Yogyakarta - Omnibus Law RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada 5 Oktober 2020 menuai tanggapan banyak pihak. Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memberikan penilaian terkait persoalan Undang-Undang yang rancangannya dipandang tidak berpihak pada buruh.
PUKAT Korupsi UGM Yogyakarta menyorot Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. “RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya,” kata Kepala PUKAT UGM, Oce Madril dalam rilis yang diterima Tagar, Selasa, 6 Oktober 2020.
Oce Madril menuturkan, proses pembentukan RUU Cipta Kerja selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena tertutupnya akses terhadap draf RUU Cipta Kerja. Akses publik terhadap dokumen RUU ini baru tersedia pasca RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan kemudian diserahkan kepada DPR.
RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya.
DPR dan pemerintah, lanjutnya, tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah tengah pandemi Covid-19. Rapat-rapat pembahasan diselenggarakan secara tertutup dan perkembangan pembahasan draft tidak didistribusikan kepada publik.
Menurutnya, pembahasan yang terus berlangsung selama pandemi dan dilakukan tanpa partisipasi publik yang maksimal hanya semakin menunjukkan ketidakpedulian DPR terhadap suara dan masukan publik. “Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi oleh kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja,” katanya.
Baca Juga:
Dosen Fakultas Hukum (FH) UGM ini mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja bukan solusi atas persoalan regulasi yang ada di Indonesia. Banyak pendelegasian wewenang yang terdapat dalam RUU ini tidak mencerminkan simplifilkasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Secara substansi RUU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. RUU Ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi desentralisasi di Indonesia. Sentralisasi yang berlebihan rentan terhadap potensi korupsi, salah satunya karena akan semakin minimnya pengawasan.
“Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menyisakan persoalan bagaimana meastikan kontrol persiden atas kewenangan itu,” katanya.
Baca Juga:
Dalam RUU Dipta Kerja ini terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi. Sebab, dalam RUU ini menghapus persyaratan “tidak bertentangan dengan UU” yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah.
Hal tersebut membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. Terlebih Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi. []