Denny Siregar: Bongkar-bongkar Borok KPK (1)

KPK yang dulu dibentuk dengan misi mulia, sekarang menjadi lembaga kotor yang penuh dengan misi politik. Tulisan opini Denny Siregar.
Ilustrasi KPK. (Foto: Antara/Reno Esnir)

"Ayo kita tolak revisi RUU KPK! DPR mau membunuh KPK!"

Begitu sebuah pesan terkirim kepadaku dan tampaknya itu pesan yang dikirim secara random dan masif. Sebuah pesan yang menggugah orang untuk melindungi sebuah lembaga independen yang punya misi mulia.

Bahkan ada kabar, beberapa LSM akan membuat rantai manusia untuk menolak revisi RUU KPK yang sedang diajukan DPR di akhir masa tugasnya.

Apakah benar KPK semulia itu?

Mari kita perjelas dulu masalahnya.

Pada saat dibentuknya tahun 2002, KPK memang punya tugas mulia untuk memberantas korupsi di lembaga yang sudah merugikan negara sampai ratusan triliun rupiah. Supaya bebas dari intervensi, KPK menjadi sebuah lembaga independen yang tidak terikat oleh lembaga negara. Dalam artian, KPK bisa menyasar siapa saja termasuk Presiden jika bisa.

KPK terbentuk menjadi sebuah negara di atas negara..

Perjalanan awal, KPK memulai tugasnya dengan bagus. Banyak koruptor yang merupakan petinggi negara, dijebloskan KPK ke penjara. Rakyat - seperti saya - bertepuk tangan dengan keras dan berjanji akan melindungi KPK dari segala intervensi apa pun.

Tetapi semakin ke sini, KPK menjadi semakin aneh.

Begitu banyak intrik dan drama di dalam KPK yang mereka blow up dengan menggunakan jaringan media. KPK menjadi tercitra "suci" dan tidak pernah salah. Siapa pun yang melawan KPK berarti dia adalah koruptor atau pendukungnya. Itu imej yang memang sengaja dibangun melalui pencitraan bertahun-tahun.

KPK menjadi semacam "tank penghancur" yang bergerak liar karena tidak ada pengawasan terhadap tugas "sopirnya".

Yang disebut sopir, ternyata bukan komisioner atau Ketua KPK karena mereka berganti setiap periode. Tetapi "orang dalam" yang membuat sistem di dalam KPK dan mengendalikan dengan kontrol penuh. Dalam artian, siapa pun Ketuanya, mereka harus ikuti sistem yang sudah dibangun di KPK.

Untuk mengontrol sistem itu, dibentuklah Wadah Pegawai KPK. Ini semacam serikat buruh yang menggunakan kekuatan massa di internal, untuk menekan Ketua KPK yang baru menjabat supaya mengikuti sistem mereka.

Mungkin inilah alasan terbesar seorang Novel Baswedan keluar dari Polri dan fokus di KPK. Dia paham, bahwa di KPK dia bisa menjadi "Kapolri"nya. Dan tidak ada yang mengendalikan dia karena KPK adalah lembaga independen, tidak di bawah pemerintah pusat dan tanpa pengawas.

KPK yang dulu dibentuk dengan misi mulia, sekarang menjadi lembaga kotor yang penuh dengan misi politik demi mencapai tujuan segolongan orang.

Dan selama ini, KPK membangun jaringan pertemanan dengan LSM-LSM dan media-media mainstream, untuk menguatkan posisinya di mata masyarakat awam.

Seorang pakar hukum pidana, Profesor Romli Atmasasmita, bahkan pernah menuding bahwa LSM yang bernama Indonesian Corruption Watch atau ICW secara berkala menerima dana dari KPK. Mungkin ini juga alasan, kenapa ICW selama ini selalu menjadi bemper KPK ketika KPK diserang.

KPK juga memperbesar anggotanya di penyidikan. Mereka merekrut penyidik independen yang bukan dari Polri atau Jaksa, melalui Wadah Pegawai KPK. Dengan begitu, mereka bisa menguasai penuh KPK, bahkan jika mungkin menyingkirkan penyidik kepolisian dan jaksa dari KPK.

Sebuah surat terbuka dari internal KPK membongkar praktik politik KPK ini dan membuat heboh seantero maya.

KPK yang dulu dibentuk dengan misi mulia, sekarang menjadi lembaga kotor yang penuh dengan misi politik demi mencapai tujuan segolongan orang.

Dana operasional di KPK sendiri setiap tahun mencapai hampir 1 triliun rupiah. Tetapi KPK hanya mampu menangkap "ikan-ikan teri" dengan jumlah korupsi hanya 150 juta sampai 2 miliar rupiah saja.

Ini berarti negara rugi membiayai KPK karena hasil penangkapan KPK tidak signifikan dengan biaya yang dikeluarkan.

Kenapa KPK hanya mampu menangkap ikan teri?

Ada dua kemungkinan. Satu, demi pencitraan supaya KPK tetap terlihat "suci" dan berhasil. Dan penangkapan ikan teri ini di-blow up besar-besaran di media massa supaya masyarakat simpati.

Sedangkan "Ikan pausnya" mungkin sedang disembelih ramai-ramai sambil pesta pora dengan memainkan konsep "sandera kasus".

Dan kedua, karena ketidakmampuan penyidik independen. Penyidik independen yang bukan dari unsur Polri dan Jaksa ini, tidak punya pendidikan menyidik. Yang mereka bisa hanya menyadap dan menerima laporan dari masyarakat saja.

Itulah kenapa mereka hanya bisa menangkap "ikan teri" karena memang cuman seteri itu kemampuannya.

Masih banyak sebenarnya borok di internal KPK yang tidak bisa dituliskan di sini. Luka di KPK bukan hanya sekadar borok, tetapi sudah menjadi virus sehingga menjadikan KPK sebagai zombie yang akan merusak sistem negara ini.

Kita seruput kopi dulu, lalu lanjut ke bagian kedua.

*Denny Siregar, penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Revisi Undang-Undang KPK Merupakan Lonceng Kematian
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap tidak menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasto Optimistis dengan Revisi UU KPK yang Diketok DPR
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto optimistis dengan revisi UU KPK yang diketok DPR kemarin.
PDIP Sebut Alasan UU KPK Direvisi
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membeberkan alasan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direvisi oleh DPR RI.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.