Jakarta - Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas memastikan, Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja melarang perusahaan mengurangi upah buruh yang telanjur diberikan lebih tinggi, sebelum nomenklatur upah minimum sektoral dihapus dalam UU sapu jagat tersebut.
"Saya pastikan nomenklatur (upah minimum sektoral) kami hapus. Tapi kami tambah di aturan peralihan, bagi pekerja yang sudah menerima lebih tinggi dari upah minimum kabupaten atau kota, perusahaan dilarang membayar kurang dari upah minimum yang telah dia kemukakan," kata Supratman dalam talk show bertajuk Setahun Jokowi-Ma'ruf, di salah satu tv swasta, Jakarta, Selasa malam, 20 Oktober 2020.
Artinya, upah minimum sektoral tetap ada di dalam UU Cipta Kerja. Sekalipun nomenklaturnya kami hapus.
Supratman menjelaskan, nomenklatur upah minimum sektoral dalam pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang sudah disepakati oleh DPR dan Pemerintah untuk dihapuskan dengan UU Cipta Kerja.
Baca juga: KASBI, KPA, dan YLBHI Kompak Minta Jokowi Cabut UU Cipta Kerja
Sehingga, yang dikenal di Indonesia setelah berlakunya UU Cipta Kerja hanya upah minimum provinsi dan kabupaten atau kota.
Namun, UU Cipta Kerja menyebutkan di pasal selanjutnya (pasal 88E) bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) UU Cipta Kerja itu berlaku bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
Baca juga: UU Cipta Kerja Sah, GMNI: Presiden Jokowi Disetir Oligarki
Lebih lanjut kata dia, seluruh fraksi di panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja DPR RI bersama pemerintah pada rapat Panja, Minggu, 27 September 2020 itu menyepakati hal tersebut.
Dia menambahkan, walaupun nomenklatur Upah Minimum Sektoral sudah tidak ada dalam UU Cipta Kerja namun pengurangan upah buruh tidak boleh terjadi setelah berlakunya UU Omnibus Law tersebut.
"Artinya, upah minimum sektoral tetap ada di dalam UU Cipta Kerja. Sekalipun nomenklaturnya kami hapus," kata Supratman. []