Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id - Forum Komunikasi Perlindungan Batang (FKPB) gencar melacak Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk dilakukan tes, agar memutus mata rantai penularan virus tersebut. Ini ada dalam berita “Putus Mata Rantai HIV, FKPB Gencar Melacak ODHA” (rri.co.id, 18/10-2022). Batang adalah Kabupaten di Jawa Tengah.
Pernyataan pada lead berita ini ngawur karena Odha adalah Orang dengan HIV/AIDS yaitu warga yang mengidap HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.
Cara penulisan Odha bukan dengan huruf kapital karena Odha bukan akronim, tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS. Istilah ini diperkenalkan oleh mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, d/h. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) dengan pijakan istilah ini lebih netral daripada menyebut penderita, pengidap atau korban (Lihat: Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Ford Foundation/Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 2000, catatan kaki, hlm. 17).
Odha itu sudah menjalani tes HIV, maka tes apa lagi yang akan mereka jalani terkait dengan HIV/AIDS seperti yang disebut FKPB?
Ini dia: Koordinator Program FKPB Ahmad Nafis menyampaikan, setelah dites mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS akan diintensifkan untuk mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV).
Astaga, Odha itu sudah positif HIV!
Selain itu ketika mereka menerima konseling sebelum tes, salah satu syarat tes HIV, mereka sudah diberitahu jika hasil tes positif, maka akan rutin meminum obat ARV sesuai dengan resep dokter.
Dalam berita disebutkan: Pencarian diupayakan menjangkau pada populasi kunci di Kabupaten Batang.
Persoalan yang mendasar adalah jika ada populasi kunci, seperti pekerja seks komersial (PSK) atau Waria, yang terdeteksi HIV-positif itu artinya sudah ada laki-laki pelanggan PSK dan Waria yang beriko tertular HIV/AIDS.
Nah, kalau pun PSK dan Waria menjalani ART (antiretroviral therapy yaitu pengobatan dengan obat ARV) penyebaran HIV/AIDS tidak otomatis terhenti karena laki-laki pelanggan PSK dan Waria yang tertular HIV/AIDS dari PSK atau Waria jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Laki-laki heteroseksual yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak bisa dilakukan intervensi agar mereka memakai kondom karena praktek PSK tidak dilokalisir dengan regulasi hukum (Lihat matriks penyebaran HIV/AIDS melalui populasi kunci).
Sejak reformasi semua tempat pelacuran yang dijadikan sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK ditutup. Akibatnya, tempat atau lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial.
Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial
Begitu juga dengan laki-laki heteroseksual yang melakukan hubungan seksual dengan Waria tidak bisa dilakukan intervensi agar mereka memakai kondom karena praktek Waria tidak dilokalisir dengan regulasi hukum (Lihat matriks penyebaran HIV/AIDS melalui populasi kunci).
Maka, kalaupun mau melacak terkait dengan HIV/AIDS maka harus ada regulasi, misalnya peraturan daerah (Perda), yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk menyasar laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK atau Waria.
Dalam berita disebutkan yang dilacak adalah PSK langsung dan tidak langsung serta LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki yang sebenarnya laki-laki gay).
Apa istrumen yang bisa mencari PSK tidak langsung? Transaksi seks terjadi melalui media sosial, sedangkan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Begitu juga dengan LSL, belakangan ini banyak aktivis dan instansi terkait, seperti dinas kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), yang latah memakai istilah LSL.
Baca juga: Penyebutan LSL yang Rancu dalam Berita HIV/AIDS
Soalnya, tidak ada tanda atau ciri khas gay pada fisik karena homoseksual sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran.
Kabarnya, penetapan seseorang disebut LSL berdasarkan pertanyaan: Apakah pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki?
Celakanya, ada yang mereka sebut LSL itu mempunyai isteri sehingga tidak murni sebagi gay.
Kalau memang FKPB ingin menangulangi HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Batang, maka bukan menyasar populasi kunci tapi mencari warga yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.
Terkait dengan LSL, HIV/AIDS di kalangan gay atau LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri (Lihat matriks HIV/AIDS pada gay).
Maka, tidak ada kaitan antara ‘mengobati’ orientasi seksua dengan penyebaran HIV/AIDS. Lagi pula, WHO sudah memberikan klarifikasi bahwa homoseksualtias bukan penyakit.
Cobalah FKPB berpikir jernih dalam menanggulangi HIV/AIDS di Kabupaten Batang, lakukan langkah yang konkret dan terukur agar efektif. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id