Oleh: Irma Suryani Chaniago*
Badan Pemeriksa Keuangan mencatat ada 10 provinsi dengan keuangan daerah masuk kategori belum mandiri dan masih bergantung pada transfer dari pusat pada 2020. Hal ini tercermin dari hasil pengukuran Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) terhadap 33 provinsi di Indonesia.
Hasil pemeriksaan BPK menyatakan ada 10 provinsi berstatus belum mandiri. Mereka adalah Aceh (0,178), Nusa Tenggara Timur (0,2097), Kalimantan Utara (0,2290), Sulawesi Tengah (0,2425), Sulawesi Tenggara (0,2466), Gorontalo (0,2227), Sulawesi Barat (0,1550), Maluku (0,1694), Maluku Utara (0,1728), dan Papua Barat (0,0558).
Sementara 16 provinsi lain berstatus menuju mandiri, yaitu Sumatera Utara (0,4282), Sumatera Barat (0,3541), Riau (0,3866), Jambi (0,3489), Sumatera Selatan (0,3589), Bengkulu (0,2556), dan Lampung (0,4049).
Lalu, Bangka Belitung (0,2844), Kepulauan Riau (0,3402), Yogyakarta (0,3344), Nusa Tenggara Barat (0,3509), Kalimantan Barat (0,3802), Kalimantan Tengah (0,3294), Kalimantan Selatan (0,4532), Sulawesi Tengah (0,2677), Sulawesi Selatan (0,3776).
Menurut saya, masyarakat harus diberikan pemahaman agar cerdas memilih pemimpinnya.
Sedangkan tujuh provinsi yang sudah berstatus mandiri, yakni DKI Jakarta (0,6365), Jawa Barat (0,5140), Jawa Tengah (0,5383), Jawa Timur (0,5671), Banten (0,5290), Bali (0,5367), dan Kalimantan Timur (0,5220). Namun, tidak ada satu provinsi pun yang berstatus sangat mandiri.
Dari hasil pemeriksaan BPK nyata bahwa pemilihan calon kepada daerah secara langsung tidak menjamin kemampuan cakada tersebut lebih baik dari cakada hasil pemilihan DPRD dan pemerintah. Hal tersebut terbukti dari ketidakmampuan mereka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Mereka yang dipilih rakyat secara langsung itupun hanya pandai menghabiskan APBN saja tanpa mampu berfikir tentang bagaimana membuat wilayahnya dan rakyat nya sejahtera.
Minimnya pengetahuan cakada terhadap bagaimana “mengelola” wilayahnya agar mampu membiayai kebutuhan sendiri (mandiri) dengan meningkatkan pendapatan Asli Daerah rata-rata karena pada dasarnya yang mereka tuju hanya kekuasaan dan keuntungan pribadi saja. Dengan pemilihan langsung ini (maaf) rata rata mereka hanya menghitung berapa dana yang dibutuhkan untuk menang dan berapa tahun balik modal dan berapa tahun dapat untung.
Padahal sejatinya cakada yang bagus adalah cakada yang mampu memsejahterakan warganya, mampu membuka lapangan kerja, mampu menggaet investor dan tau bagaimana mengkapitalisasi dan menggunakan keunggulan wilayah untuk di kembangkan.
Sedihnya hampir semua pemimpin wilayah dan daerah hanya memiliki kemampuan bagaimana menghabiskan APBN bahkan ada yang tidak mampu menyerap APBN dan dengan sengaja menaruh dana tersebut di Bank.
Dalam kurun waktu 2 tahun ini, sudah 2 kali presiden Jokowi marah pada para kepala daerah yang serapan anggarannya rendah. Bayangkan, hanya mengelola anggaran yang sudah ada saja mereka tidak mampu, bagaimana mungkin bisa meningkatkan PAD? Kacau.
Menurut saya, masyarakat harus diberikan pemahaman agar cerdas memilih pemimpinnya, agar ke depan provinsi, kabupaten dan kota madya tidak terus bergantung pada anggaran dari Pusat. Berhenti menyusu pada Pusat, tunjukkan kualitas sebagai pemimpin daerah.
*Politisi Partai NasDem
Baca Juga: Irma Chaniago Menjawab Pandu Riono tentang Ivermectin Covid