ORI Jateng: Ada Maladministrasi Rekrutmen KPPS

Ombudsman Jateng menilai ada maladministrasi di proses rekrutmen petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
Pelaksana Tugas Kepala ORI Jateng Sabaruddin menyebut ada maladministrasi di rekrutmen KPPS dan PTPS yang berujung pada kematian dan minimnya jumlah honor. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Tengah (Jateng) menilai ada maladministrasi di proses rekrutmen petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) di Pemilu 2019.

Pelanggaran tersebut mendorong terjadinya pengabaian terhadap nasib petugas penyelenggara dan pengawas Pemilu 2019 hingga berujung kematian.

"Maladministrasi muncul dari batasan usia petugas yang direkrut. Dari data surat keterangan kesehatan yang jadi syarat perekrutan KPPS dan PTPS, diketahui kebanyakan petugas yang lolos seleksi telah berusia di atas 40 tahun," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala ORI Jateng Sabaruddin kepada Tagar, Rabu 29 Mei 2019.

Sabaruddin menyebut, dengan mempekerjakan petugas yang sudah tua, semestinya ada langkah antisipasi yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu. Faktanya, lembaga penyelenggara dan pengawas ini tidak melakukan hal itu.

"Yang dilihat sekarang kan dari segi umur hanya ada batasan minimal saja. Ini ada potensi kelalaian KPU dan Bawaslu dalam merekrut petugas. Ada dugaan maladministrasi," tegas dia.

Ironisnya pemerintah tidak memberikan perlindungan kesehatan yang cukup bagi KPPS maupun PTPS. Ditambah pemberian honorarium yang minim dan jam kerja di lapangan yang terkesan diforsir. Sehingga ketika para petugas mengalami kendala kesehatan saat maupun paska bertugas, banyak yang berujung tragis, meninggal dunia.

Keluarga korban pun tak bisa berbuat banyak mengingat tidak ada celah hukum yang bisa ditempuh atas kematian tersebut. Tidak ada perlindungan hukum bagi KPPS dan PTPS. Padahal mereka sangat rentan jadi korban atas tingginya tugas dan beban kerja.

"Temuan ini kami peroleh dari keterangan keluarga korban," ujar Sabaruddin.

ORI Jateng sempat mengonfirmasi hal itu secara langsung kepada KPU maupun Bawaslu Jateng beberapa waktu lalu.

"Mereka justru bilang bahwa aturannya diambil dari pusat. Nah, kalau sudah seperti ini kejadiannya, kami dorong saja bagaimana pemerintah membuat keputusan yang pasti untuk memperhatikan kondisi keluarga korban, apakah pendidikan anaknya menemui kendala paska kasus ini mencuat," beber dia.

Temuan maladministrasi lain adalah ketidakpastian regulasi pemberian santunan kepada keluarga korban. Terlebih kepada korban yang mengalami kecelakaan kerja sampai mengalami cacat. Patokan nilai santunan masih membingungkan keluarga korban.

"Kami melihat pelayanannya sudah cukup, hanya saja dana santunannya belum diberikan seluruhnya kepada keluarga korban di daerah," jelas dia.

Yang mengagetkan lagi, pemberian dana santunan sepenuhnya dibebankan kepada KPU. "Dana santunannya belum diberikan merata kepada keluarga korban. Ternyata anggarannya diambilkan dari KPU juga," sambung Sabarudin.

Otopsi Korban

Terkait petugas pemilu yang meninggal, ORI Jateng mendesak aparat kepolisian melakukan otopsi. Pasalnya, sampai dengan sekarang penyelidikan kasus tersebut dinilai belum memberi kejelasan.

"Kami perhatikan justru data yang korban meninggal ini masih sebatas audit verbal saja. Seperti yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Padahal itu belum bisa dijadikan patokan data permanen. Masih sekadar data yang terus berjalan hingga kini," kata dia

Bagi Sabaruddin, otopsi bisa menjadi satu-satunya cara paling rasional untuk membongkar misteri kematian ratusan KPPS. Ia menganggap alasan kepolisian tidak bisa melakukan otopsi tanpa alasan kuat hanya asumsi.

"Kalau hanya lisan dengan menebar asumsi-asumsi itu belum cukup bukti. Walau di Jateng belum menemukan kejanggalan (kasus kematian KPPS) tapi pembuktian bisa dilakukan oleh polisi. Satu-satunya cara ya harus dilakukan otopsi ulang. Kalau otopsi kan bisa ketahuan riwayat sakitnya korban atau penyebab kematian korban. Saya kira, atas nama negara demi mengungkap ada tidaknya pidana di kasus ini, langkah itu bisa dilakukan," tambah dia.

Agar kejadian serupa tidak terulang di pemilu maupun Pilkada mendatang, ORI Jateng menyarankan pemerintah merevisi ulang aturan kerja KPPS dan PTPS. "Hasil investigasi kami sekarang sudah disampaikan ke Ombudsman di Jakarta supaya dapat terus ditindaklanjuti," tukas Sabaruddin.[]

Baca juga:

Berita terkait