Meraba Niat DPR yang Merevisi UU KPK Secara Diam-diam

Mendekati akhir masa jabatan, DPR RI periode 2014-2019 merevisi UU KPK. Untuk menguatkan atau melemahkan? Berikut dua faktor mencurigakan.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

Jakarta - "Kalau DPR menyuarakan ingin menguatkan kewenangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), bisa jadi itu hanya pembenaran."

Pernyataan tersebut disampaikan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, juga doktor ilmu politik alumni Universitas Indonesia, Ujang Komaruddin.

Ujang mencurigai usulan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang dilakukan secara diam-diam oleh DPR RI periode 2014-2019 ingin melemahkan pemberantasan korupsi.

Berikut dua faktor yang menjadi dasar kecurigaan Ujang Komaruddin seperti dilansir dari Antara, Sabtu, 7 September 2019.

1. Pembatasan Penyadapan

Pada usulan revisi UU Korupsi, ada usulan pembatasan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK. Selama ini, kata Ujang, KPK banyak diendus dugaan korupsi yang dilakukan elit melalui penyadapan.

"Jika penyadapan yang dilakukan KPK terhadap oknum-oknum elit yang terindikasi korupsi, harus meminta izin melalui Pengadilan Negeri, maka langkah KPK akan menjadi lamban. Ini bagian dari pelemahan pemberantasan korupsi," ujar Ujang.

Bahkan dikhawatirkan, kata Ujang, oknum elit yang menjadi sasaran akan dilakukan penyadapan oleh KPK, bisa menjadi bocor, sehingga kasus dugaan korupsi itu menjadi gagal dibuktikan.

2. Pemberitahuan Penghentian Perkara

Usulan revisi UU KPK berikutnya yang layak dicurigai, kata Ujang, yakni adanya kewenangan dari KPK menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Perkara (SP3).

Dalam UU sebelumnya, KPK tidak memiliki SP3. Terduga kasus korupsi yang ditangkap KPK akan menjadi tersangka setelah memiliki dua alat bukti kuat. 

Setelah menjadi tersangka, semua diteruskan ke proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tidak ada yang dibatalkan.

Ujang mengatakan, jika KPK memiliki kewenangan SP3, maka kewenangannya sebagai lembaga penegakan hukum kasus korupsi extra ordinary akan menjadi lemah. 

"Ini menjadi berbahaya, karena nantinya banyak pejabat yang ditangkap KPK bisa minta di SP3-kan kasusnya," kata Ujang.

Ia menambahkan, korupsi di Indonesia saat ini masih meraja lela dan masih menjadi musuh bangsa Indonesia. 

"KPK harus kuat untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia. Kalau kewenangan KPK dipreteli, maka pemberantasan korupsi semakin memprihatinkan," ujar Ujang.

Sebelumnya, rapat paripurna DPR RI, Kamis, 5 September 2019, menyetujui usulan revisi UU KPK menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. []

Berita terkait
Denny Siregar: Bongkar-bongkar Borok KPK (1)
KPK yang dulu dibentuk dengan misi mulia, sekarang menjadi lembaga kotor yang penuh dengan misi politik. Tulisan opini Denny Siregar.
Denny Siregar: Bongkar-bongkar Borok KPK (2)
Dari semua peran DPR selama lima tahun ini yang percum tak bergun, baru revisi UU KPK yang harus didukung semua. Tulisan opini Denny Siregar.
Revisi UU KPK, Abraham Samad: Membuat KPK Mati Suri
Mantan Ketua KPK Abraham Samad menilai sejumlah poin revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) krusial.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.