Untuk Indonesia

Opini: Pertanian Sensitif Gizi

Disadari atau tidak status gizi pada sebagian warga di negeri ini masih menjadi pekerjaan rumah yang menyita pikiran.
Ilustrasi - Pertanian Sensitif Gizi. (Foto: Tagar/Dok istimewa)

Oleh: Agung Saras Sri Raharjo, Esty Asriyana Suryana



TAGAR.id, Jakarta - Di balik kemajuan teknologi dan pembangunan yang terus tumbuh dan berkembang, Indonesia sebenarnya masih menghadapi ancaman laten yang mengintai masa depan generasi mudanya. Apa yang sedang kita khawatirkan tersebut tidak lain adalah kondisi kesehatan masyarakat khususnya persoalan pemenuhan gizi. 

Disadari atau tidak status gizi pada sebagian warga di negeri ini masih menjadi pekerjaan rumah yang menyita pikiran. Bahkan berpotensi menjadi "bom waktu" jika tidak segera diatasi. Angka stunting, wasting, underweight dan overweight bukan lagi sekadar deretan angka statistik, bahkan telah menjadi cerita dan berita menghiasi laman media massa.

Kementerian Kesehatan melalui laman resminya menyampaikan hasil Survey Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 bahwa status angka stunting, pada balita, mengalami penurunan dari 21,6% di tahun 2022 menjadi 21,5% di tahun 2023. Namun demikian, pencapaian tersebut masih jauh jaraknya dari angka yang ditargetkan yaitu 14% pada tahun 2024 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. 

Sementara itu pada kasus yang lain seperti wasting dan underweight kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Berdasarkan hasil SSGI 2022 bahwa untuk wasting dan underweight mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,6% dan 0,1% dari angka baseline tahun 2021 yaitu 7,1% dan 17%.

Sedangkan untuk trend prevalensi overweight dan obesitas berdasar hasil SKI 2023 cenderung tidak mengalami perubahan dengan hasil Rikesdas 2018 yaitu pada angka 19 % untuk anak usia 5-12 tahun dan 16 % anak usia 13-15 tahun. 

Dapat disimpulkan bahwa satu dari lima anak usia sekolah dan satu dari tujuh remaja mengalami overweight atau obesitas. Potret kondisi tersebut merupakan lapis-lapis persoalan kesehatan di negeri ini yang membutuhkan perhatian serius.

Ruang Aksesibilitas

Membicarakan darimana harus memulai sering tak ubahnya seperti menandai sebuah bidang yang ujung pangkal awal dan akhirnya berada pada titik yang sama. Terlepas dari itu semua, bahwa semua rangkaian respon kebijakan dan langkah strategis yang dibuat haruslah bertolak dari pondasi kesadaran individual maupun kolektif. Merubah kebiasaan dalam sikap-sikap yang mendorong perilaku hidup yang lebih sehat secara individu ataupun kolektif akan menjadi aksi kapitalisasi kebaikan. Misal kebiasaan menyusun hidangan dalam keluarga, bahwa kemahiran tersebut tidak lain adalah perilaku yang dilakukan secara turun temurun. 

Derajat kualitas, kuantitas dan keberagaman hidangan merupakan pengetahuan yang diterima sebagai sebuah manifesto belajar. Kebiasaan makan keluarga dan susunannya merupakan manifestasi kebudayaan dalam internal keluarga yang kemudian tumbuh sebagai lifestyle. Maka pengubahan kebiasaan makan harus merupakan pengubahan lifestyle pada tingkat individu, keluarga dan masyarakatnya. Tentu hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Selain itu, secara sosiologis status sosial ekonomi sebuah keluarga berperan menentukan akses, kualitas dan pilihan-pilihan makanannya. Mereka yang berada pada status sosial ekonomi menengah ke bawah tentunya tidak memiliki aksesibilitas yang sama besarnya dari mereka yang berada pada posisi menengah atau menengah ke atas. 

