Untuk Indonesia

Opini Tandingan Ni’matul Huda terhadap Opini Bagas Pujilaksono: Gerakan Makar

Ni’matul Huda Guru Besar Fakultas Hukum UII membuat opini tandingan terhadap tulisan Bagas Pujilaksono Dosen UGM berjudul Gerakan Makar.
Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH, MHum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. (Foto: Tagar/PWNU)

Oleh: Bambang Sutiyoso*


Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Diundang sebagai pembicara tunggal dalam webinar yang bertajuk: "Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (Dilawan): Persoalan Pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang didakan oleh Constitutional Law Community (CLC) FH UGM, Jumat, 29 Mei 2020, jam 14.00-16.00 WIB. 

Namun tiba-tiba pada Kamis, 28 Mei 2020 di laman media online Tagar.id muncul Opini yang ditulis oleh saudara Bagas Pujilaksono berjudul “Gerakan Makar” dengan disertakan poster acara diskusi, sehingga jelas siapa yang dimaksud oleh si penulis. 

Bahwa kemudian acara tersebut terpaksa dibatalkan karena Prof Ni’matul Huda mendapatkan fitnah, dan dicemarkan nama baiknya oleh Opini yang berjudul “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19” yang ditulis oleh saudara Bagas Pujilaksono, yang dimuat di media online Tagar.id. 

Opini tersebut ditulis tanpa dasar dan menuduh melakukan gerakan makar, mengatakan kelompok sampah, mulut besar, menyebarkan kebencian dan membuat kegaduhan politik yang jelas-jelas merujuk kepada Prof. Dr. Nimatul Huda, karena pada acara tersebut beliau sebagai pembicara tunggal.


Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. juga sudah melakukan pengaduan ke Dewan Pers dan direkomendasikan untuk membuat artikel opini tandingan demi memberikan keadilan bagi Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.


Saudara Bagas Pujilaksono sebagai dosen UGM sesungguhnya tidak memiliki kompetensi dan kapasitas yang memadai untuk melakukan penilai dan menuduh Prof. Dr. Ni’matul Huda untuk melakukan makar, karena saudara Bagas Pujilaksono bukan ahli hukum ataupun ilmu politik, tetapi teknik (nuklir). 

Di samping itu, saudara Bagas Pujilaksono juga tidak memiliki sikap hormat, sopan santun, ataupun klarifikasi kepada panitia atau pembicara layaknya seorang ilmuwan, tetapi langsung membuat opini yang menyesatkan dan berisi fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Prof. Ni’matul Huda. 


Baca juga: Permohonan Maaf Bagas Pujilakono kepada Ni'matul Huda


Bahwa diduga kuat opini yang ditulis oleh Bagas Pujilaksono menyebabkan nama Prof Ni’matul Huda menjadi tercemar, terbukti dengan adanya beberapa ancaman dan teror ‘jika tetap melaksanakan diskusi akan dibunuh’ yang dikirimkan melalui WA dan menimbulkan traumatik secara psikis karena ancaman tersebut.

Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, pada tanggal 2 Juni 2020, Prof Ni’matul Huda Melakukan Pengaduan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah dan Laporan pengancaman pada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai opini ini ditulis proses hukum masih berjalan pada tahap penyelidikan. Proses Pengaduan terhadap fitnah, pencemaran nama baik dan laporan terhadap pengancaman sudah hampir satu tahun belum ada kepastian hukum bagi Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.

Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. juga sudah melakukan pengaduan ke Dewan Pers dan direkomendasikan untuk membuat artikel opini tandingan demi memberikan keadilan bagi Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.


Opini Tandingan

Berikut ini opini tandingan Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.

Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (Dilawan): Persoalan Pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan 

Oleh: Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH, MHum, Guru Besar FH UII

Materi tentang lembaga kepresidenan ataupun pemakzulan presiden dalam sistem ketatanegaraan sesungguhnya merupakan bagian dari kajian Hukum Tata Negara yang diajarkan di semua fakultas hukum di Indonesia, di samping juga menjadi kajian disiplin ilmu politik.

