Menkumham Yasonna Wacanakan Pidana (Alternatif) Sosial

Pelaku tipiring (tindak pidana ringan) sebaiknya tidak dihukum penjara, tapi dengan hukuman berupa pidana sosial, membersihkan rumah ibadah, dll.
Ilustrasi (Sumber: communitycare.co.uk/CrazyCloud/Fotolia)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Hukuman fisik berupa penjara merupakan salah satu sanksi bagi pelaku kejahatan kriminal atau pidana. Di lembaga pemasyarakatan (Lapas) mereka dibina. Tapi, bagi pelaku tindak pidana ringan (Tipiring) perlu dipikirkan pidana alternatif yaitu pidana sosial. Soalnya, kalau hukuman penjara di bawah enam bulan pihak Lapas belum bisa berbuat banyak untuk pembinaan. Dan pemenjaraan di bawah enam bulan membebani keuangan negara karena pemerintah harus membayar biaya hidup mereka sebagai narapiadana (Napi).

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumhan), sudah saatnya memikirkan pidana alternatif yaitu pidana sosial untuk pelaku Tipiring. Beberapa kasus kriminal ringan dengan ancaman pidana penjara atau kurangan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500. Tipiring ini pun jadi bentuk pidana yang diatur pemerintah-pemerintah daerah, seperti peraturan daerah (Perda) di pemerintahan kabupaten dan kota dengan ancaman hukuman maksimal enam bulan.

Selain Tipiring banyak pula kasus kriminal yang melibatkan anak-anak, seperti melempar kereta api (KA) yang sedang melaju dengan batu, mencuri burung piaraan, memetik mangga tetangga, dll. 

Anak-anak yang melempar KA dihukum dengan mengikutkan mereka pada perjalanan KA. Mereka diberikan ‘hukuman’ membersihkan toilet KA, menyapu dan mengepel lantai KA. Ini lebih mendidik daripada menjebloskan mereka ke penjara.

Jika melibatkan anak-anak karena ada UU yang melarang anak-anak dipenjara, maka hukuman bisa dengan pidana sosial karena jika tidak ada hukuman fisik akan jadi pembiaran bagi anak-anak untuk melakukan kejahatan berulang. Bisa juga dimanfaatkan oleh kalangan dewasa terhadpa anak-anak untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Singapura, misalnya, berhasil menurunkan insiden corat-coret di dinding atau di kendaraan bermotor dengan pidana sosial. Empat remaja AS (1994) bahkan dihukum cambuk dengan rotan dan pidana sosial di Singpura karena mencoret-coret mobil. Ketika itu Presiden AS, Bill Clinton, meminta Singapura membebaskan remaja-remaja itu tapi ditolak karena warga Singapura protes. Jika remaja AS dibebaskan itu diskriminasi karena remaja Singapura yang melakukan vandalisme tetap dihukum dengan pidana sosial.

Ada juga Tipiring yang melibatkan kalangan dewasa, bahkan yang sudah tua reta, seperti mencuri jatung pisang, semangka, dll. Ada pula yang mengambil ranting pohon jati yang sudah layu, dll.

Hukuman terhadap pelaku Tipiring terkadang menyayat hati. 

Seperti yang dialami oleh Minah, 65 tahun, Banyumas, Jateng, ini. Dia berurusan dengan hukum gara-gara mencuri kakao seharga Rp 3.000 (tahun 2009). Pada tahun yang sama ada pula Klijo Sumarto, 76 tahun, warga Jering, Sidorejo Godean, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, yang berurusan dengan polisi gara-gara diadukan tetangganya mencuri satu tandan pisang klutuk seharga Rp 2.000. Pisang ini hanya layak jadi makanan burung.

Sedangkan di Bojonegoro, Jatim, pasutri Supriyono dan Sulastri, warga Desa Sukorejo, Kecamatan Bojonegoro, divonis PN Bojonegoro dengan pidana penajara 3,5 bulan karena mencuri setandan pisang (tahun 2010). Hakim yakin pasutri ini sudah melakukan perbuatan melawan hukum sesuai dengan pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP. Mereka disidang di pengadilan karena mencuri setandan pisang milik warga Desa Pacul.

Charli, 62 tahun, di Subang, Jabar (2017). Dilaporkan oleh menantunya dengan tuduhan menjual tanah 44 hektar dengan harga Rp 3,5 juta. Sedangkan hakim di PN Balige, Tobasa, Sumut, memvonis Saulina boru Sitorus alias Ompu Linda, 92 tahun, dengan hukuman penjara 1 bulan 14 hari (2018). Ompu Linda disidang karena dia menebang pohon durian di tanah yang akan dijadikan tempat pembangunan tugu.

Itu sebagian dari kasus-kasus Tipiring yang bisa saja diselesaikan di masyarakat dengan tatanan pranata sosial, seperti kerja sosial di ladang tempat dia mencuri semangka. Bisa juga membersihkan toilet rumah-rumah ibadah, dll. Atau semacam kerja bakti membersihkan perkampungan. Bagi yang menjalani hukuman berupa pidana sosial tetap dibina oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Kemenhumkam RI, sesuai dengan tata kelola pembinaan narapidana.

Sayangnya, yang dipilih hukum positif yang berakhir di penjara melalui vonis hakim. Persoalan (hukum) selesai, tapi tidak menyelesaikan masalah di ranah realitas sosial. Bisa jadi pemicu kebencian antar keluarga yang berakhir sebagai friksi horizontal karena masing-masing pihak membawa pengaruh untuk saling berhadapan. []

Berita terkait
Yasonna Laoly: Kritik Kebijakan Presiden Tidak Dipidana
Menkumham Yasonna Laoly menyebutkan mengkritik presiden tidak akan dijerat RUU KUHP. Dengan catatan kritik kebijakan, bukan ranah pribadi.
PUPR Bangun Hunian Khusus Petugas Lapas Nusakambangan
Para petugas Lapas di Pulau Nusakambangan patut berbahagia, karena Kementerian PUPR membangun hunian Rusun dan Rusus.
RKUHP Aborsi, Yasonna Laoly Sebut Pidana Lebih Rendah
Menkumham Yasonna Laoly mengatakan ancaman hukuman aborsi pada RKUHP lebih ringan daripada di KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.