Untuk Indonesia

Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 2

Komite Transplantasi Nasional memiliki peran penting untuk meminimalisir terjadinya TPPO dengan motif penjualan organ ginjal secara ilegal.
Ilustrasi. Opini: Keseriusan Menghapus TPPO. (Foto: Tagar/ Freepik)

Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch

Tulisan sebelumnya Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 1

Tingginya permintaaan organ ginjal untuk maksud tranplantasi ginjal mendukung peningkatan kejahatan jual beli organ ginjal secara illegal dalam pola kejahatan TPPO. Kejahatan TPPO menjadi pintu masuk terjadinya jual beli organ ginjal secara illegal yang akan mengancam jiwa korban TPPO tersebut. 

Menjadi ironis, di satu sisi transplatasi ginjal dapat menyelamatkan nyawa penyitas gagal ginjal, namun di satu sisi korban TPPO yang ginjalnya dijual akan mengalami masalah Kesehatan dengan ginjalnya yang akan mengancam nyawanya.

Komite Transplantasi Nasional memiliki peran penting untuk meminimalisir terjadinya TPPO dengan motif penjualan organ ginjal secara ilegal. Tentunya Komite akan melakukan cross check bagi proses transplantasi ginjal dengan mengacu pada Permenkes 38 yaitu adanya kejelasan antara pendonor dan penerima donor ginjal.

Adanya permintaan dan penawaran secara illegal ini dimanfaatkan oleh pelaku TPPO dengan harapan akan meraup keuntungan yang sangat besar dengan mengorbankan para pendonor ginjal illegal tersebut. 

Sebagai contoh, dalam pemberitaan beberapa hari yang lalu terkait penjualan organ ginjal ini, Polisi telah menetapkan 12 tersangka yang disebut terlibat dalam sindikat penjualan ginjal jaringan internasional. Para tersangka menjaring calon donor lewat grup Facebook, kemudian menjual ginjal ke Kamboja.

Pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang JKN menyatakan bahwa korban perdagangan orang tidak dijamin Program JKN, tetapi ditangani oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelah melalui proses pidana di kepolisian. 

Tentunya ini akan menjadi masalah bagi korban TPPO yang kehilangan ginjal yang tidak dijamin oleh Program JKN ketika mengalami gagal ginjal, mengingat cuci darah akan terus berlangsung seumur hidup.


Komite Transplantasi Nasional memiliki peran penting untuk meminimalisir terjadinya TPPO dengan motif penjualan organ ginjal secara ilegal.


Perbedaan Sanksi Pidana dan Denda

Mengingat tingkat kejahatan yang disebabkan oleh TPPO sangat besar, UU PTPPO mengganjar pelaku TPPO dengan hukuman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Jika TPPO mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana di atas.

Jika TPPO mengakibatkan matinya korban, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Selain UU PTPPO, ada beberapa undang-undang lainnya yang mengatur pelarangan perdagangan manusia yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Pasal 59 UU Perlindungan Anak dengan tegas mengamanatkan Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada, salah satunya, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual serta anak yang diperdagangkan.

Pasal 20 UU HAM menegaskan bahwa Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba. Dan pada ayat (2)-nya disebutkan, Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

Pasal 71 huruf (a) UU PPMI mengamanatkan Setiap Orang dilarang menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia.; Pelanggaran Pasal 71 huruf (a) tersebut diancam dengan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),

Antara UU PTPPO dan UUPPMI memiliki perbedaaan sanksi pidana penjara dan pidana denda. Sanksi pidana penjara di UU PPMI (maksimal 5 tahun) lebih rendah dibandingkan ancaman di UU PTPPO (antara 3 sampai 15 tahun), namun UU PPMI mengancam pidana denda (maksimal Rp. 5 miliar) lebih tinggi dibandingkan UU PTPPO (minimal Rp. 120 juta dan maksimal Rp. 600 juta).

Tentunya perbedaan sanksi pidana penjara yang diatur dalam UU TPPO dan UU PPMI tersebut akan menjadi celah bagi pelaku TPPO dengan menggunakan UU PPMI yang dalam Pasal 71 huruf (a) hanya mengganjar pelaku paling lama 5 tahun. Seharusnya UU PPMI merujuk pidana penjara ke pidana penjara yang diatur di UU PTPPO.

Tulisan ini berlanjut ke Opini: Keseriusan Menghapus TPPO - Bagian 3




Berita terkait
Menlu AS Antony Blinken Serukan Keterlibatan Semua Pihak Berantas Perdagangan Manusia
Hal ini ditegaskannya saat peluncuran Laporan Tahunan Deplu AS tentang Perdagangan Manusia 2023 di Departemen Luar Negeri Amerika
Para Pemimpin ASEAN Deklarasikan Pemberantasan Perdagangan Manusia di Labuan Bajo
Dalam dokumen di asean.org deklarasi sebut 15 poin yang akan dilakukan negara-negara di ASEAN untuk perangi perdagangan manusia
Filipina Selamatkan Seribuan Korban Perdagangan Manusia Termasuk WNI
Penggeberekan dilakukan setelah Duta Besar Indonesia di Manila memohon bantuan untuk membantu menemukan warga negaranya
0
Selenggarakan ISF, Presiden Joko Widodo dan Menko Luhut akan Menjamu Pemimpin Dunia
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia sebagai salah pusat ekonomi dunia berpotensi menjadi negara adidaya iklim.