Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Tulisan sebelumnya Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 1, Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 2, dan Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 3
Alasan Terjadinya Perdagangan Orang
Menempatkan manusia sebagai obyek eksploitasi untuk keuntungan finansial pelaku adalah alasan utama terjadinya TPPO. Adanya keinginan mengeksploitasi tersebut bertemu dengan korban yang memang memiliki keterbatasan karena berbagai hal, yaitu pertama, Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran yang tinggi.
Persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen atau sebanyak 25,90 juta orang. Ada berbagai hal yang menyebabkan kemiskinan, di antaranya lapangan kerja yang minim, kurangnya pengetahuan akan dunia ketenagakerjaan dan dunia usaha, dan faktor internal yang menyebabkan ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan.
Perdagangan orang dan kemiskinan berkaitan erat. Pelaku tentu saja mengincar motif ekonomi agar tidak terjerat kemiskinan. Sementara para korbannya, diiming-imingi sejumlah hal untuk dapat keluar dari kemiskinan. Misalnya, tawaran bekerja di luar negeri dengan gaji fantastis, tawaran menikah paksa agar kondisi ekonomi membaik, dan lainnya.
TPPO bisa diatasi bila ada kemauan baik dari seluruh aparat pemerintah untuk menegakkan regulasi dengan baik, termasuk peran serta masyarakat.
Kedua, rendahnya tingkat pendidikan. Tentunya tingkat pendidikan adalah hal yang penting untuk mendukung pengetahuan dan wawasan sehingga bisa menyaring informasi, lebih waspada, dan bisa menghindari diri dari jerat TPPO. Adanya kemampuan membaca dan mempelajari dokumen secara lebih teliti dapat meminimalisir adanya penipuan atau kecurangan.
Ketiga, pemaksaan dengan Kekerasan. Faktor ketiga ini masuk dalam kategori anarkis. Korban, akan merasakan beban psikologis yang lebih membekas. Umumnya, korban-korban yang dipaksa dengan kekerasan merupakan perempuan yang kebanyakan dipaksa “bekerja” sebagai budak seks, mucikari, germo, majikan, dan lain-lain.
Keempat, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta integritas penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengawasan dan penegakan hukum sangat lemah di Indonesia. Hal ini pun didukung oleh keterlibatan oknum aparat Pemerintah yang seharusnya menjadi pengawas dan penegak hukum malah menjadi pendukung terjadinya TPPO.
Keterlibatan oknum pemerintah terjadi pada beberapa kasus TPPO, seperti kasus penjualan organ ginjal. Polda Metro Jaya menetapkan tiga tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) penjualan ginjal jaringan internasional Bekasi-Kamboja yang merupakan petugas imigrasi.
Selain itu, peran Pengadilan yang seharusnya bisa menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda yang maksimal untuk pelaku TPPO, ternyata dalam pelaksanaannya tidak sesuai harapan.
Terdakwa Susi Susanti Binti Acep Wirayat yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPPO dengan menempatkan Tenaga Migran Indonesia ke luar negeri secara illegal hanya diganjar oleh Pengadilan Negeri Cianjur selama 2 tahun penjara dan Denda sejumlah Rp. 200.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka akan diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan.
Tentunya putusan Majelis Hakim Pengadikan Negeri Cianjur dengan nomor perkara 178/Pid.B/2018/PN Cjr. (TPPO) ini menggunakan UU PPMI, bukan menggunakan UU PTPPO yang mengancam pelaku TPPO dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Putusan ini tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku TPPO, sehingga TPPO akan semakin marak terjadi.
Penutup
Kejahatan TPPO terus meningkat baik kualitas maupun kuantitas kejahatannya. Tentunya TPPO bisa diatasi bila ada kemauan baik dari seluruh aparat pemerintah untuk menegakkan regulasi dengan baik, termasuk peran serta masyarakat untuk melaporkan bila ada indikasi TPPO di sekitarnya. Masyarakat menunggu keseriusan penghapusan TPPO. []