika Serikat yang sekarang 0,7 persen. Nah, SUN RI kan 3,85 persen, artinya ada sekitar selisih 3,15 persen tanpa risiko nilai tukar. Itu sebabnya kenapa pandemic bond pemerintah sekarang cukup laku,” tuturnya.
Pemerintah telah mengeluarkan keputusan untuk mencari sumber pendanaan penanganan pandemi di Tanah Air melalui penerbitan tiga seri surat utang. Pertama adalah RI1030 dengan tenor 10,5 tahun dan jatuh tempo pada 15 Oktober 2030. Adapun, nilai pendanaan yang dihimpun seri ini mencapai US$ 1,65 miliar dengan imbal hasil (yield) 3,90 persen.
Kemudian, seri kedua RI1050 bertenor 30,5 tahun atau jatuh tempo pada 15 Oktober 2050. Dana yang dihimpun instrument ini mencapai US$ 1,65 milar dengan yield 4,25 persen.
Sementara seri ketiga merupakan instrument surat utang bertenor terpanjang yang pernah diterbitkan Pemerintah Indonesia dengan masa berlaku 50 tahun dengan jumlah sekitar US$ 1 miliar yeild 4,50 persen.
“Berdasarkan data Bloomberg, rata-rata imbal hasil yang ditawarkan pemerintah Indonesia dari penerbitan surat utang terbaru tercatat agak sedikit di atas yield market yang sekitar 3,5 persen hingga 3,6 persen,” ucapnya. []