Dalam pendekatan teori konflik dapat dijelaskan bahwa persoalan kesehatan yang terjadi dalam masyarakat merupakan hasil ketidaksetaraan sosial dan ruang akses yang tidak merata terhadap sumber-sumber kesehatan termasuk didalamnya pada aspek pemenuhan sumber pangan bergizi dan sehat. 

Akses terhadap sumber-sumber pangan memberikan konstruk strata sosial dimana mereka akan ditempatkan posisi status sosialnya dari pendekatan nalar kesehatan. Kesenjangan ruang akses dan status sosial masyarakatn dapat menjadi cermin kondisi kesehatan (gizi) masyarakat yang terderivasi dalam derajat yang beragam

Jika sedikit berasumsi dan bernalar logis bahwa Indeks gini ratio sebuah negara secara tidak langsung dapat menjadi trigger untuk memahami kondisi kesehatan masyarakatnya. Problem kesehatan sangat mungkin sebuah pantulan bayangan dari kondisi sosial ekonomi warga negara.

Mengkaitkan pada konteks tersebut, salah satu hal terpenting dari upaya penanganan masalah gizi adalah memperhatikan aksesibilitas dan ketersediaan sumber pangan pada sisi hulu. Tidak semata pada akses dan ketersediaannya namun juga keamanan pangannya. Artinya aspek produksi pangan menjadi pilar penting dalam mendukung penyelesaian permasalahan gizi masyarakat.

Pertanian dan Gizi

Ketahanan pangan yang kuat menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat melalui berbagai kebijakan pertanian strategis. Salah satu inisiatif utama adalah Gerakan Diversifikasi Pangan, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada beras dengan mendorong konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti singkong, talas, sagu, kentang, pisang, dan jagung. 

Kementerian Pertanian menargetkan penurunan konsumsi beras dari 94,9 kg per kapita per tahun menjadi 85 kg per kapita per tahun pada 2024 melalui diversifikasi pangan lokal ini. Langkah ini sejalan dengan upaya meningkatkan kemandirian pangan melalui kebijakan pertanian berkelanjutan, yang memastikan ketersediaan bahan pangan sehat bagi seluruh masyarakat.

Di samping diversifikasi pangan, pemerintah juga mendorong program fortifikasi beras sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Program ini bertujuan menambahkan mikronutrien penting seperti zat besi, asam folat, dan vitamin B12 ke dalam beras yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Indonesia. Dengan adanya fortifikasi ini, diharapkan dapat membantu mengatasi masalah defisiensi zat gizi yang sering terjadi di kelompok anak-anak dan ibu hamil.

Seiring hadirnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan jumlah penerima manfaat yang secara bertahap akan mencapai 19,47 juta orang pada akhir 2025, kebijakan pertanian semakin diarahkan untuk mendukung perbaikan gizi dari hulu ke hilir. 

Produksi pangan yang berkualitas dan distribusi yang efisien menjadi faktor utama dalam memastikan makanan bergizi tersedia bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak serta ibu hamil dan menyusui. Dengan sinergi antara sektor pertanian dan kebijakan kesehatan, pemerintah berharap dapat menciptakan ekosistem pangan yang lebih berkelanjutan dan meningkatkan status gizi masyarakat secara menyeluruh.

*Penulis merupakan Analis Kebijakan, Kementerian Pertanian

Berita terkait
Opini: Mahasiswa, Politik Kampus, dan Miniatur Negara
Politik kampus seharusnya menjadi ladang dan pemupukan bagi para mahasiswa yang nantinya sebagai menjadi generasi penerus bangsa.
Opini: PDNS Diretas, Siapa yang Harus Diaudit Lebih Dulu?
Siapa operatornya? Telomsigma anak perusahaan BUMN ini bisa kita sebut sebagai yang paling bertanggung jawab atas serangan ransomeware ini.
Apa itu Dissenting Opinion Hakim MK untuk Gugatan Anies-Ganjar?
Dissenting opinion merupakan situasi dimana terjadinya perbedaan atau pemahaman yang menyangkut perbedaan pendapat antar hakim.