Saya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII ketika diminta oleh mahasiswa FH UGM yang tergabung dalam Constitutional Law Community (CLC) menyatakan bersedia karena TOR dari kegiatan tersebut menjelaskan bahwa acara tersebut untuk mengupas tuntas bagaimana hukum tata negara Indonesia sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 mengatur persoalan tersebut. 

Secara pribadi, saya mengenal sebagian besar dari mereka karena dalam beberapa kali even lomba karya ilmiah maupun constitutional drafting saya diminta untuk sharing materi dan ‘membimbing’ mereka selama beberapa tahun. Mereka adalah komunitas mahasiswa yang memiliki concern di bidang Hukum Tata Negara, memiliki kapasitas kelimuan bidang hukum yang sangat bagus, kritis dan progresif. Bagi saya, merekalah yang kelak akan mengembangkan Hukum Tata Negara Indonesia di masa depan, sebagai penerus generasi pemerhati hukum tata negara dan konstitusi.

Webinar diadakan oleh Constitutional Law Community (CLS) FH UGM, Jumat, 29 Mei 2020, jam 14.00-16.00 WIB.

Materi tentang presiden ataupun pemakzulan presiden sudah pernah saya tulis di buku (i) Hukum Tata Negara Indonesia dan (ii) Gagasan Amandemen Ulang UUD 1945, yang diterbitkan oleh RajaGrafindo, Jakarta; (iii) Politik Ketatanegaraan Indonesia, dan (iv) Presiden dan Pembantu Presiden yang diterbitkan oleh FH UII Press, Jogjakarta.

Sedianya (sesuai dengan TOR) saya diminta untuk menjelaskan dapatkah presiden di-impeach? bagaimana mekanisme konstitusional melakukan impeachment terhadap presiden? Apa perbedaan mekanisme impeachment presiden dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan? Lembaga mana saja yang akan terlibat dalam persoalan impeachment presiden, dan seterusnya.

Dalam kajian Hukum Tata Negara, pranata impeachment presiden baru diadopsi dalam UUD 1945 setelah amandemen. Sebelumnya untuk penjatuhan presiden, kekuasaan mutlak di tangan MPR, karena presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Tetapi, setelah amandemen UUD 1945, posisi presiden relatif lebih ‘aman’ karena impeachment harus terlebih dahulu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi. 

MPR tidak bisa lagi ‘menjatuhkan’ presiden dan/atau wakil presiden dengan alasan melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara seperti zaman Presiden Soekarno, atau Gus Dur, karena sejak adanya pranata impeachment dakwaan politik DPR harus terlebih dahulu diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi itu pun dikembalikan ke DPR untuk selanjutnya diajukan pemakzulan ke forum MPR. 

Dakwaan yang bisa diajukan DPR ke Mahkamah Konstitusi untuk meng-impeach presiden sebagaimana disebutkan di Pasal 7B adalah pelanggaran hukum, bukan persoalan kebijakan atau politik seperti zaman dahulu. Jadi, dapat disimpulkan, dalam perspektif Hukum Tata Negara pranata impeachment menurut UUD 1945 sangatlah rigid dan harus pelanggaran hukum.

Demikian sekilas penjelasan saya terkait materi yang sedianya akan saya sampaikan dalam acara webinar di UGM 29 Mei 2020.

*Kuasa Hukum Prof. Ni'matul Huda, S.H., M.Hum


Baca juga


Berita terkait
Opini: Muhammad Kece
Muhammad Kece akhirnya ditangkap Bareskrim Polri atas unggahannya yang sangat menistakan agama Islam.
Opini: Korupsi Bisa Meruntuhkan Bangsa
Saya kagum pada anak muda ini namanya Ayang Utriza berani, kritis dan cermat Indonesia membutuhkan banyak anak muda sepertinya. Bagas Pujilaksono.
Opini: “Ibu Menaker Seharusnya Melibatkan LKS Tripnas (!)”
Seluruh pemangku kepentingan seharusnya diajak bicara oleh Kemnaker mengantisipasti dampak PPKM Level 1-4 ini.